Dia cenderung hati-hati mengungkapkan istilah dalam menjelaskan kitab Misykatul Anwar seperti penjelasan mengenai akal, metafora ketuhanan dan kenabian, manunggaling kaula gusti dan sebagainya.Â
Dia menyadari bahwa pengajiannya direkam-posting di media sosial yang siapa pun bisa mengkonsumsinya baik yang pengetahuan agamanya masih "cetek" maupun yang sudah mumpuni. Sepertinya dia takut disalah pahami dan dituduh macam-macam seperti sesat, menghina Tuhan, kafir dan sebagainya.
Dalam pengantar kitab Misyakatul Anwar tersebut dikisahkan bahwa kitab tersebut ditulis oleh Imam Ghazali atas permintaan muridnya mengenai ayat yang menjelaskan bahwa Allah adalah cayaha langit dan bumi (QS An-Nur: 35).Â
Sebelum menuliskannya Imam Ghazali memperhatikan terlebih dahulu orang yang memintanya, apakah ia termasuk orang yang sudah mumpuni dalam bidang agama atau tidak.Â
Karena apabila tidak, maka orang tersebut akan terjatuh pada jebakan ahlul ghirrah billah (orang yang tertipu dengan Allah). Maksud dari orang yang tertipu dengan Allah adalah orang yang merasa paham dengan Allah tetapi sesungguhnya ia malah tertipu dengan Allah.Â
Kalau kita perhatikan akhir-akhir ini, banyak sekali orang yang tergolong dalam istilah tersebut dan parahnya orang-orang itu malah menyebarkan ketertipuannya kepada publik.
Berbeda dengan Gus Ulil, paman saya memiliki sebuah padepokan yang setiap malam Jum'at melakukan diskusi tentang rahasia ketuhanan, kehidupan dan lain sebagainya. Dengan terang-terangan ia tidak berkanan melakukan rekam-posting di media sosial, karena dia sadar betul bahwa dampak buruk dari media sosial adalah disalah pahami yang kemudian akan muncul berbagai macam tuduhan.Â
Itulah cara pembunuhan didunia digital saat ini yang tidak seperti Al-Hallaj dimana ia dibunuh dengan cara disalib karena mengaku dirinya Kebenaran Sejati (Allah).
Saya teringat dengan makalah seorang intelektual muslim, Nurcholish Madjid (wafat 29 Agustus 2005), yang disampaikan dalam sebuah forum aktivis mahasiswa di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tanggal 3 Januari 1970 mengenai sekularisasi.Â
Setelah menyampaikan makalahnya dia disalah pahami banyak orang diberbagai media massa, muncullah perdebatan hingga tuduhan-tuduhan yang tidak proporsional karena memang diksi "sekularisasi" sangat sensitif dan cenderung negatif pada saat itu.Â
Tak pelak, Nurcholish Madjid harus membuat makalah berkali-kali untuk mempertahankan gagasannya karena sekularisasi menurut dia adalah konsekuensi logis dari rukun Islam yang pertama, syahadat.