Ketiga, interrelasi teks dengan realiatas yang hidup. Ada sebuah adagium: Islam shalihun li kulli zaman wakan, Islam sesuai dengan ruang dan waktu. Adagium ini sebenar menggarisbawahi, bahwa hukum itu sebenarnya dibuat untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Maka dalam proses pembentukan hukum Islam, realitas yang hidup menjadi pertimbangan. Dengan kata lain hukum Tuhan (baca: Islam) bukanlah “pakaian jadi”, tapi dia selalu berproses dalam setiap ruang dan waktu.
Interrelasi antara teks wahyu, realitas yang hidup, dan nalar harus berpijak pada maslahah. Hukum yang kering dari maslahah akan bersifat kaku, rigid, dan tidak menyelesaikan masalah. Dalam tradisi kajian jurisdiksi Islam, para juris tidak mempunyai kata sepakat dalam memberikan batasan dan definisi maslahah. Namun pada tataran substansinya boleh dibilang sampai pada titik penyimpulan bahwa hukum Islam adalah sebentuk upaya hukum untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang bermuatan negatif (mudarat).
Dalam pembahasan filsafat hukum, term maslahah merupakam kata kunci dalam upaya merumuskan visi dan misi ajaran Islam. Dengan alasan inilah kemudian As-Suyuti mengatakan: dimana ada maslahah maka di situ ada hukum.
Keterkaitan anatara teks, nalar, dan realitas yang hidup merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan adanya keterkaitan ke tiga kompenen di atas, hukum Islam tidak akan “dimuseumkan” meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H