Misalnya membandingkan terorisme yang mengatasnamakan Islam dengan pembunuhan yang dilakukan tentara Amerika di Timteng, kekerasan Pemeritah Myanmar terhadap kaum Rohingya, keberutalan Israel atas Palestina, dan kekejaman tentara Thailand terhadap kaum Patani. Â Dengan perbandinagn tersebut, para muslim baperan biasanya akan berkata: Siapa teroris yang sebenarnya? Siapa yang paling teroris, muslim apa Amerika? Muslim apa Israel? Siapa yang lebih kejam? Dan sederet pertanyaan lainnya.
Tentunya ini adalah pola pikir sesat. Memaparkan kejahatan, kekejaman, dan kesalahan orang lain sama sekali tidaklah bisa membuat dan melegetimasi bahwa apa yang kita lakukan adalah benar. Sama dengan seorang maling, yang menceritakan tentangganya adalah perampok, walaupun perampok lebih kejam dan lebih sadis, namun hal itu tidak sama sekali membuktikan bahwa mencuri itu dibenarkan, dan profesi maling sah-sah saja. Tidak! Â
Mengapa tidak diakui saja, kalau memang dalam Islam ada oknum-oknum tertentu yang mencaplok agama untuk melakukan tindak kekerasan, tanpa perlu mengilah dan mengutuk pihak lain, tetapi pihak sendiri berusaha untuk ditutup-tutupi. Atau langkah yang lebih elok adalah mengutuk keduanya, dan berusaha untuk menjelaskan bahwa di agama manapun tindakan terorisme dan kekerasan merupakan sesuatu yang dilarang. Â Â Â
Analogi yang Keliru
Dalam ilmu mantiq, argumen, analogi atau logika yang benar, sahih dan valid adalah logika antar/antara logika formalnya dan materialnya sesuai, sepadan dan nyambung.  Ketika antar/antara keduanya  bertolak belakang, maka disebut logika, argumen, dan analogi yang salah dan invalid.Â
Dalam banyak kasus, di media sosial sering dijumpai analogi keliru yang dilontarkan oleh para muslim baperan ini. Dalam  kasus hijab umpamanya. Para muslim baperan ini mengatakan mengapa wanita dalam Islam itu disuruh untuk memakai hijab, karena wanita dalam Islam itu sangat berharga. Untuk menguatkan pendapatnya, para muslim baperan menganalogikan wanita dengan permen. Seraya berkata: Kalau ada dua permen dilemparkan, yang satu pakai bungkus, dan yang satunya tanpa bungkus, mana yang Anda pilih?Â
Pertanyaan itu kemudian dijawab sendiri, Â tentunya setiap orang akan memilih permen yang pakai bungkus. Kemudian dengan bangganya meraka akan berkat: Wanita dalam Islam juga seperti itu. Â
Bahkan dalam sebuah ceramah, seorang ustad kondang, yang tidak saya sebut namanya, menyamakan antara wanita dengan kue Donat. Mengapa kue Donat di mall-mal itu mahal, karena ia dibungkus rapi, dijaga, dan diletakkan di atas atalase. Sama dengan wanita, kata sang ustad. Â
Bagi saya ini adalah analogi yang keliru, bagaimana mungkin kita bisa menyamakan wanita dengan permen dan donat, sementara titik persamaannya tidak ada. Keduanya adalah beda dan berbeda. Tidak bisa dipersamakan apalagi disamakan. Secara logika formal, analogi di atas adalah benar, akan tetapi harus diakui logika materielnya salah besar.Â
Kita bisa menganolagikan ketika ada titik persamaan materiel, dalam usul fikih disebut dengan ‘ilat (titik temu antara hukum asal dengn cabang), dalam ilmu balagah dinamakan dengan wajh as-sabhi (titik persamaan). Dalam kasus di atas, tidak ditemukan titik persamaaan antara wanita dengan permen atau kue Donat.
CocoklogiÂ