Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Eksplorasi dan Eksploitasi Emosi

26 Juli 2022   21:59 Diperbarui: 26 Juli 2022   22:12 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggunaan kata "emosi" dalam keseharian masih banyak yang mengarah kepada hal negatif atau merusak, misal ucapan "jangan emosi" penggunaan kata jangan berarti larangan untuk bersikap emosional, contoh lain "tahan emosinya" bisa diartikan bila emosinya dilepas akan membuat sesuatu yang tidak menyenangkan atau mengganggu kesenangan orang lain.

Menurut Alex Sobur dalam bukunya Psikologi Umum menyebutkan bahwa pada hakekatnya, setiap orang mempunyai emosi. Dari bangun tidur pagi hari sampai waktu tidur malam hari, kita mengalami macam-macam pengalaman yang menimbulkan berbagai emosi pula. 

Misalnya, pada saat makan pagi bersama keluarga, kita merasakan kegembiraan. Atau dalam perjalanan ke tempat kerja, di jalanan terjadi kemacetan, sehingga setelah tiba di tempat tujuan, kita merasa malu karena datang terlambat, dan seterusnya. Semua itu merupakan emosi kita.

Berarti emosi bukanlah hanya berkaitan dengan hal-hal yang negatif atau menyedihkan dan menyengsarakan, akan tetapi berkaitan pula dengan hal yang bersifat positif, membangkitkan, menggairahkan kehidupan manusia bila dieksplorasi dengan dengan tepat.

Definisi Emosi

Oxford English Dictionary dalam Goleman (1995) mendefinisikan emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, keadaan mental yang meluap-luap. 

Wang dan Ahmed (2003) menyebut emosi adalah konstruk psikologis dari aktivasi atau arousal; ekspresi motoris; komponen motivasional termasuk di dalamnya niat berperilaku atau kesiapan aksi berperilaku; dan komponen dari kondisi subyektif.

Emosi dibagi menjadi dua tipe, positif dan negatif. Emosi positif akan membuat kepribadian menarik, dan hal ini akan menambah kebahagiaan. Emosi negatif terbukti akan menghancurkan kebahagiaan dan merampas akal sehat (O.P. Sharma : 2008)

Para ahli sosiologi mengungkap keunggulan perasaan (emosi) dibanding nalar (intelegensi), emosi merupakan pusat jiwa, emosi menuntun menghadapi saat kritis dan tugas-tugas yang terlalu riskan  bila hanya diserahkan kepada otak, kehilangan yang menyedihkan, bertahan mencapai tujuan kendati dilanda kekecewaan.

Kegunaan Emosi 

 Coleman dan Hammen dalam Rahmat (1994) sebagaimana dikutip Alex Sobur, menyebutkan setidaknya ada empat fungsi emosi yaitu :

  • Emosi adalah pembangkit (energizer), tanpa emosi kita tidak sadar atau mati. Emosi membangkitkan dan memobilisasi energi kita; marah menggerakkan kita untuk menyerang, takut menggerakkan kita untuk lari, cinta mendorong untuk mendekat dan bermesraan.
  • Pembawa informasi (messenger), bagaimana keadaaan kita dapat diketahui dari emosi kita; sedih berarti kita kehilangan sesuatu yang kita senangi, bahagia berarti berhasil memperoleh apa yang kita senangi, berhasil berarti menghindari hal yang kita benci.
  • Emosi bukan saja membawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga membawa pesan dalam komunikasi interpersonal. Dalam retorika diketahui bahwa pembicaraan yang menyertakan seluruh emosi dalam pidato dipandang lebih hidup, lebih dinamis dan lebih meyakinkan.
  • Emosi merupakan sumber informasi keberhasilan kita. Kita mendambakan kesehatan dan kita mengetahuinya ketika kita merasakan sehat wal afiat.

 Eksplorasi Emosi

Emosi memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, bahkan manusia tidak bisa hidup tanpa menghidupkan emosinya. Agar emosi memiliki daya guna perlu dieksplorasi sebagai kekayaan diri, artinya kehormatan dan kebahagiaan seseorang amat bergantung seberapa sering melakukan eksplorasi emosinya. Seperti menimba air di muara semakin jernih airnya.

Seperti yang dikatakan Rochelle (1986) emosi sendiri seperti rasa sayang, benci, gembira dan marah, tidak memaksa kita untuk bertingkah laku tertentu. Tetapi arti yang kita berikan kepada emosi itu dapat mengarahkan kita kepada tingkah laku tertentu. Hal yang sukar dalam emosi adalah membedakan berbagai emosi dan memberikan arti kepadanya

Lebih lanjut Rochelle (1986) mengaskan menemukan arti dari emosi-emosi kita merupakan kesibukan seumur hidup dan tidak jarang menuntut kerja keras. Sering kita tidak sadar bahwa sebelum kita menanggapi suatu emosi. Kita harus berpikir secara serius mengenai arti emosi tadi. Makin hebat emosi, makin sukar untuk membuat keputusan apakah kita akan mengungkapkan dan bagaimana cara mengungkapkannya.

Tridhonanto (2009) menyebut ada tiga faktor yang berpengaruh dalam mengeksplorasi emosi yaitu : lingkungan, pegasuhan dan pendidikan.

Pertama, faktor lingkungan. Seachter/Singer Theory (dalam Masumoto, 1993)  sebagaimana dikutip Dayakisni dan Yuniardi (2008), bahwa pengalaman emosi bergantung pada interpretasi seseorang mengenai lingkungan di mana emosi itu dibangkitkan. 

Merujuk pada teori ini, emosi tidak dibedakan physiologis. Sebaliknya apa yang penting dalam proses yang menghasilkan pengalaman emosi adalah bagaimana seseorang menginterpretasikan peristiwa-peristiwa di sekitar mereka.

Kedua, faktor pengasuhan, atau sering disebut pola asuh. Tidaklah dipungkiri bahwa karakter seseorang  sangatlah bergantung  bagaimana pola asuh yang didapatkan, anak-anak yang dibesarkan dengan sitem otoriter cenderung menjadi otoriter bahkan pendendam, anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh demokratis cenderung mampu bersimpati bahkan berempati serta menghargai orang lain (Tridhonantgo, 2009)

Ketiga, faktor pendidikan. Pendidikan di rumah ataupun di sekolah berperan penting dalam membangun kemampuan mengeksplorasi emosi. Di sekolah akan mendapatkan pendidikan secara terarah, sistematis dan terencana. Di rumah mendapatkan pendidikan secara informal baik melalui orang tua maupun media lain seperti televisi atau buku. 

Keduanya menurut   Tridhonanto (2009) membekali dan membentuk  agar tumbuh secara seimbang baik dalam memehami aneka pengetahuan, bahkan mengungkapkan emosi dan perasaan.

Untuk bisa mengeksplorasi secara maksimal, maka kewajiban orang tua untuk memediasi agar anak-anak tumbuh secara alami, merespon peristiwa yang dialaminya dan memberi penguatan makna dari apa yang ditangkap. Sedang bagi orang dewasa mengeksplorasi emosi disertai dengan kematangan berpikir dan pengarahan kepada yang lebih baik. 

Agar hidup menjadi bahagia dan bisa membagi kebahagiaan dengan orang yang ada di sekitar, maka arahkan emosi kepada kebaikan bersama. 

Semakin peka dengan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain, maka semakin banyak sumber energi kebahagiaan yang bisa dikembangkan, yaitu memanfaatkan emosi untuk kebaikan.

 Eksploitasi Emosi

Rochelle (1986) menyebut ada cara yang membangun dan merusak dalam hal menguasai emosi kita. Perasaan kita mempunyai kekuatan untuk melukai orang lain. Tetapi juga dapat untuk melukai diri sendiri. Dan merusak hubungan baik dengan orang yang sudah kita kembangkan. perasaan kita juga mempunyai daya positif apabila dipakai dengan baik untuk menjalin hubungan dengan orang lain.  Dan untuk lebih mengetahui diri kita.

Eksploitasi emosi adalah melakukan sesuatu dengan bermain peran, terlalu mengada-ada, hingga berperilaku tidak wajar. O.P. Sharma (2008) menyebutkan bahwa emosi yang berlebihan  juga merupakan hal yang sama tidak baiknya. 

Sebagai contoh, saat mengalami kegagalan, beberapa orang cenderung berusaha menarik simpati orang lain dengan menunjukkan rasa ingin dikasihani. Dengan melakukan hal ini, mereka justru membuat diri mereka sendiri jadi obyek cemoohan ketimbang menjadapat simpati.

Dalam kehidupan ini banyak eksploitasi emosi dalam rangka meraih perhatian orang lain, seperti pengemis di jalanan dengan berpura-pura sakit, bahkan ada yang menyembunyikan kakinya agar orang lain berpikir sebagai seorang yang cacat, lalu mendapat buah simpati dan memberi sumbangan. 

Masih banyak contoh kehidupan dalam berbagai bidang, yang mudah disebut dengan main peran berwajah melas untuk dikasiani.

Atau sebaliknya untuk mendapat perhatian orang lain dengan cara menumbuhkan rasa takut dengan memasang wajah suram alias angker, berotot dan membawa sajam atau lainnya. Inilah kemudian yang bisa merusak harga diri dan membuat orang lain semakin tidak simpati. 

Pertanyaannya, siapakah yang rugi? Tentu jawabnya adalah merek yang tidak jujur dengan dirinya sendiri dengan cara melakukan eksploitasi emosi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun