Mohon tunggu...
Abdul Hamid Al mansury
Abdul Hamid Al mansury Mohon Tunggu... Ilmuwan - Apa aja ditulis

Santri Darul Ulum Banyuanyar Alumni IAI Tazkia Wasekum HAL BPL PB HMI 2018-2020 Ketua Bidang PA HMI Cabang Bogor 2017-2018

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Selamatkan Pondok Pesantren di Tengah Arus Pilkada

21 Juni 2018   17:37 Diperbarui: 21 Juni 2018   17:56 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://sebarr.com/

Beberapa hari yang lalu saya mendengar ada pemberhentian terhadap beberapa tenaga pengajar (guru) disalah satu lingkungan pondok pesantren di Jawa timur. Guru yang diberhentikan dari pondok pesantren tersebut merupakan guru yang alim (berpengetahuan luas), disegani, dihormati, berpengaruh ditengah-tengah masyarakat dan tak lain mereka merupakan alumni dari pesantren tersebut. Entah bagaimana nasib mereka sekarang? Semoga masih bisa bertahan hidup walau lahan mereka dalam mencari nafkah diputus.

Kenapa mereka diberhentikan? Alasannya sangat sepele, tidak prisnsipil dan tidak mengganggu dalam proses pendidikan pesantren tersebut, ialah persoalan perbendaan dukungan terhadap pasangan calon (paslon) dalam pilkada serentak pada 27 Juli 2018 mendatang. Para guru tersebut berbeda dukungan dengan Kiyai sebagai pengasuh pondok pesantren tersebut yang notabene merupakan guru dari para guru yang diberhentikan. 

Lebih jauh lagi, ada diantara mereka (guru yang diberhentikan) sudah melakukan kontrak politik dengan salah satu kandidat dengan iming-iming terjaminnya proyek yang sudah dari tahun ke tahun dia lakukan.

Bukan rahasia lagi, setiap menjelang kontestasi politik banyak para elit politisi atau calon pemimpin selalu melakukan kunjungan politik ke pesantren-pesantren yang berpengaruh di berbagai daerah untuk menggalang dukungan politik. Mereka memanfaatkan peran kiyai pengasuh pondok pesantren untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. 

Sebagaimana penelitian yang dilakan Hendro (2014), Ini dikarenakan hubungan antara Kyai dengan santri masih cenderung bersifat Traditional Authority Relationship (relasi otoritas tradisional). Dimana dalam fenomena yang terjadi di pesantren santri sangat tunduk kepada Kyai sebagai pihak yang dijadikan sebagai panutan hidup bermasyarakat. 

Sampai dalam hal menentukan pilihan paslon yang akan didukungnya mengikuti siapa yang dukung oleh kiyainya, terkadang penentuan pilihan paslon didasarkan atas intruksi langsung dari kiyai berupa surat terbuka untuk santri dan alumninya serta ada juga yang tanpa instruksi yakni murni ingin mengikuti pilihan kiyainya. Santri-santri tanpa berfikir lagi ikut memberikan dukungan terhadap orang yang didukung oleh pihak Kyai. Tentu hal tersebut akan melahirkan apa yang disebut menguasai (Kyai) dan dikuasai (Santri) secara sadar maupun tidak sadar.

Partai politik secara etomologis berasal dari dua suku kata, yaitu, partai dan politik. Kata "partai" berasal dari bahasa Inggris "part" yang berarti menunjuk kepada sebagian orang yang seazaz, seideologi dan satu tujuan. Sedangkan politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).

Yang perlu kita garis bawahi adalah partai politik merupakan alat dari perjuangan ideologi yang dianutnya. Dalam sejarah politik Indonesia Partai Komunisme Indonesia (PKI) merupakan alat ideologi Komunisme, Partai Masyumi merupakan alat berideologikan Islam hingga difusi tiga partai (Golkar, PPP dan PDIP) telah memberikan corak ideologi tertentu yang identik bagi masing-masing partai. 

Lain dulu lain sekarang, fakta kecenderungan ideologi partai politik di Indonesia sekarang semuanya hampir seragam. Jargon mereka dalam setiap pemilu relatif sama, yaitu ekonomi kerakyatan, demokrasi dan religius.

Popuralitas adalah konsekuensi logis dari adanya pemilihan langsung dan terbuka. Sehingga partai politik harus melamar tokoh yang masyhur sebagai calon pemimpin yang akan diusungnya untuk mendapatkan kemenangan partai. Dengan begitu, sistem kaderisasi partai dialpakan dan ideologinya dicampakkan.

Saat ini, "Pragmatisme" merupakan layak disematkan terhadap ideologi elit politisi dan partainya. Dengan ideologi tersebut banyak para elit politisi berpindah-pindah partai karena tidak perlu mengubah pikiran dan pandangannya dalam berpolitik. Yang ada dalam politik hanyalah kepentingan, tak ada yang abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan.

Melihat partai yang didukung oleh kiyai tersebut diatas merupakan partai yang dalam konstitusinya berazaskan Islam. Bagaimana dengan ummat dan partai Islam sekarang? Patut kita jadikan acuan pernyataan seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia, Nurcholish Madjid (Cak Nur, sapaan akrabnya) mengungkap kalimat kontroversial pada tahun 1987, yaitu, Islam, Yes, Partai Islam, No!. 

Pengungkapan kalimat itu mungkin tidak etis diungkapkan pada saat orde baru melakukan difusi partai politik, akan tetapi pada saat ini ummat Islam menerimanya, karena memang demikian keadaannya. Penulis kutipkan pernyataan Cak Nur secara lengkap dalam bukunya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan:

Sampai di manakah mereka (ummat Islam) tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam? Kecuali sedikit saja, sudah terang mereka sama sekali tidak tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam. Sehingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi: Islam, yes, partai Islam, no! Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada ialah image sebaliknya. (Reputasi sebagian umat Islam di bidang korupsi, umpamanya, makin lama makin menanjak).

Alih-alih kiyai dan santri ingin memperjuangkan kepentingan Islam melalui dukungan terhadap paslon dan partai Islam pengusungnya. Namun, dibalik itu semua ada proses pendidikan pesantren yang terabaikan karena hengkangnya guru yang berkualitas serta nafkah anak dan istri guru yang diberhentikan berkurang dan bisa jadi tidak lagi terpenuhi. 

Akibat negatif jangka panjangnya pula masyarakat akan pilah-pilih ketika ingin memasukkan anaknya ke pondok pesantren, kemana arah partai politik yang didukung oleh kiyai dan pesantrennya, ketika selera partainya sama maka akan dimasukkan anaknya. Pun sebaliknya.

Lalu bagaimana seharusnya? Nasehat Imam Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin II hal. 381 -- banyak pondok pesantren mengkajinya -- perlu kita ketengahkan: 

"Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan." 

Dengan kondisi Negara saat ini yang carut-marut dan partai politik berideologi pragmatisme. Sebaiknya kyai jangan terlibat jauh atau larut dalam politik praktis. Melalui kepemimpinan dan power politik kiyai, ummat membutuhkan nasehat-nasehat dan fatwanya yang dapat mencerahkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Kyai dan pesantren mesti berada diatas semua golongan karena keberadaan pesantren sebagai sebuah pendidikan adalah pembentukan akhlak, dari hari-kehari manusia Indonesia yang berakhlakul karimah semakin langka. Melalui perbaikan akhlak keterpurukan bangsa dapat dicegah. Bukankah ini yang disebut politik tingkat tinggi (high politics) sang kiyai? Wallahu'alam bishowab.

Abdul Hamid Al-Mansury
Kabid PA HMI Cabang Bogor

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun