Kenangan yang mendalam juga saya rasakan ketika saya mengunjungi Golden Theatre. Bioskop ini benar-benar mewakili bioskop lawas yang berhasil didigitalisasi tanpa merubah ciri khas bioskop zaman dulu: Tirai merah berlipat, dengan cahaya keemasan, serta tata letak desain interior yang sungguh menawan dan klasik, dapat kita jumpai di dua buah studio di bioskop yang terletak di Kota Kediri tersebut.
Menurut penuturan Totok, pegawai legendaris di sana yang pernah menangani bioskop sejak tahun 80an, bentuk bioskop sengaja dipertahankan dan upaya digitalisasi sudah dilakukan untuk mengikuti perkembangan, sehingga dapat bekerjasama distribusi film dengan jaringan 21. Selain itu, kini bioskop itu juga menambah 1 studio lagi.
**
Tidak banyak yang mampu bertahan meskipun telah berusaha maksimal. Dieng Theatre Wonosobo salah satunya.
Lima tahun lalu ia masih berdiri kokoh dan bahkan saya sempat mengunjunginya dua kali. Menjelang renovasi dan setelah renovasi. Setelah renovasi besar-besaran secara fasilitas, buktinya bioskop ini tetap tak mampu menjaring penonton. Kurangnya hanya satu, belum memiliki proyektor digital.
Ya, bioskop ini kesulitan finansial untuk pengadaan proyektor baru sehingga bertahan dengan proyektor analog sehingga tidak bisa memutar film-film secara update.
Kabar terakhir, bioskop ini sekarang berhenti beroperasi, sayang sekali.
Bayangkan saja, di Gajahmada Cinema ada empat studio sehingga untuk proyektor saja harus mengadakan uang sebanyak 3 miliar. Bukan jumlah sedikit tentunya untuk pemain industri bioskop lokal seperti Gajahmada yang juga mengelola Borobudur Cinema Pekalongan.
**
Kemarin, saya bertemu kawan yang sudah jarang ketemu. Ia sekarang tinggal di Jepara, salah satu kota kecil di pesisir Jawa Tengah bagian utara yang kotanya tidak memiliki bioskop.