Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan teman lama yang bekerja sebagai kurir JNE Express di salah satu kota kecil di provinsi Kalimantan Selatan. Sebut saja Sugandi, pria berambut keriting dengan tinggi 170 an cm dan wajah yang tidak sebersih sebelum dia mengais rezeki di jalanan.Â
Saat itu saya dan dia bertemu di jalan besar di tengah kota itu, lalu kami melipir ke salah satu taman di kota tersebut yang kerap jadi tempat bersantai dan menikmati berbagai jajanan yang harganya cukup ramah dikantong untuk orang seperti kami. Setelah memarkirkan motor, kami menuju ke seorang kakek penjual dawet yang sudah tua renta, namun masih gigih mencari sekeping rezeki untuk keluarganya.
Setelah memesan, kami duduk di kursi panjang terbuat dari semen yang terlihat usang seolah dibiarkan tanpa perbaikan. Saat itu awalnya Gandi bertanya kepada saya tentang kehidupan saya saat ini, namun setelah saya bertanya ia terlihat muram seakan malu dengan keadaannya.Â
"Aku ya beginilah mid, bekerja sebagai kurir di JNE Express untuk menghidupi keluarga kecilku." Kata Sugandi.
Wajahnya menunduk, kakinya bergetar, tangannya bergerak kesana kemari saat menjawab pertanyaan itu.
"Tidak apa-apa bro, selagi halal kenapa harus malu?" Jawabku sambil menepuk pelan pundaknya.
...
Sugandi yang tampak muram melanjutkan omongannya, seolah ada sesuatu yang harus dia ceritakan.
"Kalau kau mau tahu mid, sebelum kerja disana, kehidupan kami serba kekurangan, aku kerja sebagai pekerja harian di ladang dan pekerjaan serabutan lainnya, istriku juga hanya bekerja sebagai kuli cuci di rumah tetangga, jelas itu tidak bisa mencukupi kebutuhan kami dan kedua anakku..." Kata Sugandi.
"Saking susahnya dulu, setiap ada hajatan, aku selalu minta berkat walau sepiring ke tuan rumah buat istri dan anak dirumah, sebenarnya aku malu, tapi keadaan membuat aku harus menanggalkan urat malu ku, saat itu aku benar-benar tidak mempunyai uang untuk sekedar membeli beras." Lanjutnya lagi.