Ada yang unik di awal tahun 2020, tepatnya ketika banjir melanda Jakarta dan Jawa Barat. Hal unik itu adalah saat korban banjir yang keturunan tionghoa dan non muslim dibantu evakuasi oleh Hilal Merah Indonesia (HILMI).
Hilmi adalah organisasi kemanusiaan yang dimiliki Front Pembela Islam (FPI). Sebagian kalangan mengganggap dan bahkan memberikan label radikal dan tidak bertoleransi kepada organisasi yang dikomando Habib Rizieq Syihab ini.
Relawan yang tergabung di dalam Hilmi seolah tanpa sekat. Mereka dengan enteng membantu korban banjir meskipun Korban berasal  dari kalangan keturunan tionghoa dan non muslim.Â
Para relawan Hilmi itu ternyata tidak pandang bulu dalam membantu. Mereka tidak menanyakan apakah muslim atau pribumi terlebih dahulu. Semua korban langsung mereka bantu evakuasi. Apa yang terjadi paradoks dengan label radikal dan tidak bertoleransi oleh sebagian kalangan.
Saya teringat ketika momen natal 2019 kemarin. Organisasi FPI ini adalah salah satu yang dengan tegas untuk tidak mengucapkan kalimat "selamat natal" bagi pemeluk kristiani. Dalam pandangan mereka, mengucapkannya adalah melanggar aqidah.
Meskipun melarang dan tidak mau mengucapkan "selamat natal", ternyata di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, masa FPI mau membantu membersihkan gereja yang akan digunakan dalam perayaan natal dari sisa-sisa lumpur pasca banjir bandang.Â
Bahkan tidak hanya gereja, sebanyak 23 rumah yang mayoritas penduduknya kristiani di sekitar gereja mereka bantu bersihkan. Hal ini menunjukkan hubungan sosial mereka sangat baik dengan umat kristiani dan mereka sama sekali tidak anti dengan perbedaan.
Apakah ini wajah sebenarnya yang dinamakan toleransi umat beragama? Sigap saling membantu dalam hubungan bermasyarakat dengan tidak mencampuradukkan persoalan agama. Seperti yang dikatakan dalam salah satu surah di Al Quran, "bagimu agamamu dan bagiku agamaku". Â
Mungkinkah sebagian kita yang kurang bisa menerima perbedaan? Terlalu mencampuradukkan urusan keagamaan satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lain? Bahkan di dalam demokrasi perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar dan dilindungi.Â
Mungkinkah kita terlalu menuntut keseragaman di tengah keanekaragaman, dengan salah satu contohnya: semua umat muslim harus mengucapkan "selamat natal" Â baru bisa dikatakan bertoleransi dan menghargai perbedaan? Sehingga interaksi sosial yang nyata di lapangan dalam saling membantu di luar urusan keagamaan menjadi dipandang sebelah mata bahkan diremehkan.
Apa yang dilakukan Hilmi mungkin bisa dikatakan wajah toleransi di tengah kemajemukan. Membantu korban bencana yang berlatar belakang keturunan tionghoa ataupun tidak satu agama bisa dikatakan pengejawantahan sila persatuan indonesia. Tanpa pandang bulu mereka bantu karena tersemat semangat persatuan dan sadar bahwa mereka adalah bagian dari negara besar bernama Indonesia.Â
Bahkan lebih jauh lagi, upaya saling membantu itu bisa juga disebut sebagai perwujudan pengamalan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Rasa kemanusiaan telah merontokkan dinding sekat pemisah baik suku, ras, ataupun agama dan kepercayaan. Adil dalam membantu dengan tanpa membedakan suku atau agama.Â
Kemauan turun tangan membantu juga menyiratkan kepribadian yang beradab. Saling bantu di tengah bencana tanpa membedakan suku, ras, golongan dan agama menandakan masih melekatnya sifat kegotongroyongan, sebagaimana semangat gotong royong yang tersimpan dalam ideologi pancasila.
Mungkin inilah sekelumit wajah toleransi sesungguhnya yang perlu kita renungkan kembali. Mungkin kita yang suka nyinyirlah yang sesungguhnya anti toleransi dan tidak mau melihat bangsa ini hidup damai di tengah perbedaan dan kemajemukan.
Semoga negeri kita selalu dilimpahkan kedamaian dan kegigihan untuk membangun ke arah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H