Mohon tunggu...
Hamka Husein Hasibuan
Hamka Husein Hasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Asal dari Bapak. Usul dari Ibu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Epistemologi Hukum Islam

4 Mei 2017   04:03 Diperbarui: 4 Mei 2017   04:53 5082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[/caption]Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, epistem yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran, ilmu, atau teori. Dengan demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan  (theory of knowledge). Sedangkan secara terminologi, epistemologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan teori atau sumber pengetahuan, cara mendapatkanya, serta tata cara menjadikan kebenaran menjadi sebuah pengetahuan serta bagaimana pengetahuan itu diuji kebenarannya.

Para ahli mengatakan ada tiga problematika yang dibahas dalam epistemologi, yaitu a) sumber pengetahuan; b) metode untuk memperoleh pengetahuan; dan c) validitas Pengetahuan. Maka ketika dikaitkan dengan hukum Islam, epistemologi hukum Islam juga berbicara mengenai sumber hukum Islam, metode penggalian hukum Islam, dan validitas hukum Islam.

1. Sumber Hukum Islam

Sumber hukum Islam merupakan terjamahan dari mashādir al-ahkām oleh ulama fikih dan usul fikih klasik; atau al-adillah al-syar’iyyah oleh ulama sekarang. Yang diartikan sebuah wadah yang merupakan tempat penggalian norma-norma hukum dan ini hanya berlaku pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sumber mempunyai arti “asal sesuatu”. Jadi, sumber hukum Islam dapat dipahami sebagai asal atau tempat pengambilan hukum Islam.

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab dengan perantaraan malaikat Jibril, sebagai hujjah (argumentasi) baginya dalam mendakwahkan kerasulannya dan sebagai pedoman hidup bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari kebahagian hidup di dunia dan aakhirat serta media bertaqarrub kepada Allah dengan membacanya.

Dalam hukum Islam, Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum. Tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin mengenai kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama dalam hukum Islam. Bukti yang menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan sumber dan dalil hukum yang utama dan pokok adalah al-Qur’an itu sendiri. 

Dalam merumuskan semua hukum, jika menghendaki kemaslahatan dan keselamatan harus berpedoman kepada al-Quran. Sebagai sumber, hukum dan undang-undang yang dibuat manusia tidak boleh menyalahi kaidah-kaidah hukum al-Qur’an. Dengan kesesuain dan kesejiwaan dari produk penemuan hukum, manusia akan memperoleh keselamatan dan kesejahteraannya.    

b. Sunnah

Sunnah adalah suatu laporan mengena masa lalu, khususnya laporan seputar Nabi, baik itu menyangkut perkataanya, perbuatanya, dan persetujuan diam yang ditunjukinya (taqrīr). Selain al-Qur’an, Sunnah adalah salah satu sumber tempat penggalian hukum Islam. Selain sebagai sumber hukum, al-Qur’an juga berfungsi sebagai penguat terhadap teks, penjelas, penafsir, mengkhususkan, serta membuat hukum baru, yang tidak ada dalam al-Qur’an.

 Pertanyaan yang muncul dari segi epistemologi adalah mungkinkah kita mengetahui masa lampau? Harus diakui, pengetahuan kita terhadap masa lalu adalah pengetahuan yang terbatas. Dengan arti, tidak mungkin kita bisa menghadirkan kembali masa lalu secara empiris, karena masa lalu itu telah hilang dan lenyap. Sekalipun pengatahuan terhadap masa lalu sangat terbatas, bukan berarti merelatifkan semua tentang masa lalu, yang nota-benenya Sunnah adalah bagian dari masa lalu itu. Untuk itu, para Ushūliyyin berpendapat pastilah ada dari masa lalu itu yang bisa diketahui secara pasri. Atas dasar itu, mereka membedakan pengetahuan masa lalu itu kepada pengatahuan yang bersifat pasti dan final (qath’ī) dan pengetahuan yang bersifat tentatif dan relatif (zhannī).

Dengan begitu, para ushūliyyin berpendapat bahwa pengalaman inderawi bukan satu-satunya sumber andalan pengetahuan. Menurut mereka kesaksian atau lapoaran juga bisa dijadikan sumber dalam pengetahuan. Dalam pengetahuan sejarah umpanya, kesaksian serangakaian orang yang disebut dengan rawi dalam teori ‘ulūm al-hadist dan pembentukan sanad yang menghubungkan kita ke masa lalu menjadi jembatan yang memungkinkan kita memiliki pengetahuan tentang  masa silam itu. 

