Mohon tunggu...
Hamka Husein Hasibuan
Hamka Husein Hasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Asal dari Bapak. Usul dari Ibu.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Agama, Politik, dan Kekuasaan

22 September 2018   19:42 Diperbarui: 22 September 2018   21:30 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harmonisasi Politik dan Agama

Pasca kekerasan, politik menjadi bersifat antagonis terhadap agama(wan). Dan agama(wan) pun keluar dari gelanggang politik. Akan tetapi, setelah keluar dari wilayah politik. Agama segera mengonsolidasikan para pengikut dan ummat setianya serta membuat kekuatan  di tempat baru. Kekuatan baru ini berwujud sebuah institusi politik. Yahudi dengan tokoh sentral, Musa, menjadi kuat. Para pengikut Al-Masih segera merapatkan barisan pasca disalibnya Al-Masih, yang pada akhinya, Kristen menjadi agama resmi Imperium Romawi.  Pun demikian dengan Muhammad, setelah sampai di Madinah segara mengatur siasat dan mongonsolidasi berbagai lapisan  masyarakat.  Fase ini terjadi lagi hubungan harmonis antara politik dan agama. Hubungan harmonis ini diakibatkan oleh agama(wan) sudah menjadi pemimpin dan penguasa. Dalam bahasa Zaidan, agama menggenggam bumi (ardiyah) dan langit (samawiyah) sekaligus. Dengan kata lain religion as a leader.

Hubungan harmonis tersebut kemudian membuat agama dan politik saling bekerjasama. Kerjasama yang kuat dalam bingkai hubungan mutualisme dalam membentuk masyarakat. Dalam hal ini, agama menjadi ada sisi politisnya, begitu juga politik dimasuki oleh nilai-nilai agama. Seperti dalam bangunan infrastruktur tempat ibadah, agama menjadi sprit dalam membuat arsitektur. Hal yang sama juga terjadi dalam hal hakim peradilan, hakim selain bertanggungjawab kepada pemerintah, juga yang paling penting adalah bertanggungjawab kepada Tuhan.

Hubungan harmonis antara agama dan politik ini juga berimplikasi kepada status agama, yang semula hanya hubungan personal dengan Tuhan, kemudian menjadi sebuah peradaban. Islam membentuk peradaban, mulai dari al-khalifah al-rasyidun,  kepada Abbasiyah, bahkan Turki Usmani di era Modern. Konsekuensi logis agama sebagai peradaban, agama sudah menjadi pengatur masyarakat dalam konteks sebagai warga negara yang patuh. Sebaliknya, para politikus, juga dituntut untuk selalu menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam dirinya.    

Disharmonisasi Agama dan Politik

Kerjasama antara agama dan politik pada fase harmonis di atas, menyebabkan agama menjadi rule of life dari masyarakat. Hampir semua aspek dan lini kehidupan manusia dimasuki oleh agama. Begitu juga sebaliknya, semua lika-liku agama(wan) tidak lepas dari pertimbangan politis. Dalam konteks ini, lahirlah hubungan ke empat yaitu hubungan disharmonis antara agama dan politik.

Ketidakharmonisan ini disebabkan terjadi penafsiran yang beragam terhadap agama. Karena seperti disebutkan oleh Abdul Karim Sorous --seorang pemikir dari Iran, agama, terutama Islam tidak lain adalah lautan interpretasi, Islam is not about ocean of interpretation. Selain itu, dalam interpretasi setiap tokoh agama mempunyai kepentingan tertentu, tidak terkecuali kepentingan politik.   

Beragamnya interpretasi terhadap teks agama mengakibatkan munculnya dua blok besar: penafsiran yang sesuai dengan sikap politik penguasa dan penafsiran yang bertolak belakang dengan sikap politik penguasa. Yang pada akhirnya berujung kepada dua kubu: penafsiran mainstream diwakili mayoritas, dan penasiran tidak mainstream diwakili minoritas. Di sini, pihak politik merangkul dan mengakomodasi penafsiran yang mainstream-mayoritas --demi eksistensi posisinya, sembari membuang dan menyisihkan penafsiran yang tidak mainstream. Dengan kata lain, pihak-pihak yang tidak sependapat dengan pemerintah harus keluar, dan bersiap-siap menjadi oposisi. Di fase inilah munculnya kaum oposan radikal semacam pemberontak, kaum radikalis. Kemunculan ini tidak lain karena penafsiran dan kepentingan mereka tidak diakomodasi pihak politik.

Hubungan ini, menurut Zaidan adalah hubungan yang asli antara agama dan politik. Dengan alasan karena tidak sesuai dengan pemahamannya, kaum radikal menyerang penguasa, dengan mengatasnamakan agama. Sebaliknya juga, penguasa melakukan penyerangan terhadap kaum oposan yang tidak sepaham dan sejalan dengannya, demi menjaga keamanan mayoritas masyarakat. Hubungan dialektis yang tidak bersahabat ini terus-menerus berjalan sampai sekarang. Hubungan antara agama dan politik --miminjam ilustrasi Zaidan --ibarat musim. Ada masa semi, gugur, panas, dan dingin, akan berputar terus menerus.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun