In Memoriam sahabat saya, Rolas Tri Ganda
Beberapa tahun lalu, masuk sebuah SMS dari seseorang yang mengaku bernama Rolas. Tidak lama kemudian setelah mengutarakan maksud, kami akhirnya beberapa kali berkomunikasi via chatting blackberry messenger.
Tidak disangka, hobi aneh yang waktu itu saya jalani menarik perhatian khalayak salah satunya mas Rolas sendiri. Hobi aneh saya adalah mengunjungi bioskop.
Ah, kalau mengunjungi bioskop mah biasa, mas bukan hobi. Tapi ini lain, bung. Saya dulu kerap pergi hanya untuk melihat-lihat serta merasakan aura bioskop tua.
Bicara tentang bioskop, beberapa tahun yang lalu bioskop di Indonesia didominasi oleh jaringan raksasa grup 21. Namun belakangan ini sudah ada pesaing lain semisal CGV Blitz maupun Cinemaxx --nya Lippo. Juga masih ada jaringan yang masih lambat perkembangannya, Platinum ataupun jaringan lokal semisal New Star Cineplex, misalnya.
Sementara akses bioskop modern hingga sejauh saat itu masih sebagian besar tersedia di kota-kota besar saja. Rajawali Theatre memiliki 4 studio dengan tata letak klasik nan elok. Saat itu, belum dilakukan digitalisasi dan masih memakai proyektor seluloid 35 mm.
Alhamdulillah, saya merasa postingan saya saat itu membuat bioskop tersebut semakin ramai dan berhasil memperbaiki diri, mendigitalkan diri tanpa merubah fasad bangunan. Tetap klasik dan asik.
**
Kenangan yang mendalam juga saya rasakan ketika saya mengunjungi Golden Theatre. Bioskop ini benar-benar mewakili bioskop lawas yang berhasil didigitalisasi tanpa merubah ciri khas bioskop zaman dulu: Tirai merah berlipat, dengan cahaya keemasan, serta tata letak desain interior yang sungguh menawan dan klasik, dapat kita jumpai di dua buah studio di bioskop yang terletak di Kota Kediri tersebut.
Menurut penuturan Totok, pegawai legendaris di sana yang pernah menangani bioskop sejak tahun 80an, bentuk bioskop sengaja dipertahankan dan upaya digitalisasi sudah dilakukan untuk mengikuti perkembangan, sehingga dapat bekerjasama distribusi film dengan jaringan 21. Selain itu, kini bioskop itu juga menambah 1 studio lagi.
**
Tidak banyak yang mampu bertahan meskipun telah berusaha maksimal. Dieng Theatre Wonosobo salah satunya.
Lima tahun lalu ia masih berdiri kokoh dan bahkan saya sempat mengunjunginya dua kali. Menjelang renovasi dan setelah renovasi. Setelah renovasi besar-besaran secara fasilitas, buktinya bioskop ini tetap tak mampu menjaring penonton. Kurangnya hanya satu, belum memiliki proyektor digital.
Ya, bioskop ini kesulitan finansial untuk pengadaan proyektor baru sehingga bertahan dengan proyektor analog sehingga tidak bisa memutar film-film secara update.
Kabar terakhir, bioskop ini sekarang berhenti beroperasi, sayang sekali.
Bayangkan saja, di Gajahmada Cinema ada empat studio sehingga untuk proyektor saja harus mengadakan uang sebanyak 3 miliar. Bukan jumlah sedikit tentunya untuk pemain industri bioskop lokal seperti Gajahmada yang juga mengelola Borobudur Cinema Pekalongan.
**
Kemarin, saya bertemu kawan yang sudah jarang ketemu. Ia sekarang tinggal di Jepara, salah satu kota kecil di pesisir Jawa Tengah bagian utara yang kotanya tidak memiliki bioskop.
"Bioskop di Kudus terbakar, sekarang pindah ke Pati. Kemarin aku habis nonton ke sana. Jaringan NSC" ujarnya.
Saya yang sudah lama meninggalkan hobi perbioskopan terhenyak. Ditambah lagi melihat fakta di ponsel saya melalui aplikasi google maps bahwa kini, NSC grup--grup bioskop lokal dari Jawa Timur yang membuka pasar di Jawa Tengah pertamanya di Kudus, kini merambah Pati dan Demak. Warbyassah! Pikir saya. Ini grup lokal saat ini terus bergeliat dan menyasar kota-kota kecil di Jawa Tengah.
Saya jadi ingat bahwa kini, hampir di semua kota/kabupaten di Jawa Tengah maupun Jawa Timur sudah bisa mengakses bioskop. Informasi terbaru yang saya terima--masih melalui para admin bioskop yang masih menghubungi saya via email--telah dibukanya Surya Yudha Cinema Banjarnegara dan Dakota Cilacap. Malah terkahir kali dengar di Temanggung juga tengah membangun bioskop jaringan dari NSC.
Saya kira, hampir semua kota/kabupaten saat ini memang bergeliat membangun bioskop.
Saya jadi teringat suasana zaman dulu ketika hampir di semua kota bahkan tingkat kecamatan memiliki minimal satu gedung pertunjukan film yang masa keemasannya berlangsung pada tahun 70-80an.Â
Melihat fakta terbaru ini, saya berharap bahwa nantinya bioskop digital/modern akan dapat tersebar kembali baik dibuka oleh jaringan besar maupun oleh pemain-pemain lokal.
Kalaupun hal ini terjadi, saya bermimpi, bekas-bekas bioskop yang kini tersebar dan masih layak untuk kembali digunakan, bisa di renovasi untuk dirubah menjadi bioskop modern tanpa mengubah bentuk aslinya.
Dan industri bioskop maupun perfilman di Indonesia akan semakin berkembang ke arah yang positif dan berkemajuan. Semoga! Â
Referensi :Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H