Selama ini dipahami banyak orang bahwa idah (masa tunggu) hanya berlaku bagi seorang isteri untuk menikah dengan laki-laki lain, karena memang hukum agama dan perundang-undangan mengatur seperti itu, adanya iddah hanya untuk perempuan.
Dengan adanya idah yang hanya berlaku bagi isteri atau tidak ditetapkannya masa idah bekas suami, menimbulkan praktek poligami terselubung, karena rujuknya pasangan ini belum menjadi penyakit sosial.
Karenanya pada  tanggal 30 September 2021 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama dengan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, melalui forum diskusi mereview Surat Edaran Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam  Nomor : DIV/Ed/17/1979 tanggal 10 Februari 1979 Tentang Masalah Poligami Dalam Idah tidak berjalan efektif, sehingga perlu adanya kepastian tata cara dan prosedur pencatatan perkawinan bagi mantan suami yang akan menikah dengan perempuan lain, agar tidak memberi efek genada, baik bagi bekas isterinya atau perempuan lain yang dinikahi.
BENTUK KASUS
Kasus yang sering  muncul atas tidak adanya masa idah bagi mantan suami adalah pernikahan yang dilakukan bekas suami menikah dengan perempuan lain yaitu setelah berjalannya bahtera rumah tangga baru yang dijalani  (bekas suami dengan perempuan lain ),  tiba-tiba bekas  suami ini kembali kepada mantan isterinya, baik di masa idah maupun di luar masa idah.
Ada dua kemungkinan proses kembalinya bekas suami kepada bekas isterinyaÂ
Pertama, melakukan rujuk berarti pasangan ini bersepakat untuk rujuk dan mengurus secara resmi melalui pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini sangat dimungkinkan, karena saat rujuk telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh  hukum agama dan perundang-undangan yaitu di masa idah, masa tunggu untuk melakukan rujuk.
Kedua, karena masih adanya keterpautan cinta antara mantan suami dan mantan isteri, lalu keduanya bersepakat  untuk menikah lagi. Dalam hal ini dilakukan pernikahan "siri" (nikah secara agama saja) dilakukan tanpa sepengetahuan pegawai Pencatat Nikah, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak memiliki bukti administrasi atas perkawinannya.
Pada kasus kedua, bila dicatatkan, maka otomatis harus ada ijin poligami, sebab mantan isteri dan mantan suami benar-benar adalah orang lain yang tidak memiliki ikatan apapun, telah terpisah oleh perkawinan dan masa idahnya habis.
Baik pada kasus pertama atau pada kasus kedua merupakan poligami terselubung, meskipun pada kasus pertama nyata resmi karena memiliki buku nikah yang diambil dari Pengadilan karena adanya peristiwa rujuk yang dicatatkan.