WAKIL PRESIDEN BUKAN IBU NEGARA
Mendudukkan Perempuan sebagai calon wakil presiden, tidak sama dengan menyandingkan Perempuan sebagai istri bagi suaminya.
Sebagai istri, harus mampu memahami gerak gerik suaminya dan selalu sehaluan. Semuanya harus direncanakan dan dimatangkan strateginya, karena hanya satu tujuan, yaitu terbangun keluarga yang harmonis dari rasa bahagia bersama.
Maka Perempuan sebagai wakil presiden, belum tentu bisa menjadi sejalin dan sejalan dengan presidennya, karena kedua hati terikat dengan hubungan birokrat yang tidak ada jaminan lekat melekat sepanjang hayat periode jabatannya.
Jelaslah posisi wakil presiden Perempuan tidak sama dengan posisi ibu negara, terbatas oleh ruang dan waktu dalam tiap kepentingannya. Meski begitu tidaklah kemudian menjadi memudar lipstiknya, semuanya bergantung kepada kesepakatan awal dan kesetiaan atasnya.
LIPSTIK DAN POLITIK SATU TITIK
Tak kalah menarik bila saja yang disajikan bukanlah calon wakil presiden, lebih menantang lagi adalah calon presiden dan sekali lagi dalam politik semuanya bisa terjadi, bergantung kepentingan yang direncanakan.
Seperti Khofifah Indar Parawangsa, tokoh muslimat dan terbukti mampu memimpin Jawa Timur. Puan Maharani berpengalaman memimpin Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), atau Yenny Wahid, juga perempuan-perempuan lain yang menjadi kebanggaan negeri ini.
Ini adalah tantangan bagi para perempuan, untuk mendesak dan melesat ke depan sehingga bisa ditampilkan sebagai pemimpin masa depan.
Pesona lisptik, jangan sampai hanya menjadi pemanis dan lamis di arena politik, namun betul-betul diperankan sebagaimana titik yang ditentukan. Seperti fungsi titik itu sendiri yaitu sebagai penanda atau "tetenger" yang memiliki makna ketika hadir dan menghampakan segalanya tatkala tiada.
Berkibarlah dan berkiprahlah para berempuan, rebut haluan bimbing bangsa menuju masa depan gemilang