Untuk itu dalam usul fikih, ketika membahas sunnah ada dua kategori laporan: laporan mutawatir dan laporan ahad. Laporan mutawatir merupakan laporan yang dialirkan melalui banyak jalur yang sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan terjadinya pesekongkolan dalam kebohongan. Sementara laporan ahad (tunggal) adalah laporan yang disampaikan melalui satu jalur atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. Laporan mutawatir secara epistemologis menimbulkan pengetahuan (ilmu). 

Mutawatir sendiri berarti bertubi-tubi atau beruntun (at-tatābu’). Jadi keberuntunan serta banyaknya jalur dan sumber lapoaran tersebut menimbulkan kepastian tentang kebenaran isinya (qat’ī). Lapoaran mutawatir merupakan laporan yang kebenaran isinya diketahuai berdasarkan laporan itu sendiri, tanpa tergantung kepada atau ditentukan oleh verifikasi data. Adapun laporan ahad (tunggal) tidak menghasilkan pengatahuan pasti (qat’ī), melainkan hanya menimbulkan pengetahuan tentatif (zhannī), dan ini merupakan bagian terbesar dari laporan masa lalu itu.

B. Metode Penemuan Hukum Islam 

Dalam filsafat hukum, hakikat (ontologi) hukum Islam itu adalah interrelasi antara teks, nalar, dan realita. Maka dalam hukum  Islam, hukum itu tidak dibuat, melainkan ditemukan, dan para mujtahid tidak menetapkan hukum, akan tetapi menemukan hukum. Untuk itu, metode penemuan hukum Islam atau dalam usul fikih disebut dengan tharīqah istimbāt al-ahkām dan tharīqah istidlāl al-ahkām mempunyai tidak metode ijtihad: a) metode bayānī (linguistik); b) metode ta’lilī (kausasi), c) metode istislāhī (teloologis). Tiga metode ini tidak menunjukkan hirearki, melain hanya sekedar klasifikasi. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa metode yang pertama lebih baik dari metode yang kedua, atau sebaliknya dan seterusnya. Tiga metode inilah yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban fikih dari masa ke masa. 

1.Metode Bayani (Linguistik)

Metode ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Metode ini diidentikkan dengan penggunaan nalar ijtihad yang lebih memprioritaskan redaksi teks dari pada substansi teks. Sehingga konsentrasi metode ini lebih berkutat di seputar penggalian pengertian makna teks. Dalam bayānī, redaksi teks –dalam hal ini teks-teks syariah yang beruapa al-Qur’an dan Hadis– adalah sesuatu yang final, kaidah-kaidah kebahasaan sangat dominan di dalam metode ini. Dalam metode ini, fokus kajiannya diarahkan kepada empat segi: a) bagaimana tingkat kejelasan pengertian makna teks hukum; b) pola-pola penunjukan kepada hukum yang dimaksud; c) luas sempitnya cakupan pernyataan hukum; dan d) bentuk formula taklif dalam pernyataan hukum.

Dalam peradaban Islam, teks sangat penting peranannya, bahkan Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan, peradaban arab Islam adalah peradaban teks. Inilah yang salah satu yang membedakan hukum Islam dari hukum barat. Hukum barat menggali hukum dari tingkah laku mayarakat, sementara hukum Islam selain mempertimbangkan tingkah laku masyarakat, juga menggali hukum dari teks-teks sebagai karangka rujukannya. Metode bayani dinggap sebagai metode yang paling awal dari dua metode lainnya, metode ini dipergunakan oleh para mujtahid hingga abad pertengahan dalam merumuskan berbagai ketetapan hukum.

Metode ini mempunyai kelemahan ketika dihadapkan dengan permaslahan-permaslahan baru, yang dalam teks belum atau tidak diatur sama sekali. Seperti adagium yang terkenal dari para ahli hukum Islam yang meyatakan bahwa teks-teks hukum itu terbatas adanya, sementara kasus-kasus hukum tiada terbatas (an-nushus mutanāhiyah wa al-waqā’i ghairu mutanāhiyah). Maka untuk menjembatani itu, dalam hukum Islam ada namanya metode ta’lîlî (kausasi).

