Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gosip Kedudukan Anak dan Jawaban Undang-Undang Perkawinan

14 Februari 2023   14:22 Diperbarui: 18 Februari 2023   08:16 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak dan kedua orangtuanya. (sumber: Thinkstockphotos via kompas.com) 

Dari hasil perkawinan salah satunya adalah dilahirkan anak dan anak-anak, karena salah satu kenikmatan dalam perkawinan adalah terlaksananya hubungan biologis secara aman dan tenang, 

Kalau perkawinannya dilakukan secara sah baik menurut hukum agama maupun perundang-undangan. Beda ketika perkawinannya tidak jelas, tidak ada akad nikah dan hal-hal lain. 

Maka akibatnya juga lain dari kebiasaan yang sudah tertata rapi dalam maasyarakat, yaitu gamang dan merasa dikejar-kejar.

Anak adalah akibat dari perkawinan, hadirnya seorang manusia (anak) bukanlah kehendaknya sendiri, dengan sendirinya ia lahir dari proses yang lazim melalui kandungan ataupun di luar kandungan, orang tualah yang mengakitban bayi-bayi itu lahir ke dunia. 

Bila anak dilahirkan dengan penuh kasih sayang, maka yang lahir adalah buah hati (sebagai sebutan anak yang benar-benar dinantikan dan diharapkan kehadirannya).

Itu sehingga kelahirannya memberi harap cemas, kehadirannya disambut tangis suka dan disiapkan kebutuhannya pra natal atau sebelum kelahiran. Anak-anak yang tidak diharapkan mengalami kegundahan sejak masa kehamilan. 

ANAK YANG SAH

Pembahasan tentang anak yang sah adalah sah menurut perundang-undangan agar jelas dasar dan arahnya. Yakni berkaitan dengan proses, pelaksanaan dan bukti.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 BAB IX tentang Kedudukan Anak Pasal 42  menyebutkan bahwa "anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah". Jelaslah di sini bahwa anak yang sah karena sahnya perkawinan orang tuanya.

Perkawinan yang sah, adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat, rukun dan administrasi perkawinan. 

Sebagai bukti sahnya perkawinan adalah diterimanya Kutipan Akta Nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah di tempat pendaftaran dan pelaksanaan akad nikah. 

Dalam hal ini sebenarnya masih ada perdebatan ketika pernikahannya di masa hamil sang perempuan. Seperti yang disebut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa wanita hamil bisa dinikahkan dengan lelaki yang menghamili.

Bila perkawinan di masa kehamilan dinyatakan sah, maka secara otomatis anak yang dilahirkannya juga menjadi anak sah. tanpa harus ada tafsiran lain.

TIDAK MENDAPAT BUKU NIKAH

Bagaimana dengan perkawinan yang dilaksanakan oleh oknum tertentu tetapi tidak dikeluarkan kutipan akta nikah atau buku nikah ?. Inilah gosip selalu berkembang dalam masyarakat.

Di masa lampau, masih banyak perkawinan yang dilakukan oleh orang "yang dianggap tokoh atau ditokohkan" dengan menghadirkan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) tetapi tidak dicatat dan tidak diberi buku nikah. 

Biasanya pegawai KUA yang hadir dalam suatu perkawinan yang tidak tercatat adalah mereka mewakili dirinya sendiri, tidak mendapat tugas dari atasannya, atau bahkan tanpa sepengetahuan atasan dan mitra kerjanya.

Kebiasaan masyarakat pada masa pra reformasi, tidak banyak yang memberikan perhatian  kepada keberadaan buku nikah. 

Mereka lebih mengutamakan keabsahan pelaksanaan, yang penting sudah diakad sah baik oleh kiai (tokoh agama) atau pegawai KUA. Sama sekali tidak dipertanyakan buku nikah. 

Setelah dibutuhkan buku nikah dalam suatu pengurusan misal akta kelahiran anak, jual beli tanah, urusan perbankan  dan lainnya, mereka menanyakan kepada modin atau pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).

Lalu pak modin menjawab "kapan ya akadnya, saya lupa sama sampean", wah... ini alamat  tidak ditemukan buku nikahnya.

Banyak gosip yang bertebaran tentang anak sehingga membuat sang anak gundah (Sumber Gambar: Hamim Thohari Majdi)
Banyak gosip yang bertebaran tentang anak sehingga membuat sang anak gundah (Sumber Gambar: Hamim Thohari Majdi)

Gosip semakin berkembang bila tidak diperoleh buku nikah dari pak modin, orang tua gundah karena anaknya tidak bisa diuruskan akta kelahiran. 

Pun toh bila diurus akan menjadi anak ibu. sebagaimana pasal 43 ayat (1) disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 

Maksud dari di luar perkawinan adalah tidak memenuhi kedua unsur sahnya sebuah perkawinan sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 2, ayat (1) menegaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, ayat (2) tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi yang ada di lapangan (praktek) mereka sah menurut peraturan perundang-undangan, namun ketentuan ayat (2) tidak dipenuhi, serta perkawinannya tidak mempunyai bukti.

Agar perkawinan yang sudah dilaksanakan dan telah memenuhi ketentuan hukum agama mempunyai kekuatan hukum, maka bisa dilakukan isbat nikah (penetapan) pada saat akad nikah di Pengadilan Agama.

Bila bukti tercukupi dan saksi yang dihadirkan dalam persidangan membenarkan terjadinya perkawinan pada masa itu, otomatis akan dikabulkan permohonan penetapan (isbat) nikahnya.

SUAMI BISA MENOLAK ANAK YANG DILAHIRKAN ISTERINYA

Pada kasus-kasus tertentu tentang kehamilan dan kelahiran, maka menimbulkan permasalahan tentang status atau kedudukan anak. 

Proses pembuahan yang dipermasalahkan, bisa melahirkan penolakan oleh seorang pria atau suami karena tidak merasa menghamili.

Namun penolakan ini tidak serta merta hanya dengan pengakuan sang suami, perlu adanya pembuktian. Undang-Undang Perkawinan pasal 44 ayat (1) menegaskan Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bila mana ia bisa membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.

Pasal ini memberikan dorongan moral agar berhati-hati dalam menjaga kesucian rumah tangga, di antaranya adalah menjauhkan diri dari perzinaan dan mempertahankan rumah tangga hingga tercapai tujuannya yaitu bahagia dan kekal.

Begitu juga bagi seorang laki-laki atau suami tidak boleh mengelak hasil kerjanya yang melahirkan anak, Sehingga titik poin kedudukan anak dapat diketahui dari dimilikinya akta kelahiran yang menyebut dari pasangan suami isteri yang sah.

Penulisan pada akta kelahiran telah mengalami perbaikan bagi perkawinan yang tidak bisa dibuktikan dengan buku nikah, pertama anak tersebut adalah anak ibu, tanpa penyebutan ayah dalam akta kelahiran. Kedua anak dari pasangan suami isteri yang perkawinannya belum tercatat.

 Memang sulit dipahami terhadap akta kelahiran yang berbunyi dari perkawinan yang belum tercatat, sama dengan tiak tercatat dan tidak sah perkawinannya. 

Namun setidaknya pemerintah telah berusaha untuk memberi kepastian pencatatan status kependudukannya yang diperjelas.

Bagi mereka yang sudah akad nikah dan sudah berkumpul satu rumah, lalu anak-anaknya lahir dan negara hadir mengakui kelahirannya dari sepasang suami istri meski tidak tercatat. Namun bisa tercantum alam Kartu Keluarga.

Gosip kedudukan anak akan hilang bila terjawab dengan peraturan, bukan dengan katanya atau prasangka lainnya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun