Running text sebuah stasiun televisi nasional, Rabu 17/1/2024 menyebutkan bahwa 4.300 siswa Palestina menjadi korban serangan Israel ke Palestina selama 3 bulan 10 hari. Dan pada hari ini, Senin, 22/1/2024 berita TV menyebutkan bahwa total korban jiwa di Gaza sudah mencapai 25.105 jiwa. Data ini memberikan gambaran betapa ganasnya dampak perang di Gaza, yang bahkan oleh sebagian masyarakat dunia dianggap sebagai tindakan genosida oleh Israel.
Tentu saja wajar jika mayoritas masyarakat dunia mengecam serangan Israel tersebut. Bahkan upaya gugatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional atas kejahatan perang yang diinisiasi oleh Afrika Selatan terus mendapatkan dukungan dari berbagai negara. Indonesia secara resmi juga telah menyatakan dukungannya terhadap gugatan tersebut.
Di satu sisi, pertempuran yang tidak seimbang di Gaza memberikan gambaran kebiadaban yang mengarah pada genosida dan kejahatan perang oleh Israel karena begitu besarnya korban yang didominasi oleh warga sipil, wanita dan anak-anak. Di sisi yang lain, terlepas dari konflik antara Israel dan Hamas atau persaingan antar faksi di lingkup internal Palestina sendiri, ada yang menarik untuk dijadikan bahan pemikiran dari aspek doktrin pertempuran/perang.
Pada hakekatnya, sebuah doktrin disusun atas pemikiran dan pengalaman yang pernah dialami baik oleh diri sendiri maupun menggunakan komparasi dengan pengalaman pihak lain. Apa yang terjadi di Gaza tentu saja memiliki hal-hal yang dapat diambil pelajaran untuk melakukan evaluasi terkait relevansi doktrin perang/pertempuran, termasuk untuk doktrin perang/pertahanan negara Indonesia yaitu Sishankamrata.
Dari berbagai pemberitaan dan ulasan di media, kita melihat bahwa banyaknya korban yang berjatuhan di masyarakat Palestina disebabkan oleh serangan Israel baik melalui darat maupun udara ke wilayah pemukiman dan fasilitas umum (rumah sakit dan sekolah) yang diduga oleh Israel menjadi tempat persembunyian gerilyawan Hamas.Â
Artinya, besarnya korban yang terjadi dan memicu kemarahan masyarakat dunia, juga tidak terlepas dari peran "taktik gerilya" menyatu dengan penduduk di wilayah pemukinan, yang digunakan oleh Hamas selama ini, dan khususnya setelah Israel melakukan serangan balik secara masif pasca penembakan 5000 roket Hamas ke Israel tanggal 7 Oktober 2023.
Ini yang mungkin perlu kita jadikan pembelajaran, karena Indonesia memiliki doktrin pertahanan sishankamrata yang pada intinya merupakan perang berlarut/gerilya dengan prinsip TNI manunggal/menyatu, berbaur ditengah-tengah dan melibatkan seluruh masyarakat. Doktrin ini masih kita andalkan sebagai sebuah keunggulan, dan akan kita pertahankan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan perang di masa depan.
Belajar dari pengalaman di Gaza, maka muncul pertanyaan, jika doktrin sishankamrata atau perang gerilya kita gunakan untuk menghadapi agresi militer negara besar yang memilili keunggulan di udara maupun sistem senjata darat, apakah terpikirkan bahwa dampaknya akan sama seperti yang terjadi di Gaza?Â
Apakah kita memiliki strategi dan taktik yang mampu meminimalisir jatuhnya korban masyarakat sipil ?. Jika kemudian masyarakat sipil, wanita dan anak-anak pada akhirnya menjadi pihak yang paling terdampak dan menjadi korban, apakah tidak berarti sama saja dengan kita mengorbankan masyarakat kita sendiri ?
Dalam perspektif patriotisme dan nasionalisme mungkin kita bisa berdalih bahwa itu adalah konsekuensi dari hak dan kewajiban konstitusional warga negara Indonesia untuk membela negara sebagaimama amanat UUD 1945. Tetapi kita juga tidak seharusnya menafikan bahwa TNI dibentuk dengan tugas melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan dan bukan untuk mengorbankan mereka. Inilah yang sebenarnya perlu menjadi pertimbangan dalam me rethinking doktrin perang/pertempuran masa depan.
Jikalaupun pada akhirnya kita tetap mempertahankan doktrin sishankamrata dan jika terjadi perang akan mengorbankan masyarakat, maka kita sendiri akan kekurangan argumen jika melakukan gugatan di Mahkamah Internasional, karena ada potensi argumen terbalik yang mengatakan bahwa yang menjadi penyebab timbulnya korban masyarakat sipil bukanlah serangan agresor, melainkan doktrin pertahanan kita sendiri.
Akhirnya, menjadi tugas stakeholder terkait pada tataran legislasi, kebijakan maupun eksekusi untuk memikirkan kembali konsep doktrin perang kita, melakukan penyesuaian-penyesuaian atau melengkapinya dengan instrumen-instrumen yang dapat menjadi benteng untuk menghadapi tekanan eksternal maupun resistensi internal dalam implementasinya.
Sekedar renungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H