2. Metode Ta’lîlî (Kausasi)

Metode ta’lîlî adalah perluasan berlakunya hukum suatu kasus yang yang ditegaskan di dalam nas kepada kasus baru bedasarkan causa legis (illat) yang digali dari kasus nas kemudian diterapkan kepada kasus baru tersebut.  Dalam metode itu fokus kajiannya adalah subtansi teks, berupa illat. Illat itu sendiri didefinisikan oleh para ahli sebagai suatu keadaan, yang relatif dapat diukur, dan mengandung relevansi, kuat dugaan dialah yang menjadi alasan penetapan hukum. Metode ini berdasarkan atas anggapan bahwa ketentuan-ketentuan yang diturunkan oleh Allah terhadap manusia mempunyai alasan logis (nilai hukum) dan hikmah yang dicapainya; Allah tidak mungkin menurunkan ketentuan-ketentuan secara sia-sia tanpa ada hikmah dibaliknya.

Dari definisi di atas, metode ini coraknya adalah deduktif, dimana untuk menemukan hukum baru (premis minor) harus berpatok kepada premis umum, yaitu berupa hukum asal. Di sini terjadi perbedaan antara Al-Gajali dan As-Syatibi. Bagi Al-Ghajali premis minor (hukum cabang) itu sifatnya pasif, karena dialah yang dicari status hukumnya. Ini bisa dimaklumi, kerena  qiyas-nya Ghajali dipengaruhi oleh silogismenya Aristoteles. Sementara bagi  Syatibi premis minor itu harus aktif, dia harus berdealetika dengan premis mayor. 

3. Metode Istislahi (Teleologis)

Metode istislāhī adalah metode penggalian hukum dengan bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari al-Qur’an dan Hadis. Atau metode ini secara sederhana disebut sebagai metode yang dalam penggalian hukum menjadikan tujuan hukum (maqāsid as-syarī’ah) sebagai pertimbangan utama. Dengan demikian, kemaslahatan umum merupakan tujuan dari hukum Islam. Para ulama usul fikih mendefiniskan maslahat sebagai bentuk apresiasi dari ketertiban hukum dalam rangka merealisasikan terwujudnya manfaat dan menghindar dari kerusakan (min tahqīq al-maslahah au jalbi madharrah). 

Akan tetapi harus digarisbawahi bahwa tidak semua kemaslahatan dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum. Kemaslahatan yang sah dijadikan sebagai tujuan dari penggalian hukum adalah kemaslahatan yang didukunng oleh nash, dan selaras dengan semangat syarak secara umum. Berangkat dari sini, para ahli membagi maslahat itu kepada tiga ketegori: maslahat yang diakui legalitasnya dalam syariat, baik langsung maupun tidak langsung (maslahah mu’tabarah); maslahat yang legalitasnya ditolak oleh syariat (maslahah mulghah); dan maslahat yang tidak ada legalitasnya, apakah dia ditolak atau diterima oleh syariat (maslahah mursalah).    

C. Validitas Pengetahuan

Problem epistemologi yang terakhir adalah bagaimana pengetahuan itu diuji kebenarannya. Sebenarnya ada banyak teori uji kebenaran dalam epistemologi. Penyusun hanya mengambi tiga dari teori-teori uji kebenaran tersebut yang dianggap paling sering digunakan dalam hukum Islam, yaitu teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan otoritarianisme.

Pertama, teori kebenaran korespondensi adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan atau realita. Suatu proposisi dikatakan benar apabila proposisi itu saling bersesuaian dengan dengan dunia kenyataan yang diungkapakan dalam pernyataan itu, atau fakta yang menjadi objek pengetahuan. 

Dalam konteks hukum, suatu hukum dikatakan benar atau mempunyai validitas, ketika dia mempunyai korespondensi dengan kenyataan atau realitas yang hidup yang dihadapi oleh masyarakat. Hukum yang tidak punya relevansi dengan kondisi riil masyarakat pada hakikatnya bukanlah hukum. Salah satu tokoh yang menggunakan ini adalah Imam As-Syatibi. 

Kedua, teori kebenaran koherensi adalah sesuatu dinggap benar ketika dia mempunyai kesesuaian (koheren) atau keharmonisan dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi. Hirarki yang lebih tinggi disini adalah berupa teks-teks, baik itu al-Qur’an maupun Hadis. Ahli hukum yang menggunakan ini adalah Imam Al-Ghazali. Ketiga, teori kebenaran otoritarianisme adalah teori yang membuktikan telah ada dan terjadinya prilaku otoritarian dan despotik oleh seseorang atas orang lain, baik karena didasarkan atas otoritas koersif maupun persuasif.  Kebenaran dalam teori ini didasarkan pada pemegang otoritas. Dalam konteks hukum Islam, Syi’ah dan Ahmadiyah Qadian dalam satu sisi bisa dimasukkan ke golongan ini.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun