Agama dan politik adalah dua entitas yang berkait-kelindan. Keterkaitan itu bukan hanya disebabkan bahwa keduanya merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari manusia, melainkan juga karena sifatnya yang saling melengkapi: politik bersifat komunal, sementara agama bersifat individual. Akan tetapi, hubungan antara keduanya tidak selamanya harmonis. Terkadang banyak faktor yang mempengaruhi keduanya, yang padanya akhirnya menimbulkan kekerasan (al-'unf). Kekerasan bisa datangnya dari agama di satu sisi, juga bisa dari sisi politik di sisi yang lain. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa dari dua-duanya sekaligus.
Dialektika hubungan antara agama, politik, dan kekerasan inilah yang dipotret oleh Yusuf Zaidan dalam bukunya Al-Lahut al-'Arabiy wa Ushul al-'Unf al-Diniy (Teologi Arab dan Akar Kekerasan Keagamaan) pada bab Jadaliyah al-'Alaqah baina al-Din wa al-'Unf wa al-Siyasah (Hubungan Dialektik antara Agama, Kekerasan, dan Politik). Menurut Zaidan, hubungan ketiga hal di atas perlu mendapat perhatian serius. Hal ini terkait bahwa salah satu masalah yang paling banyak dan terus menerus bersentuhan dengan kehidupan manusia dari dulu sampai sekarang adalah persentuhan tiga aspek ini: agama, politik dan kekerasan.
Hasil potretan Zaidan ini menarik, karena dia berhasil menujukkan genealogi, hubungan dialektik --bahkan historisitas --antara agama, politik dan kekerasan. Potretan Zaidan ini bisa menjawab mengapa banyak terjadi kekerasan agama, kekerasan yang mengatasnamakan agama, politisasi agama, agamaisasi politik.
Bulan Madu Agama dan Politik
Pada awalnya agama dan politik adalah dua poros utama bisa dibedakan tapi tidak bisa dipisahkan. Agama yang sifatnya individual yang berporos pada Tuhan sebagai hubungan teologis manusia dengan-Nya, di satu sisi. Politik sifatnya berporos pada penguasa profan, baik individual maupun kolektif, di sisi yang lain. Kedua sisi itu --agama dan politik --saling membutuhkan. Politik membutuhkan agama untuk menjustifikasi dirinya, begitu juga sebaliknya, agama membutuhkan uluran tangan politik untuk mengembangkan ajarannya. Ini adalah hubungan awal, bulan madu antara keduanya.
Layaknya bulan madu, setiap pasangan ingin memberikan kepuasan terhadap pasangannya. Politik, demi memuaskan dan menyenangkan agama sebagai pasangannya, memberikan apapun yang diminta oleh agama, baik itu fasilitas, sarana-prasarana, dukungan finansial, maupun berbentuk pengaruh (power). Sebaliknya, demi membalas kekasih tercintanya, agama pun memberikan sokongan dan legitimasi melalui  doktrin, ayat-ayat,  janji-janji eskatologis.
Baik agama maupun politik sama-sama diuntungkan. Terjadi simbiosis mutualisme. Politik mendapatkan kekuasaan, pengaruh, dan otoritas. Sementara agama mendapat pengikut setia, bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi "agama resmi" berkat uluran tangan dari pihak politik.
Kekerasan Politik
Bulan madu itu tidak berumur panjang, karena baik agama maupun politik ternyata sama-sama mempunyai misi yang berbeda. Ditambah politik bukanlah ruang hampa, pun agama bukan gelas kosong. Agama mempunyai misi, cita-cita, tujuan. Misi agama ingin mengubah tatanan hidup manusia, termasuk tatanan politik. Cita-citanya ingin membawa manusia sesuai dengan titahnya. Bahasa kasarnya, agama ingin mengendalikan politik agar sesuai dengan ajaran yang dibawanya. Â Konsekuensi logis dari aksi agama ini yang ingin mendobrak tatanan status quo dan praktik politik yang sudah mapan, politik-pun memberikan reaksi dalam bentuk kekerasan (al-'unf). Aksi dibalas reaksi.
Fase ini disebut sebagai fase kedua sebagai kelanjutan fase pertama. Bentuk kekerasan yang diberikan oleh politik adalah dengan cara mengusir, mengeluarkan, mengisolasi agama(wan). Kekerasan politik ini sebagai upaya pihak politik untuk mempertahankan eksistensi kekuasan dan pemerintahannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh agama. Demi melindungi ajaran dan umatnya, agama(wan) pun melakukan khuruj (keluar) dari daerah teritorial politik. Politik melakukan al-'unf (kekerasan), agama melaksanakan khuruj (keluar).
Zaidan memberikan beberapa contoh dalam sejarah perjalanan umat manusia, di mana agama(wan) dikeluarkan dari gelanggang perpolitikan. Yahudi umpamanya, sebagai pengikut Musa as, yang notabene-nya pesuruh Tuhan, dikejar dan diburu oleh Fir'aun. Begitu juga dengan al-Masih diintai dan diintimidasi  oleh kalangan penguasa. Pun demikian dengan Islam, harus hijrah dan keluar menuju Madinah. Sejarah mencatat, para pengikut agama(wan) disiksa, dikejar-kejar, diboikot, diusir, mulai dari kasus Musa, Al-Masih, Muhammad sampai kepada Bilal ibn Rabbah, dan Ammar ibn Yasir.  Sejarah pengusiran dan penyiksaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah para agama(wan).
