Sebagai bukti sahnya perkawinan adalah diterimanya Kutipan Akta Nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah di tempat pendaftaran dan pelaksanaan akad nikah.Â
Dalam hal ini sebenarnya masih ada perdebatan ketika pernikahannya di masa hamil sang perempuan. Seperti yang disebut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa wanita hamil bisa dinikahkan dengan lelaki yang menghamili.
Bila perkawinan di masa kehamilan dinyatakan sah, maka secara otomatis anak yang dilahirkannya juga menjadi anak sah. tanpa harus ada tafsiran lain.
TIDAK MENDAPAT BUKU NIKAH
Bagaimana dengan perkawinan yang dilaksanakan oleh oknum tertentu tetapi tidak dikeluarkan kutipan akta nikah atau buku nikah ?. Inilah gosip selalu berkembang dalam masyarakat.
Di masa lampau, masih banyak perkawinan yang dilakukan oleh orang "yang dianggap tokoh atau ditokohkan" dengan menghadirkan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) tetapi tidak dicatat dan tidak diberi buku nikah.Â
Biasanya pegawai KUA yang hadir dalam suatu perkawinan yang tidak tercatat adalah mereka mewakili dirinya sendiri, tidak mendapat tugas dari atasannya, atau bahkan tanpa sepengetahuan atasan dan mitra kerjanya.
Kebiasaan masyarakat pada masa pra reformasi, tidak banyak yang memberikan perhatian  kepada keberadaan buku nikah.Â
Mereka lebih mengutamakan keabsahan pelaksanaan, yang penting sudah diakad sah baik oleh kiai (tokoh agama) atau pegawai KUA. Sama sekali tidak dipertanyakan buku nikah.Â
Setelah dibutuhkan buku nikah dalam suatu pengurusan misal akta kelahiran anak, jual beli tanah, urusan perbankan  dan lainnya, mereka menanyakan kepada modin atau pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).
Lalu pak modin menjawab "kapan ya akadnya, saya lupa sama sampean", wah... ini alamat  tidak ditemukan buku nikahnya.