Pamekasan - Sudah banyak penceramah agama via media sosial diciduk oleh pihak kepolisian atas tuduhan penghinaan, penistaan dan lain sebagainya. Bahkan baru-baru ini sudah dua orang (M. Kece dan Yahya Waloni) mengalami nasib serupa.Â
Ada pula yang tidak ditangkap pihak kepolisian, namun karena efek buruk media sosial akhirnya redup bagaikan lampu kekurangan daya listriknya. Tapi, memang media sosial mempunyai peranan peting dalam dakwah dikala musim pagebluk saat ini.
Bagi mereka yang memiliki semangat belajar agamanya tinggi akan mengalami perubahan, dari yang awalnya luring berubah menjadi daring. Mereka akan belajar agama lewat youtube, grup whatsapp dan berbagai platform media sosial lainnya.Â
Saya pun termasuk orang yang demikian, namun -- kalau boleh mengklasifikasikan diri sendiri -- saya adalah orang yang memiliki dasar pengetahuan agama sejak dari pondok pesantren selama tujuh tahun. Jadi, saya tidak sembarangan mendengarkan ceramah agama atau pengajian.
Tidak hanya selama pandemi covid-19, sebelum itu saya sudah terbiasa ngaji daring melalui media sosial youtube. Itu berawal dari kedahagaan (lagi) terhadap ilmu-ilmu agama yang pernah saya pelajari sejak di pondok pesantren. Saya mengaji kitab Tafsir Jalalain kepada kiai saya waktu di PP.Â
Darul Ulum Banyuanyar, KH. Hasbullah Muhammad melalui youtube. Saya senang sekali bisa mengaji lagi kepada beliau walau pun tidak bertatap muka seperti dulu lagi. Sebelum ada youtube live streaming, pengajian ini hanya disiarkan langsung melalui radio yang jangkauannya tidak sampai se-kabupaten, radio itu dikelola pondok pesantren.
Sungguh disayangkan, awal tahun 2020 pengajian tafsir tersebut ditiadakan oleh kiai sendiri karena alasan pribadi. Beliau tidak suka pengajiannya menyebar di media sosial. Dugaan saya, ia takut ceramahnya dipotong-potong sesuai selera atau kepentingan warganet.
Selain ngaji Tafsir Jalalain, saya juga ngaji kitab Ihya' Ulumuddin dan Misykatul Anwar karya Imam Ghazali kepada Gus Ulil Abshar Abdallah (menantu KH. Musthofa Bisri atau yang lebih dikenal Gus Mus). Kitab Ihya' Ulumuddin membahas tentang akhlak tasawuf sedangkan Misykatul Anwar membahas tentang filsafat versi Imam Ghazali.Â
Jadi, mengkaji kedua kitab tersebut memberikan keseimbangan dalam menjalani kehidupan ditengah-tengah masyarakat apalagi ajaran Ihya' Ulumuddin yang sangat relevan dengan dunia digital saat ini yang isinya penuh dengan kebohongan, adu domba, ghibah, dengki, caci-maki dan lain sebagainya.
Saya sanagat memperhatikan bagaimana Gus Ulil memaknai dan menjelaskan kedua kitab tersebut. Namun, tentu ada perbedaannya, dia menjelaskan kitab Misykatul Anwar tidak selepas menjelaskan kitab Ihya' Ulumuddin.Â
Dia cenderung hati-hati mengungkapkan istilah dalam menjelaskan kitab Misykatul Anwar seperti penjelasan mengenai akal, metafora ketuhanan dan kenabian, manunggaling kaula gusti dan sebagainya.Â
Dia menyadari bahwa pengajiannya direkam-posting di media sosial yang siapa pun bisa mengkonsumsinya baik yang pengetahuan agamanya masih "cetek" maupun yang sudah mumpuni. Sepertinya dia takut disalah pahami dan dituduh macam-macam seperti sesat, menghina Tuhan, kafir dan sebagainya.
Dalam pengantar kitab Misyakatul Anwar tersebut dikisahkan bahwa kitab tersebut ditulis oleh Imam Ghazali atas permintaan muridnya mengenai ayat yang menjelaskan bahwa Allah adalah cayaha langit dan bumi (QS An-Nur: 35).Â
Sebelum menuliskannya Imam Ghazali memperhatikan terlebih dahulu orang yang memintanya, apakah ia termasuk orang yang sudah mumpuni dalam bidang agama atau tidak.Â
Karena apabila tidak, maka orang tersebut akan terjatuh pada jebakan ahlul ghirrah billah (orang yang tertipu dengan Allah). Maksud dari orang yang tertipu dengan Allah adalah orang yang merasa paham dengan Allah tetapi sesungguhnya ia malah tertipu dengan Allah.Â
Kalau kita perhatikan akhir-akhir ini, banyak sekali orang yang tergolong dalam istilah tersebut dan parahnya orang-orang itu malah menyebarkan ketertipuannya kepada publik.
Berbeda dengan Gus Ulil, paman saya memiliki sebuah padepokan yang setiap malam Jum'at melakukan diskusi tentang rahasia ketuhanan, kehidupan dan lain sebagainya. Dengan terang-terangan ia tidak berkanan melakukan rekam-posting di media sosial, karena dia sadar betul bahwa dampak buruk dari media sosial adalah disalah pahami yang kemudian akan muncul berbagai macam tuduhan.Â
Itulah cara pembunuhan didunia digital saat ini yang tidak seperti Al-Hallaj dimana ia dibunuh dengan cara disalib karena mengaku dirinya Kebenaran Sejati (Allah).
Saya teringat dengan makalah seorang intelektual muslim, Nurcholish Madjid (wafat 29 Agustus 2005), yang disampaikan dalam sebuah forum aktivis mahasiswa di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tanggal 3 Januari 1970 mengenai sekularisasi.Â
Setelah menyampaikan makalahnya dia disalah pahami banyak orang diberbagai media massa, muncullah perdebatan hingga tuduhan-tuduhan yang tidak proporsional karena memang diksi "sekularisasi" sangat sensitif dan cenderung negatif pada saat itu.Â
Tak pelak, Nurcholish Madjid harus membuat makalah berkali-kali untuk mempertahankan gagasannya karena sekularisasi menurut dia adalah konsekuensi logis dari rukun Islam yang pertama, syahadat.
Jadi, menurut saya, di era keterbukaan dan kecepatan informasi saat ini harus pandai-pandai memilah-milih kiai, guru atau ustadz yang tepat, berkualitas serta tentunya berakhlak mulia dimana akhlak itu akan tercermin dalam setiap ucapan dan tindak-tanduknya. Lebih penting lagi, tidak semua kebenaran/ilmu apalagi ilmu rahasia ketuhanan bisa "ditelanjangi" dikhalayak ramai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H