Mohon tunggu...
Hamka Husein Hasibuan
Hamka Husein Hasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Asal dari Bapak. Usul dari Ibu.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sesat Pikir "Muslim Baperan"

7 Februari 2017   22:23 Diperbarui: 9 Februari 2017   02:12 3146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Google"][/caption]Harus diakui, medsos menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari manusia sekarang ini, bahkan sudah menjadi semacam tolok ukur eksistensi bagi sebagian orang. Kalau Rene Descartes mengataka: “Cogito ergo sum”, aku berpikir, maka aku ada. Mungkin manusia zaman sekarang akan berkata juga: aku ber-medsos, maka aku ada. Inilah zamannya di mana pengakuan terhadap diri seseorang dilihat dari eksis tidaknya dia di media sosial.  

Akan tetapi apa jadinya hidup ini kalau yang ditampilkan di medsos justru “bawa perasaan”, baperan, meminjan istilah anak muda sekarang. Ini adalah fenomena yang kita jumpai di medsos akhir-akhir ini. Adanya sekelompok “Muslim Baperan”, yang dalam melihat sesuatu langsung bawa perasaan dan hanya mengandalkan emosi semata, tanpa dipikir, dinalar, dan diklarifikasi terlebih dahulu. 

Sebenarnya nggak masalah sih menjadi “Muslim Baperan”. Asalkan “perasaan” di sini dimaknai sebagai perasaan cinta damai, kasih sayang, toleransi, rasa belas kasih, dan hal-hal positif lainnya. 

Yang menjadi masalah adalah ketika “baperan”, dalam prakteknya malah perasaan inferior, perasaan selalu dimusuhi, perasaan bahwa semua pihak di luar  Islam adalah musuh yang ingin menghancurkan dan merusak Islam, yang otomatis harus harus diwaspadai, kalau bisa dihancurkan sekalian.

Akibat dari “baperan” ini –dengan tidak adanya filter berupa nalar dan klarifikasi—media sosial dibanjiri dengan berita hoax, fitnah, kebencian, rasisme, permusuhan, anti-Pancasila, anti terhadap pemerintah yang berkuasa, dan lain sebagainya.  

 Dalam konteks ini, tentunya yang saya maksud adalah pengertian “Muslim Baperan” yang terakhir.  

Konsekuensi dari bawa perasaan melulu, dalam menanggapi issue, kasus, atau peristiwa, “Muslim Baperan” ini akhirnya terjebak kepada kesesatan berpikir (logical fallacy). Yang dalam banyak hal, terasa lucu, ngawur dan menggelikan, bahkan kita nggak habis pikir, kok meraka sepeti itu.  

Berikut ini adalah sebagian kesesatan berpikir dari “Muslim Baperan” di media sosial yang sempat saya rangkum:

To Quoque

Tu quoque adalah menghindar dari kritik sekaligus mendiskreditkan lawan dengan menggunakan kritik yang sama yang disampaikan pada dirinya.

Muslim Baperan biasanya akan berkilah ketika ada aksi kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Ketika terjadi aksi pengebom akhir-akhir ini, baik itu di Sarinah, Samarinda, di Pos-pos Polisi, dst. Para muslim baperan ini berusaha menutupi itu dengan membandingkannya dengan agama lain. 

Misalnya membandingkan terorisme yang mengatasnamakan Islam dengan pembunuhan yang dilakukan tentara Amerika di Timteng, kekerasan Pemeritah Myanmar terhadap kaum Rohingya, keberutalan Israel atas Palestina, dan kekejaman tentara Thailand terhadap kaum Patani.  Dengan perbandinagn tersebut, para muslim baperan biasanya akan berkata: Siapa teroris yang sebenarnya? Siapa yang paling teroris, muslim apa Amerika? Muslim apa Israel? Siapa yang lebih kejam? Dan sederet pertanyaan lainnya.

Tentunya ini adalah pola pikir sesat. Memaparkan kejahatan, kekejaman, dan kesalahan orang lain sama sekali tidaklah bisa membuat dan melegetimasi bahwa apa yang kita lakukan adalah benar. Sama dengan seorang maling, yang menceritakan tentangganya adalah perampok, walaupun perampok lebih kejam dan lebih sadis, namun hal itu tidak sama sekali membuktikan bahwa mencuri itu dibenarkan, dan profesi maling sah-sah saja. Tidak!  

Mengapa tidak diakui saja, kalau memang dalam Islam ada oknum-oknum tertentu yang mencaplok agama untuk melakukan tindak kekerasan, tanpa perlu mengilah dan mengutuk pihak lain, tetapi pihak sendiri berusaha untuk ditutup-tutupi. Atau langkah yang lebih elok adalah mengutuk keduanya, dan berusaha untuk menjelaskan bahwa di agama manapun tindakan terorisme dan kekerasan merupakan sesuatu yang dilarang.     

Analogi yang Keliru

Dalam ilmu mantiq, argumen, analogi atau logika yang benar, sahih dan valid adalah logika antar/antara logika formalnya dan materialnya sesuai, sepadan dan nyambung.  Ketika antar/antara keduanya  bertolak belakang, maka disebut logika, argumen, dan analogi yang salah dan invalid. 

Dalam banyak kasus, di media sosial sering dijumpai analogi keliru yang dilontarkan oleh para muslim baperan ini. Dalam  kasus hijab umpamanya. Para muslim baperan ini mengatakan mengapa wanita dalam Islam itu disuruh untuk memakai hijab, karena wanita dalam Islam itu sangat berharga. Untuk menguatkan pendapatnya, para muslim baperan menganalogikan wanita dengan permen. Seraya berkata: Kalau ada dua permen dilemparkan, yang satu pakai bungkus, dan yang satunya tanpa bungkus, mana yang Anda pilih? 

Pertanyaan itu kemudian dijawab sendiri,  tentunya setiap orang akan memilih permen yang pakai bungkus. Kemudian dengan bangganya meraka akan berkat: Wanita dalam Islam juga seperti itu.  

Bahkan dalam sebuah ceramah, seorang ustad kondang, yang tidak saya sebut namanya, menyamakan antara wanita dengan kue Donat. Mengapa kue Donat di mall-mal itu mahal, karena ia dibungkus rapi, dijaga, dan diletakkan di atas atalase. Sama dengan wanita, kata sang ustad.  

Bagi saya ini adalah analogi yang keliru, bagaimana mungkin kita bisa menyamakan wanita dengan permen dan donat, sementara titik persamaannya tidak ada. Keduanya adalah beda dan berbeda. Tidak bisa dipersamakan apalagi disamakan. Secara logika formal, analogi di atas adalah benar, akan tetapi harus diakui logika materielnya salah besar. 

Kita bisa menganolagikan ketika ada titik persamaan materiel, dalam usul fikih disebut dengan ‘ilat (titik temu antara hukum asal dengn cabang), dalam ilmu balagah dinamakan dengan wajh as-sabhi (titik persamaan). Dalam kasus di atas, tidak ditemukan titik persamaaan antara wanita dengan permen atau kue Donat.

Cocoklogi 

Pernah dengar “Om Telolet Om!” yang sempet menjadi trending topic di medsos diartikan dengan “ Aku Yahudi”, atau Pokemon Go dimaknai sebagai pendangkalan akidah? Ya, itu adalah kerjaan kaum muslim baperan. Menurut mereka, “Om Tololet Om” itu berasal dari bahasa Euthofia dan Pokemon Go berasal dari bahasa Syriac, yang maknanya adalah “Aku Yahudi”.

Bahkan Jonru menulis di akun fecebooknya: “Waspada Om Telolet Om Konspirasi Pendangkalan Akidah.  Om adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi, Tuhan orang Hindu, yang kalau diucapkan lengkap menjadi “Om Swastiastu”. Telolet sinonim dari terompet, adalah ciri khas alat ibadah oarang Yahudi. Nadzubillahiminzalik. Stop Om Telolet Om mulai sekarang, jaga akidah dan jauhi apapun yang bisa mendangkalkan akidah”.

 Inilah yang disebut cocoklogi, sebuah istilah plesetan yan digunakan sebagai ilmu (logos) untuk mencocok-cocokkan sesuatu (cocok).

Mana mungkin “Om Telolet Om” dan Pokemon Go diartikan dengan “Aku Yahudi”. Padahal “Om Telolet Om” tidak lain hanyalah aksi anak-anak di pinggir jalan yang meminta supir bus yang di panggil “Om” agar memencet tombol yan mengeluarkan suara “telolet.. telolet..” Atau Pokemon Go hanya sebuah permainan game yang sempat menjadi booming . Masak diartikan “Aku Yahudi”. Keterlaluan!  

Appeal to Authority

Dengan dikeluarkanya Fatwa Atribut Natal Nomor 56 Tahun 2016, yang isinya mengharam memakai atribut natal, para muslim muslim baperan ini membela mati-matian agar fatwa ini dilakasanakan oleh seluruh kaum muslim di Indonesia. Bagi mereka, fatwa yang dikeluarkan oleh MUI adalah merupakan sebuah kebenaran absolut yang tidak boleh diganggu gugat dan diterima saja tanpa reserve.

Para muslim baperan ini terjebak kepada appeal to authority, yang percaya bahwa jika otoritas menyatakan sesuatu, maka hal tersebut merupakan kebenaran yang valid, tanpa perlu menyelidiki lebih lanjut. 

Pertanyaanya adalah apakah MUI satu-satunya yang punya otoriats untuk mengeluarkan fatwa? Apakah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI mengikat dan memaksa? 

Tanpa melihat dan menjawab dua pertanyaan di atas terlebih dahulu, para muslim baperan selalu saja mengejek, menghina, bahkan sampai kepada tingkat mengkafirkan bagi siapaun yang yang tidak mengindahkan fatwa yang dikeluarkan MUI. 

Argumentum of Baculum

Di media sosial dengan mudah kita mendapati pernyataan-pernyataan yang mengatakan: Siapapun kaum muslim yang memilih Ahok sebagai gubernur nantinya maka di telah murtad, dan imannya telah hilang.

Pernyataan muslim baperan tenntunya sangat menggelikan. Bagaimana mungkin gara-gara memilih Ahok menyebabkan iman bisa melayang. Ini adalah bentuk anacaman yang paling sadis. 

Konsep iman yang dipahami muslim baperan ini mungkin ibarat sebuah istana megah yang dijaga oleh tentara-tentara pilihan yang  selalu mewaspadai pihak luar. Bukan seperti obar, kapan, dimana, dan kepada siapun di akan selalu menerangi. Akibatnya mereka selalu mengancam (argumentum of baculum) pihak-pihak luar yang meraka anggap inggin mengusai istana mereka.

Ad Hominem

Ad hominem adalah sesat pikir yang dalam menanggapi dan mengomentari sebuah argumen, kebijakan, karya atau apalah namanya, ditujukan untuk menyerang dan mendiskreditkan pribadi lawan, bukan kepada argumen itu sendiri; shoot the messenger, not the message.

Dalam banyak kasus, para muslim baperan ini dalam mengomentari pendapat, kebijakan, atau karya yang tidak mereka sukai dengan mendiskreditkan pribadinya. Karena tidak sependapat dan tidak bisa menjawab pendapat Quraish Shihab mengenai jilbab dan kebolehan mengucapkan selamat natal, meraka menyerang Quraish Shihab dengan tudahan macam-macam: liberal, syiah, sesat, anaknya aja nggak ada yang  pake jilbab, dsb.

Tokoh-toko seperti Gus Mus, Syafii Ma’arif, Said Aqil Sirajd, Masdar F Mas’udi, Nusran Wahid, Jokowi, Ahok dan seterusnya, menjadi sasaran empuk mereka, tanpa melihat terlebih dahulu isi pendapat, kebijakan dan karya tokoh yang mereka diskreditkan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun