Desakan terhadap usulan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat masih menuai pro dan kontra. Banyak pihak yang mengagungkan bahwa pemilukada merupakan apresiasi yang didambakan rakyat untuk menerapkan kedaulatan rakyat dan memantapkan sistem demokrasi dari perwakilan menuju pemilihan langsung oleh rakyat.Â
Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mengedepankan keinginan rakyat pemilukada merupakan salah satu cara yang baik tapi bukan efektif. Efektif disini adalah memahami sejauh mana kemampuan rakyat untuk siap menghadapi pemilukada dan juga kesiapan calon yang kalah dalam kompetisi pemilukada ini. Untuk memecahkan masalah ini penulis berpendapat diperlukan penelitian yang jelas terkait pemilukada ini.Â
Bahkan alasan untuk dikembalikan ke pemilihan oleh DPRD tidak menutup kemungkinan karena hal ini tidak bertentangan dengan UUD 1945. Di dalam UUD 1945 tepatnya pada pasal 18 ayat (4) dinyatakan bahwa "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis". Dari bunyi pasal tersebut tidak yang menyatakan keharusan untuk memilih kepala daerah secara langsung oleh rakyat, tetapi hanya disebutkan secara demokratis. Adapun makna demokratis adalah bisa melalui perwakilan oleh DPRD dan juga dipilih langsung oleh rakyat.
Jika menilik berbagai pendapat yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD sebagai sumber korupsi kepala daerah, dimana kepala daerah akan cenderung mengarah kepada DPRD karena dipilih DPRD sebagai perwakilan rakyat, ini merupakan suatu kekeliruan. Dari satu sisi memang tidak terelakkan terjadinya korupsi ditubuh DPRD bersama kepala daerah karena adanya kongkalikong.Â
Tetapi tentunya peran DPRD juga perlu diperhatikan sebagai perwakilan rakyat daerah selain untuk menjalankan fungsi legislasi juga tidak menutup kemungkinan untuk mewakili rakyat dalam menentukan calon yang memimpin daerahnya. Jikalau kita melihat dari sisi baik buruknya antara sistem perwakilan dan langsung oleh rakyat mempunyai kelebihan tersendiri.Â
Misalkan pemilihan oleh DPRD yang dikhawatirkan oleh publik adalah kedaulatan rakyat dirampas oleh DPRD dan juga kedekatan kepala daerah dengan rakyat akan sangat jauh serta dugaan terjadinya korupsi karena aka nada calon pesanan oleh DPRD. Sedangkan jika kita melihat hasil dari pemilukada antara lain adalah adanya kekhawatiran dengan meningkatnya dana untuk penyelenggaraan pilkada, selain itu juga semakin banyak lembaga yang akan muncul seperti halnya KPU,KPUD, BANWASLU dan sebagainya yang tentunya akan menguras APBN maupun APBD hanya untuk penyelenggaraan pilkada.Â
Peran partai politik sebagai wadah untuk orang berpartisipasi dalam pilkada tidak efektif lagi karena partai politik hanya mewakili kepentingan partainya sebelum kepentingan rakyatnya. Tentunya beban terhadap calon kepala daerah akan semakin besar seperti halnya biaya partai politik yang mengusungnya, biaya kampanye dan bahkan money politic pun akan terjadi ditengah-tengah masyarakat yang akan menjadi pemilih.
Dari berbagai perubahan sistem pemilihan kepala daerah mulai dari Indonesia merdeka hingga saat ini, ada yang menjadi tolak ukur dalam pemilihan kepala daerah. Memang dari berbagai segi sejarah kepala daerah dalam ketatnegaraan Indonesia tidak sedetail mungkin di jelaskan. Dimana ada juga pada awal-awal kemerdekaan adanya kepala daerah yang merangkap jabatan sebagai anggota DPRD.Â
Hingga sampai saat ini permasalahan pemilihan kepala daerah masih menjadi polemik di dalam kajian hukum ketatanegaraan. Karena jika penulis berpandangan saat ini dengan melihat praktik dari pemilukada akan menghasilkan demokrasi liberal. Hal ini dapat kita lihat bahwa individu berhak memilih calon kepala daerah sesuai keinginan tanpa intervensi.Â
Tetapi hal ini tidaklah efektif karena pemahaman rakyat belum sampai pada tahap untuk melihat kriteria calon yang diinginkan. Hingga akhirnya adalah kepala yang dihasilkan orang yang bebas ikut serta dalam pilkada. Bahkan jika pilkada tidak dikoreksi lebih dalam lagi maka akan melahirkan demokrasi liberal seperti contohnya siapapun boleh ikut dan menjadi calon kepala daerah seperti suami dan istri yang mempunyai cukup biaya baik melalui parpol maupun independen. Â
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa jika pemilukada dilakukan siapa yang akan menyelenggarakannya. Karena di dalam UUD 1945 tepatnya pada pasal 22E ayat (5) KPU hanya menyelenggarakan pemilihan umum, yang mana pemilu disini hanya melibatkan pemilu presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saja (pasal 22E ayat (2) UUD 1945).Â
Sejalan dengan pendapat di atas, penulis beralasan bahwa perlu ada penegasan jika ingin merubah sistem pemilihan kepala daerah untuk mencapai hasil yang baik. Dan penulis pun berpendapat jika ingin menentukan pilihan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat maka jalan yang dipilih adalah dengan cara mengamandemen UUD 1945 tepat mengenai pemilihan kepala daerah.Â
Karena perlu dasar hukum yang kuat untuk menanggapi hal tersebut agar pemahaman bahwa demokratis hanya pemilihan langsung saja. Jadi, jika tetap ingin merujuk pada pemilihan langsung oleh rakyat yang harus dikoreksi adalah mekanisme dan batasan dalam penyelenggaraan pilkada tersebut harus tegas. Karena money politic bukan hanya terjadi pada waktu kampanye saja melainkan juga pada saat kepala daerah sudah duduk di kursi kepala daerah dan tentu kedepan nya akan berakar terus menerus terjadi korupsi.Â
Bahkan hamper 80,5 persen korupsi di Indonesia dilahirkan dari kepala daerah melalui hasil dari pemilukada tersebut. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menjadi dasar pelaksanaan Pilkada 2017 menyebutkan, pasangan calon kepala daerah diizinkan menambah bahan dan alat peraga kampanye dengan batasan yang sudah ditentukan, selain yang sudah ditanggung negara. Selain biaya dari negara yang digunakan oleh KPU dan KPUD juga dana pasangan calon akan membludak ditengah pemilukada tersebut. Hal ini merupakan pemborosan dana yang tidak baik sehingga melahirkan bibit korupsi yang tiada habisnya.
Oleh sebab itu, penulis lebih condong agar pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD dengan syarat pengawasan tehadap pelaksanaan tersebut harus lebih detail dan tegas. Dan juga pertanggungjawaban nya adalah kepada rakyat dan DPRD hanya bertugas memilih kepala daerah saja. Dengan begitu tidak diperlukan lagi peran KPU atau KPUD yang akan menguras biaya pemilihan kepala daerah.Â
Selain itu juga, mengenai parpol juga harus dikoreksi lebih dalam lagi. Karena parpol juga akan melahirkan orang-orang yang terlibat korupsi yang terjadi terus-menerus. Selain merubah atau mengamandemen UUD 1945 tentang sistem apa yang digunakan, juga perlu ada aturan yang baku lagi mengenai sistem pemilihan dan jika melihat KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilukada tidak ada aturan yang dasar yang menyatakan bahwa KPU berhak melaksanakan pemilukada.Â
Karena pada hakikatnya jika sudah ada dasar hukum yang jelas pada UUD 1945 maka akan mudah untuk mengimplementasikannya.
oleh: Hamdani (mahasiswa fakultas hukum uinversitas islam riau)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H