Harmonisasi Politik dan Agama
Pasca kekerasan, politik menjadi bersifat antagonis terhadap agama(wan). Dan agama(wan) pun keluar dari gelanggang politik. Akan tetapi, setelah keluar dari wilayah politik. Agama segera mengonsolidasikan para pengikut dan ummat setianya serta membuat kekuatan  di tempat baru. Kekuatan baru ini berwujud sebuah institusi politik. Yahudi dengan tokoh sentral, Musa, menjadi kuat. Para pengikut Al-Masih segera merapatkan barisan pasca disalibnya Al-Masih, yang pada akhinya, Kristen menjadi agama resmi Imperium Romawi.  Pun demikian dengan Muhammad, setelah sampai di Madinah segara mengatur siasat dan mongonsolidasi berbagai lapisan  masyarakat.  Fase ini terjadi lagi hubungan harmonis antara politik dan agama. Hubungan harmonis ini diakibatkan oleh agama(wan) sudah menjadi pemimpin dan penguasa. Dalam bahasa Zaidan, agama menggenggam bumi (ardiyah) dan langit (samawiyah) sekaligus. Dengan kata lain religion as a leader.
Hubungan harmonis tersebut kemudian membuat agama dan politik saling bekerjasama. Kerjasama yang kuat dalam bingkai hubungan mutualisme dalam membentuk masyarakat. Dalam hal ini, agama menjadi ada sisi politisnya, begitu juga politik dimasuki oleh nilai-nilai agama. Seperti dalam bangunan infrastruktur tempat ibadah, agama menjadi sprit dalam membuat arsitektur. Hal yang sama juga terjadi dalam hal hakim peradilan, hakim selain bertanggungjawab kepada pemerintah, juga yang paling penting adalah bertanggungjawab kepada Tuhan.
Hubungan harmonis antara agama dan politik ini juga berimplikasi kepada status agama, yang semula hanya hubungan personal dengan Tuhan, kemudian menjadi sebuah peradaban. Islam membentuk peradaban, mulai dari al-khalifah al-rasyidun, Â kepada Abbasiyah, bahkan Turki Usmani di era Modern. Konsekuensi logis agama sebagai peradaban, agama sudah menjadi pengatur masyarakat dalam konteks sebagai warga negara yang patuh. Sebaliknya, para politikus, juga dituntut untuk selalu menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam dirinya. Â Â Â
Disharmonisasi Agama dan Politik
Kerjasama antara agama dan politik pada fase harmonis di atas, menyebabkan agama menjadi rule of life dari masyarakat. Hampir semua aspek dan lini kehidupan manusia dimasuki oleh agama. Begitu juga sebaliknya, semua lika-liku agama(wan) tidak lepas dari pertimbangan politis. Dalam konteks ini, lahirlah hubungan ke empat yaitu hubungan disharmonis antara agama dan politik.
Ketidakharmonisan ini disebabkan terjadi penafsiran yang beragam terhadap agama. Karena seperti disebutkan oleh Abdul Karim Sorous --seorang pemikir dari Iran, agama, terutama Islam tidak lain adalah lautan interpretasi, Islam is not about ocean of interpretation. Selain itu, dalam interpretasi setiap tokoh agama mempunyai kepentingan tertentu, tidak terkecuali kepentingan politik. Â Â
Beragamnya interpretasi terhadap teks agama mengakibatkan munculnya dua blok besar: penafsiran yang sesuai dengan sikap politik penguasa dan penafsiran yang bertolak belakang dengan sikap politik penguasa. Yang pada akhirnya berujung kepada dua kubu: penafsiran mainstream diwakili mayoritas, dan penasiran tidak mainstream diwakili minoritas. Di sini, pihak politik merangkul dan mengakomodasi penafsiran yang mainstream-mayoritas --demi eksistensi posisinya, sembari membuang dan menyisihkan penafsiran yang tidak mainstream. Dengan kata lain, pihak-pihak yang tidak sependapat dengan pemerintah harus keluar, dan bersiap-siap menjadi oposisi. Di fase inilah munculnya kaum oposan radikal semacam pemberontak, kaum radikalis. Kemunculan ini tidak lain karena penafsiran dan kepentingan mereka tidak diakomodasi pihak politik.
Hubungan ini, menurut Zaidan adalah hubungan yang asli antara agama dan politik. Dengan alasan karena tidak sesuai dengan pemahamannya, kaum radikal menyerang penguasa, dengan mengatasnamakan agama. Sebaliknya juga, penguasa melakukan penyerangan terhadap kaum oposan yang tidak sepaham dan sejalan dengannya, demi menjaga keamanan mayoritas masyarakat. Hubungan dialektis yang tidak bersahabat ini terus-menerus berjalan sampai sekarang. Hubungan antara agama dan politik --miminjam ilustrasi Zaidan --ibarat musim. Ada masa semi, gugur, panas, dan dingin, akan berputar terus menerus.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H