Beberapa hari yang lalu saya mendengar ada pemberhentian terhadap beberapa tenaga pengajar (guru) disalah satu lingkungan pondok pesantren di Jawa timur. Guru yang diberhentikan dari pondok pesantren tersebut merupakan guru yang alim (berpengetahuan luas), disegani, dihormati, berpengaruh ditengah-tengah masyarakat dan tak lain mereka merupakan alumni dari pesantren tersebut. Entah bagaimana nasib mereka sekarang? Semoga masih bisa bertahan hidup walau lahan mereka dalam mencari nafkah diputus.
Kenapa mereka diberhentikan? Alasannya sangat sepele, tidak prisnsipil dan tidak mengganggu dalam proses pendidikan pesantren tersebut, ialah persoalan perbendaan dukungan terhadap pasangan calon (paslon) dalam pilkada serentak pada 27 Juli 2018 mendatang. Para guru tersebut berbeda dukungan dengan Kiyai sebagai pengasuh pondok pesantren tersebut yang notabene merupakan guru dari para guru yang diberhentikan.Â
Lebih jauh lagi, ada diantara mereka (guru yang diberhentikan) sudah melakukan kontrak politik dengan salah satu kandidat dengan iming-iming terjaminnya proyek yang sudah dari tahun ke tahun dia lakukan.
Bukan rahasia lagi, setiap menjelang kontestasi politik banyak para elit politisi atau calon pemimpin selalu melakukan kunjungan politik ke pesantren-pesantren yang berpengaruh di berbagai daerah untuk menggalang dukungan politik. Mereka memanfaatkan peran kiyai pengasuh pondok pesantren untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya.Â
Sebagaimana penelitian yang dilakan Hendro (2014), Ini dikarenakan hubungan antara Kyai dengan santri masih cenderung bersifat Traditional Authority Relationship (relasi otoritas tradisional). Dimana dalam fenomena yang terjadi di pesantren santri sangat tunduk kepada Kyai sebagai pihak yang dijadikan sebagai panutan hidup bermasyarakat.Â
Sampai dalam hal menentukan pilihan paslon yang akan didukungnya mengikuti siapa yang dukung oleh kiyainya, terkadang penentuan pilihan paslon didasarkan atas intruksi langsung dari kiyai berupa surat terbuka untuk santri dan alumninya serta ada juga yang tanpa instruksi yakni murni ingin mengikuti pilihan kiyainya. Santri-santri tanpa berfikir lagi ikut memberikan dukungan terhadap orang yang didukung oleh pihak Kyai. Tentu hal tersebut akan melahirkan apa yang disebut menguasai (Kyai) dan dikuasai (Santri) secara sadar maupun tidak sadar.
Partai politik secara etomologis berasal dari dua suku kata, yaitu, partai dan politik. Kata "partai" berasal dari bahasa Inggris "part" yang berarti menunjuk kepada sebagian orang yang seazaz, seideologi dan satu tujuan. Sedangkan politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
Yang perlu kita garis bawahi adalah partai politik merupakan alat dari perjuangan ideologi yang dianutnya. Dalam sejarah politik Indonesia Partai Komunisme Indonesia (PKI) merupakan alat ideologi Komunisme, Partai Masyumi merupakan alat berideologikan Islam hingga difusi tiga partai (Golkar, PPP dan PDIP) telah memberikan corak ideologi tertentu yang identik bagi masing-masing partai.Â
Lain dulu lain sekarang, fakta kecenderungan ideologi partai politik di Indonesia sekarang semuanya hampir seragam. Jargon mereka dalam setiap pemilu relatif sama, yaitu ekonomi kerakyatan, demokrasi dan religius.
Popuralitas adalah konsekuensi logis dari adanya pemilihan langsung dan terbuka. Sehingga partai politik harus melamar tokoh yang masyhur sebagai calon pemimpin yang akan diusungnya untuk mendapatkan kemenangan partai. Dengan begitu, sistem kaderisasi partai dialpakan dan ideologinya dicampakkan.
Saat ini, "Pragmatisme" merupakan layak disematkan terhadap ideologi elit politisi dan partainya. Dengan ideologi tersebut banyak para elit politisi berpindah-pindah partai karena tidak perlu mengubah pikiran dan pandangannya dalam berpolitik. Yang ada dalam politik hanyalah kepentingan, tak ada yang abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan.