Tulisan ini terinspirasi oleh kegiatan webinar yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana dengan tema "percepatan penurunan stunting", pokok acara sendiri yaitu pertemuan upaya sinergitas PPS bersama Mitra dengan menghadirkan nara sumber dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K). kepala BKKN pusat dan Dr. H Husnul Maram, M.Hi. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama  Provinsi Jawa Timur, pada hari senin, 13 Pebruari 2023.Â
Stunting menjadi hambatan besar bagi upaya mewujudkan generasi emas. Hal ini juga berarti ada kendala pelamban mengantar keluarga Indonesia yang sehat, produktif dan berkualitas.
Untuk mengurangi angka stunting bahkan usaha percepatan penurunan stunting telah banyak dilakukan oleh instansi terkait seperti : Kementerian dalam negeri, Kementerian Kesehatan, Â Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Agama, semuanya memiliki program yang sangat luar biasa guna menjawab tantangan penurunan angka stunting.
Para pimpinan di tingkat pusat dan daerah, bahkan sudah melakukan Kerjasama dalam penanganan stunting yang tertuang dalam kesepahaman di atas kertas, saling mengikat dan mengingatkan akan keterlaksanaan di tingkat bawah. Namun di tingkat bawah masih belum dipahami dan disadari bahwa pelaksana kerja sama dimaksud adalah ada pada tingkat bawah, yakni kecamatan dan desa. Sebab mereka inilah yang langsung berhadapan dengan masyarakat yang terjaring stunting.
Bahkan pada kondisi tertentu saling di tingkat bawah justru menyalahkan (masa lalu dan sekarang sudah tidak ada) satu instansi dengan lainnya, karenanya perlu ada pemahaman yang benar dan memahami secara benar apa yang dilakukan oleh instansi lain.
PERNIKAHAN DINI SERING DIKAMBING HITAMKAN
Bila berbicara tentang stunting, seakan-akan tidak pernah melepaskan kata perkawinan dini, kawin di usia anak-anak atau kawin sebelum mencapai usia 19 tahun seperti yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan UU nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, bawa usia perkawinan semula laki-laki berusia 19 Tahun dan perempuan 16 Tahun, kini keduanya harus sudah berumur 19 Tahun.
Menjadikan perkawinan dini sebagi salah satu indikator penyebab stunting, mungkin bisa dibenarkan. Namun menjadikannya sebagai penyebab utama perlu ada kajian yang mendalam dan studi kasus. Sehingga data yang tersaji benar-benar valid dan akurat dan bisa dijadikan dasar penelusuran atau (mengurut) perkawinan dini yang bagaimana yang menimbulkan stunting.
Mari bersama-sama secara terbuka mendata, berapa persen kasus stunting yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang melaksanakan pernikahan dini, sebab ditelusuri di  lapangan banyak dari mereka yang masuk katagori pernikahan dini bayi yang dilahirkan normal dan sehat. Dan tidak dipungkiri perkawinan dini juga menjadi penyumbang terjadinya stunting. Namun bukan sebagai penyebab utama.
JANGAN MENYALAHKAN PEMBERIAN DISPENSASI KAWIN
Pernikahan dini yang sah dan dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atas keputusan Pengadilan Agama. Kantor Urussan Agama sebagai lembaga pencatat dan pengawasan Perkawinan bagi orang Islam tidak pernah berani menikahkan pasangan calon suami- isteri atau salah satu calon yang usianya kurang dari sembilan belas tahun, walau kurang satu hari saja tanpa adanya ijin dispensasi kawin yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama.
Begitu halnya Hakim tidak akan mengabulkan permohonan dispensasi Kawin secara sembrono, hakim memiliki pertimbangan yang matang, baik berdasarkan kerangka keagamaan, kehormatan dan harga diri pihak-pihak yang terlibat dan demi masa depan keluarga pemohon.
Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, hakim tidak lagi mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan bagi umur di bawah enam belas (16) tahun dalam kondisi wajar.Â
Bila hakim mengabulkan permohonan dispensasi kawin sedikitnya ada tiga alasan yaitu ;Â
- Calon suami isteri tidak lagi dapat dipisahkan, orang tua sangat khawatir kalau terjadi hal-hal yang tidak dinginkan dan mengganggu ketenteraman sosial. Dalam hal ini tidak ada yang berani menanggung dosa.
- Pihak perempuan sudah hamil, pada kasus seperti ini hakim lebih mudah memutuskan agar rumah tangga suami isteri segera memiliki kekuatan hukum dan anak yang dilahirkan kelak jelas orang tuanya secara syar'i dan administrasi.
- Kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat masih adanya hari-hari baik, dengan berjuta dalil yang disampaikan. Bahkan kasus yang unik, karena keyakinanya harus dilaksanakan pada hari dan tanggal  tertentu, tidak mau menunda walau hanya kurang sepuluh hari.
Dengan pikiran jernih dan hati yang lapang, akan mampu menghasilkan persepsi yang sempurna, sehingga tidak memiliki prasangka berlebihan terhadap apa yang dialkukan oleh orang lain, termasuk Pengadilan Agama dan KUA.
PENYEBAB UTAMA STUNTING
sebagai penyebab utama stunting dalam paparan ini adalah selain penyebab pernikahan dini, maka ada tiga hal yang perlu dicurigai sebagai munculnya stunting.
Pertama, asupan gizi yang kurang, zaman dahulu kala penyebab ini disebut dengan gizi buruk. Asupan makannya hanya melezatkan di mulut dan mengenyangkan perut. Sehingga pasokan gizi tidak terpenuhi, akibatnya mengalami hambatan pertumbuhan raga dan jiwa anak. Karenanya ada kampanye gemar makan ikan, gemar makan telur dan lainnya.
Kedua, kesehatan orang tua yang kurang prima, bagaiman bayi bisa tumbuh dengan baik kalau ibu yang mengandung sering sakit, sakit yang dikibatkan kurangnya pasokan makan atau sakit dari penyebab yang lain.
Ketiga orang tua yang belum siap, tentu kasus ini tidak mutlah dialami oleh mereka yang melakukan kawin anak, tetapi juga mereka yang sudah dewasa secara umur tetapi perilakunya masih kekanak-kanakan, kedewasaan dan kemandiriannya belum muncul, semua masih bergantung kepada orang dewasa yang lain terutama ayah dan ibunya. Sehingga bisa disebut anak diasuh oleh orang tua yang "kekanak-kanakan", masih senang bermain dan belum tahu makna tanggung jawab. Sehingga sang anak tidak menjadapat perhatian dan jaminan ketercukupan makanan.
PENCEGAHAN SEBELUM KAWIN DAN PENANGAN PASCA KELAHIRAN
Pencegahan adalah utama daripada mengobati, maka penanganan stunting harusnya sudah dilakukan kepada pada remaja mulai usia sekolah. Hal ini penting untuk melakukan penyesuaian materi, sebab materi sosialisasi tentan stunting dan pencegahan perkawinan dini lebih diperhatikan oleh para remaja tentang pelajaran seks, hal mana ini dijadikan sebagai ilmu dan pengetahuan tentang fungsi alat kelamin, utamanya materi reproduksi remaja. (ada dampat negatif yang ditimbulkan)
Materi sosialisasi perlu direview untuk diadaptasikan dengan generasi milenial yang sudah mengenal seks lebih jauh melalui internet. Oleh karena itu Kementerian Agama memiliki program Bimbingan Perkawinan Remaja usia sekolah (BRUS) Bimbingan Perkawinan Bagi calon Pengantin , begitu juga kementerian kekesatan dan BKKBN.
Sedangkan penangan pasca kelahiran adalah upaya penanganan kasus-kasus stunting yang riil, sudah terjadi. Maka hal ini perlu adanya identifikasi yang cermat agar mendapat penanganan yang tepat.
MELEBUR EGO SEKTORAL
 Sesuai dengan tupoksi masing-masing dinas instansi di tingkat bawah sudah menjalankan program penanganan stunting sesuai dengan arahan dari atasannya, sungguh tidak bisa disangkal semangat dan keseriusannya tidak lagi dapat diragukan sepeti Kantor Urusan Agama (KUA) sudah mengawal calon pengantin di jalan yang benar dan terpenuhinya seluruh sarat penunjang misal adanya periksa kesehatan dari Puskesma dan telah mengisi elsimil  serta melakukan bimbingan atau penasihatan perkawinan.
Begitu halnya dengan Puskesmas menjaring remaja usia nikah dan membekalinya secara terstruktur, mengerahkan para medis melakukan sosialisasi melalui forum resmi dan non resmi.
Sedang Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) mendekati kepada remaja usia kawin agar siap merencanakan perkawinan dengan menunda kehamilan, memperpanjang masa bulan madu menjadi tahun madu.
Usaha-usaha di atas yang dilakukan oleh masing-masing dinas instansi sebagian berjalan sendiri-sendiri, jalannya pasti tetapi belum mencapai tujuan yang sama karena standar dan caranya yang berbeda-beda.
Andai saja di tingkat desa dan kecamatan ada paguyuban atau komunitas peduli stunting yang di dalamnya seluruh dinas instansi serta masyarakat bersatu menyusun rencana dan melangkah bersama-sama, maka hasilnya akan lebih dahsyat dan penurunan angka stunting lebih cepat.
Pertanyaan yang diajukan , dari mana penyatuan ego sektoral ini dimulai, siapa yang harus memulai serta mengkoordinasikan, karena tanpa adannya forum dan penggerak  sangat sulit untuk menyatukan gerak.
Mari membingkai ego sektoral sebagai kekuatan besar dan dinamis sehingga "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing", satu merasa sakit maka sakitlah semuanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H