"Anak saya kenapa ya bu, kalo pas lagi rewel suka banget teriak-teriak. Kadang saya gak ngerti kenapa dia teriak-teriak sambil nangis gitu. Kalau udah begitu saya gak tau harus ngapain bu, jadi mau marah-marah juga" kata ibu A.
"Saya kebingungan saat anak saya pengen sesuatu, misalnya pas saya ajak jalan ke pasar kemudian dia merengek mau minta belikan mainan sedangkan mainannya udah banyak di rumah. Kalau gak diturutin bakalan nangis kenceng sambil guling-guling di lantai bu. Saya kan jadi malu" pernyataan Ibu B.
"Setelah saya pulang kerja, kadang anak saya minta ajak main tapi saya udah keburu capek dan pengen rebahan aja. Kalo gak diladenin, dia bakalan nangis dan rewel sampai malam. Gimana ya bu menghadapi emosinya seperti itu?" tanya ibu C.
Beberapa ibu berkeluh kesah saat saya sedang mendampingi paguyuban orang tua murid di sebuah Sekolah Pendidikan Usia Dini. Mungkin para orang tua yang juga membaca tulisan ini, pernah merasakan hal yang sama.
Kebingungan menghadapi anak yang sedang memasuki usia anak-anak awal. Menurut Hurlock (1990), masa anak-anak terbagi menjadi dua yaitu masa anak-anak awal yaitu usia 2-6 tahun dan masa anak-anak akhir yaitu usia 6-12 tahun.Â
Masa anak-anak awal juga sering disebut usia pra-sekolah yang mulai dipersiapkan baik secara fisik maupun mental, untuk menghadapi tugas-tugas saat mereka mulai mengikuti pendidikan formal.
Sudah sering mendengar istilah "tak kenal maka tak sayang" bukan? Kita sebagai orang tua tentulah merupakan orang yang paling mengenal anak-anak kita.
Akan tetapi, banyak orang tua yang merasa kerepotan menangani anak mereka karena pada hakikatnya belum benar-benar mengenali dan memahami karakteristik perkembangan masa anak-anak awal.Â
Masa anak-anak awal disebut oleh Hurlock (1990) sebagai "Problem Age" di mana orang tua sering dihadapkan pada masalah anak-anak yang tidak menurut, keras kepala dan sering menunjukkan negativisme.
Pada masa ini, anak baru belajar dasar-dasar perilaku sosial seperti membedakan peran gender, membedakan yang salah dan benar dalam hubungannya dengan orang lain, mengembangkan hati nurani, dan belajar memberi serta menerima kasih sayang.Â
Selain itu, mereka mulai menunjukkan rasa ingin tahunya yang besar terhadap lingkungan dengan bertanya, meniru dan mengembangkan kreativitas dalam bermain.
Berdamai dengan Emosi Diri Sendiri
Mendengar kata emosi, banyak dari kita mungkin lebih familiar dengan perasaan marah, kesal, sedih, takut dan cemburu. Emosi tersebut sebenarnya merupakan termasuk dalam emosi negatif.Â
Jika ada emosi negatif tentu ada emosi positif yang seringkali kita rasakan, seperti perasaan senang, bangga, cinta, harapan, kagum, dan lainnya. Dalam perkembangan emosi anak, orang tua memiliki peranan penting untuk membantu anak dalam memahami emosinya sendiri.
Menurut Piaget, pada tahapan ini anak menunjukkan adanya sifat egosentris yang tinggi pada anak karena belum dapat memahami perbedaan perspektif pikiran orang lain.Â
Anak hanya mementingkan dirinya sendiri dan belum mampu berosialisasi secara baik dengan orang lain. Anak belum mengerti bahwa lingkungan memiliki cara pandang yang bebeda dengan dirinya (Suyanto, 2005), sehingga anak masih melakukan segala sesuatu demi dirinya sendiri dan bukan untuk orang lain.Â
Maka, amatlah wajar apabila kita menemukan kondisi anak yang tantrum karena keinginannya tidak terpenuhi karena sebenarnnya anak-anak belum dapat memahami emosinya secara matang. Â
Sehingga, di sinilah letak penting peran orang tua. Penelitian yang dilakukan oleh Khusniyah (2018) menunjukkan bahwa baik ayah maupun ibu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan kepribadian anak.
Perkembangan emosi anak sebagian besar dipengaruhi oleh emosi sosial ayah dan ibu yang telah ditunjukkan kepada anak. Sikap orang tua yang abai terhadap kebutuhan anak menimbulkan rasa kemarahan pada anak.Â
Orang tua yang menunjukkan sikap kerjasama maka akan mempengaruhi sikap kerjasama anak dengan teman-temannya. Komunikasi yang baik dari orang tua akan menjadi teladan anak dalam menuturkan kata dan kalimat yang baik dan sopan.
Pola sosialisasi menjadi proses bimbingan yang besar terhadap pola bersosialisasi anak di lingkungan masyarakat dan kepribadian positif orang tua menjadikan anak yang selalu berpikir posiitif dan semangat.Â
Begitu juga proses komunikasi yang baik akan memaksimalkan kemampuan anak dengan kondisi emosi yang baik. Pola hubungan ini jelas menunjukkan bahwa apa yang anak hayati pada orang tuanya akan mempengaruhi anak di masa yang akan datang. Dengan demikian, untuk memahami emosi anak maka orang tua perlu memahami dan menangani emosinya terlebih dahulu.
 Penuhi Kebutuhannya
Pada dasarnya, anak menunjukkan emosi negatif karena rasa tidak nyaman atas kebutuhannya yang tidak terpenuhi. Seperti kebutuhan dasar  akan rasa lapar dan haus, kelelahan maupun kebutuhan rasa aman serta kebutuhan untuk diperhatikan dan dicintai.
Kemampuannya dalam menyampaikan perasaannya belum berkembang sempurna sehingga anak akan menunjukkannya dengan menangis, marah, memukul benda atau bahkan dengan perilaku menyakiti diri sendiri dan menyakiti orang lain yang merupakan bentuk dari rasa frustasi.Â
Maka, orang tua perlu mengenali kebutuhan anak terlebih saat anak menunjukkan emosi negatif. Memenuhi kebutuhan anak bukan berarti orang tua selalu memberikan apa yang anak kehendaki sata menangis. Kadangkala, kebutuhan anak sesederhana ingin mendapatkan perhatian dan menghabiskan waktu yang berkualitas dengan orang tuanya.
 Terima perasaannya
Anak-anak mungkin akan menangis, berteriak, menghentakkan badan ke lantai, melempar benda yang ada di sekitarnya, atau bahkan memukul orang lain sebagai bentuk frustasi atas keinginannya yang tidak terpenuhi.Â
Orang tua yang menunjukkan sikap mengabaikan, merasa terganggu atau bahkan membentak dan mengancam anak dengan tujuan meredakan tantrumnya justru dapat membuat anak semakin frustasi karena merasa mendapatkan penolakan oleh orang tuanya.Â
Sebaliknya, apabila orang tua yang dapat hadir secara utuh dan mendampingi saat anak menunjukkan emosi negatifnya akan membuat anak merasa berharga, diterima dan diperhatikan.
Kehadiran orang tua membuat anak merasa tidak sendirian dalam menghadapi badai emosi yang dirasakan. Bagi orang tua yang bekerja, hal ini mungkin dirasa sulit untuk dilakukan karena waktu yang terbatas bersama anak-anak di rumah.Â
Namun, orang tua dapat memberikan waktu yang berkualitas dengan hadir seutuhnya dan terlibat dalam kegiatan anak atau menghentikan kegiatan sejenak ketika anak mulai menunjukkan sikap tantrum.Â
Mendampingi anak tantrum sebaiknya tidak semerta-merta sambil memberikan wejangan dan nasehat-nasehat. Hal tersebut akan membuatnya tidak nyaman dan cenderung mengabaikan nasehat yang orang tua sampaikan.Â
Dalam mendampingi, orang tua dapat berada di sisinya dengan menunjukkan sikap tenang dengan empati atau memberikan pelukan jika diperlukan dan mengkonfirmasi perasannya untuk membantunya mengenali emosi yang dirasakan.
 Memberikan Batasan
Apakah kita sebagai orang tua terbiasa memberikan apa yang anak inginkan pada saat anak menangis atau marah agar menghindari anak menunjukkan sikap tantrum? Apabila ya, para orang tua harus berhati-hati karena hal tersebut dapat menjadi pola kebiasaan yang menyebabkan anak tantrum berulang.Â
Sebagai alternatif, pada saat anak sudah tenang dan merasa nyaman, orang tua dapat mengajak anak bercerita tentang emosi negatif yang dirasakan dan sebab munculnya perasaan tersebut sehingga orang tua dan anak dapat membuat batasan bersama agar kebiasaan tantrum tidak berlarut-larut.
Hubungan orang tua dan anak yang dimaknai sebagai hubungan hangat dan penuh cinta serta penerimaan tanpa syarat akan membawa anak kepada penyesuaian perkembangan yang baik di masa yang akan datang.Â
Orang tua sebagai teladan utama sebelum anak berinteraksi dengan dunia sekitarnya perlu terlebih dahulu menyelesaikan emosi negatifnya agar anak dapat mengembangkan pengendalian emosi yang tepat.
REFERENSI BACAAN
- Hurlock, Elizabeth B. 1990. Psikologi Perkembangan : suatu pendekatan dalam suatu rentang kehidupan. Jakarta : Erlangga.
- Khusniyah, N.L. 2018. Peran orang tua sebagai pembentukan emosional sosial anak. Qawwam vol 11 (2).
- Suyanto, Slamet. 2005. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktori Jenderal Pendidikan Tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H