Di saat itu ketika silang budaya antara Muhammadiyah dan NU melebar, Kyai Hamam tampil sebagai sosok yang berada di tengah. Alih-alih berkutat pada perbedaan dalam hal kecil, ia ingin menyampaikan bahwa substansi Islam sebenarnya adalah bagaimana mengimplementasikan Islam dalam hidup dan keseharian kita.
Contoh lain tentang pandangannya yang menarik adalah ketika beliau mengajak beberapa santrinya ke Sungai Pabelan dan ia berujar :
"Batu-batu itu, belum Islam seutuhnya apabila ia belum digunakan untuk membangun Pondok sebagai sarana belajar, atau ia diambil dan dijual dan uangnya dipergunakan untuk keperluan belajar"
Sosok Yang Terbuka
Dari beberapa informasi yang saya baca, Kyai Hamam adalah sosok yang humoris. Seperti kejadian berikut ini :
"Suatu hari, seorang wartawan datang hendak mewawancara Kyai Hamam. Ketika itu, Kyai menyapa dengan sapaan : Halo baju kuning, selamat sore.. Seketika wartawan itu terkejut dan ingin meyakinkan diri : Benarkah, dengan Haji Hamam? Dengan santai Kyai menjawab : Ya tidak salah. Sayalah Hamam"
Atau di lain waktu,
"Seorang pensiunan ABRI yang juga Rektor UNS malam itu ingin bertamu ke rumah Pak Kyai. Tetapi, setelah berkeliling kompleks pesantren, Pak Kyai tidak juga ditemui. Padahal, malam itu Pak Kyai juga tidak ada jadwal keluar. Ternyata usut punya usut Pak Kyai tengah berada di tepian kolam renang milik pondok di pojok desa, yang hampir jadi pembangunannya.
"Gendheng, kowe.. dewean nang kene? (Gila kamu, sendirian disini?) tanya Pak Rektor
"Lha kowe ki sing gendheng lha wong aku nang kene karo jangkrik, kodok, musik alam iki (Lha kamu itu yang gila.. lha wong saya disini sama jangkrik dan kodok, musik alam ini)"
Seketika mereka tertawa terbahak-bahak.