Dengan begitu, para ushūliyyin berpendapat bahwa pengalaman inderawi bukan satu-satunya sumber andalan pengetahuan. Menurut mereka kesaksian atau lapoaran juga bisa dijadikan sumber dalam pengetahuan. Dalam pengetahuan sejarah umpanya, kesaksian serangakaian orang yang disebut dengan rawi dalam teori ‘ulūm al-hadist dan pembentukan sanad yang menghubungkan kita ke masa lalu menjadi jembatan yang memungkinkan kita memiliki pengetahuan tentang masa silam itu.
Untuk itu dalam usul fikih, ketika membahas sunnah ada dua kategori laporan: laporan mutawatir dan laporan ahad. Laporan mutawatir merupakan laporan yang dialirkan melalui banyak jalur yang sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan terjadinya pesekongkolan dalam kebohongan. Sementara laporan ahad (tunggal) adalah laporan yang disampaikan melalui satu jalur atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. Laporan mutawatir secara epistemologis menimbulkan pengetahuan (ilmu).
Mutawatir sendiri berarti bertubi-tubi atau beruntun (at-tatābu’). Jadi keberuntunan serta banyaknya jalur dan sumber lapoaran tersebut menimbulkan kepastian tentang kebenaran isinya (qat’ī). Lapoaran mutawatir merupakan laporan yang kebenaran isinya diketahuai berdasarkan laporan itu sendiri, tanpa tergantung kepada atau ditentukan oleh verifikasi data. Adapun laporan ahad (tunggal) tidak menghasilkan pengatahuan pasti (qat’ī), melainkan hanya menimbulkan pengetahuan tentatif (zhannī), dan ini merupakan bagian terbesar dari laporan masa lalu itu.
B. Metode Penemuan Hukum Islam
Dalam filsafat hukum, hakikat (ontologi) hukum Islam itu adalah interrelasi antara teks, nalar, dan realita. Maka dalam hukum Islam, hukum itu tidak dibuat, melainkan ditemukan, dan para mujtahid tidak menetapkan hukum, akan tetapi menemukan hukum. Untuk itu, metode penemuan hukum Islam atau dalam usul fikih disebut dengan tharīqah istimbāt al-ahkām dan tharīqah istidlāl al-ahkām mempunyai tidak metode ijtihad: a) metode bayānī (linguistik); b) metode ta’lilī (kausasi), c) metode istislāhī (teloologis). Tiga metode ini tidak menunjukkan hirearki, melain hanya sekedar klasifikasi. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa metode yang pertama lebih baik dari metode yang kedua, atau sebaliknya dan seterusnya. Tiga metode inilah yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban fikih dari masa ke masa.
1.Metode Bayani (Linguistik)
Metode ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Metode ini diidentikkan dengan penggunaan nalar ijtihad yang lebih memprioritaskan redaksi teks dari pada substansi teks. Sehingga konsentrasi metode ini lebih berkutat di seputar penggalian pengertian makna teks. Dalam bayānī, redaksi teks –dalam hal ini teks-teks syariah yang beruapa al-Qur’an dan Hadis– adalah sesuatu yang final, kaidah-kaidah kebahasaan sangat dominan di dalam metode ini. Dalam metode ini, fokus kajiannya diarahkan kepada empat segi: a) bagaimana tingkat kejelasan pengertian makna teks hukum; b) pola-pola penunjukan kepada hukum yang dimaksud; c) luas sempitnya cakupan pernyataan hukum; dan d) bentuk formula taklif dalam pernyataan hukum.
Dalam peradaban Islam, teks sangat penting peranannya, bahkan Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan, peradaban arab Islam adalah peradaban teks. Inilah yang salah satu yang membedakan hukum Islam dari hukum barat. Hukum barat menggali hukum dari tingkah laku mayarakat, sementara hukum Islam selain mempertimbangkan tingkah laku masyarakat, juga menggali hukum dari teks-teks sebagai karangka rujukannya. Metode bayani dinggap sebagai metode yang paling awal dari dua metode lainnya, metode ini dipergunakan oleh para mujtahid hingga abad pertengahan dalam merumuskan berbagai ketetapan hukum.
Metode ini mempunyai kelemahan ketika dihadapkan dengan permaslahan-permaslahan baru, yang dalam teks belum atau tidak diatur sama sekali. Seperti adagium yang terkenal dari para ahli hukum Islam yang meyatakan bahwa teks-teks hukum itu terbatas adanya, sementara kasus-kasus hukum tiada terbatas (an-nushus mutanāhiyah wa al-waqā’i ghairu mutanāhiyah). Maka untuk menjembatani itu, dalam hukum Islam ada namanya metode ta’lîlî (kausasi).
2. Metode Ta’lîlî (Kausasi)
Metode ta’lîlî adalah perluasan berlakunya hukum suatu kasus yang yang ditegaskan di dalam nas kepada kasus baru bedasarkan causa legis (illat) yang digali dari kasus nas kemudian diterapkan kepada kasus baru tersebut. Dalam metode itu fokus kajiannya adalah subtansi teks, berupa illat. Illat itu sendiri didefinisikan oleh para ahli sebagai suatu keadaan, yang relatif dapat diukur, dan mengandung relevansi, kuat dugaan dialah yang menjadi alasan penetapan hukum. Metode ini berdasarkan atas anggapan bahwa ketentuan-ketentuan yang diturunkan oleh Allah terhadap manusia mempunyai alasan logis (nilai hukum) dan hikmah yang dicapainya; Allah tidak mungkin menurunkan ketentuan-ketentuan secara sia-sia tanpa ada hikmah dibaliknya.