Dalam beberapa tahun terakhir, semakin marak kasus di Indonesia yang memperlihatkan adanya ketimpangan putusan di pengadilan. Salah satunya adalah kasus Alex Denni, mantan Direktur PT Parardhya Mitra Karti, yang menjadi sorotan akibat perbedaan putusan pengadilan yang tidak konsisten. Ketidaksesuaian putusan ini menimbulkan tanda tanya besar terhadap penerapan keadilan di negeri ini. Artikel ini membahas kejanggalan kasus tersebut dan mengapa disparitas putusan menjadi pertanda adanya ketidakadilan di sistem peradilan kita.
Masalah Disparitas Putusan di Sistem Peradilan Indonesia
Kasus Alex Denni menggambarkan contoh ketimpangan dalam penegakan hukum yang kerap terjadi di pengadilan. Dalam kasus ini, Alex Denni, bersama dengan dua terdakwa lainnya, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah, diperiksa atas kasus yang sama. Namun, putusan yang dijatuhkan kepada Alex berbeda jauh dibandingkan dengan dua terdakwa lainnya yang dinyatakan bebas. Kejanggalan ini menimbulkan dugaan adanya rekayasa hukum yang melibatkan berbagai pihak, termasuk oknum di dalam sistem peradilan.
Menggali Lebih Dalam Kejanggalan pada Kasus Alex Denni
Latar Belakang Kasus dan Peran Alex Denni
Kasus ini bermula pada 2003, ketika PT Telkom Tbk. menunjuk PT Parardhya Mitra Karti, di mana Alex Denni bertindak sebagai direktur, untuk melakukan analisis jabatan sebagai bagian dari pemberdayaan SDM. Proses pengadaan dilakukan secara resmi dengan nilai proyek mencapai Rp5,77 miliar. Proyek selesai pada Juni 2004 dan berjalan tanpa kendala.
Pada 2006, Kejaksaan Negeri Bandung mulai melakukan penyelidikan atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek tersebut. Setelah melalui proses pengadilan yang panjang, Pengadilan Negeri Bandung memutuskan bahwa ketiga terdakwa bersalah. Namun, ketika kasus ini naik ke tingkat banding, hanya Alex Denni yang dinyatakan bersalah, sedangkan Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dinyatakan tidak bersalah.
Analisis Ketidakadilan dalam Disparitas Putusan
Salah satu hal yang menjadi sorotan utama dalam kasus ini adalah ketidakkonsistenan putusan di berbagai tingkat pengadilan. Disparitas ini sangat mencolok, mengingat ketiganya terlibat dalam proyek yang sama dengan tuduhan yang serupa, namun putusan yang dijatuhkan berbeda. Menurut ahli hukum pidana Dr. Vidya Prahassacitta, perbedaan ini menunjukkan adanya kemungkinan kesalahan penilaian yang signifikan dalam menarik kesimpulan dari fakta persidangan.
Selain itu, ahli hukum Dr. Ahmad Sofian menyoroti minimnya alat bukti yang digunakan untuk mendukung putusan bersalah terhadap Alex Denni. Pendapat ini memperkuat pandangan bahwa disparitas putusan ini merupakan bukti nyata dari adanya ketidakadilan dalam penerapan hukum.
Kelemahan Sistem Peradilan: Dari Administrasi hingga Substansi Putusan
Kendala Transparansi di Pengadilan
Transparansi dalam sistem peradilan menjadi masalah serius yang berkontribusi pada ketidakadilan. Dalam kasus Alex Denni, terdapat kejanggalan karena sebagian besar putusan di tingkat Pengadilan Negeri, Banding, dan Kasasi tidak diunggah secara terbuka di situs Mahkamah Agung atau Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). Hanya putusan kasasi Alex Denni yang dieksekusi, sementara 8 dari 9 putusan lainnya sengaja disembunyikan. Hal ini menimbulkan kecurigaan terhadap motivasi di balik keputusan pengadilan yang tidak terbuka untuk umum.
Kepincangan Proses Hukum di Mahkamah Agung
Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan sering kali menghadapi kritik terkait ketidakadilan dalam putusan yang dijatuhkan. Tidak hanya dalam kasus Alex Denni, tetapi juga pada kasus-kasus besar lainnya yang melibatkan pejabat tinggi. Kerap kali, terdapat jeda waktu yang panjang antara proses pemeriksaan di tingkat banding hingga kasasi, yang bisa mencapai bertahun-tahun. Dalam kasus ini, jeda waktu hingga 11 tahun antara putusan banding dan kasasi menambah rumit proses penegakan hukum yang seharusnya mengutamakan kepastian hukum.
Kesimpulan Eksaminasi Publik oleh Ahli Hukum
PBHI atau Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia telah melakukan eksaminasi publik atas kasus ini dengan melibatkan ahli hukum. Dr. Rocky Marbun, Dr. Vidya Prahassacitta, dan Dr. Ahmad Sofian turut menyampaikan bahwa disparitas putusan di kasus Alex Denni membuka kemungkinan adanya rekayasa hukum yang merugikan terdakwa. Mereka menggarisbawahi beberapa poin penting, di antaranya:
- Disparitas Putusan: Keputusan yang berbeda terhadap terdakwa yang terlibat dalam peristiwa hukum yang sama menimbulkan tanda tanya besar terkait keadilan dan independensi hakim.
- Inkonsistensi dalam Penerapan Pasal: Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 seharusnya hanya berlaku bagi pejabat publik atau pegawai negeri yang memiliki kewenangan publik. Alex Denni sebagai pihak swasta tidak memenuhi kualifikasi delik ini.
- Pengabaian Prinsip Asas Kemanusiaan: Kasus ini menunjukkan perlunya penerapan asas kemanusiaan dalam setiap putusan yang menyangkut pihak yang bukan pejabat publik, untuk menghindari disparitas putusan dan potensi ketidakadilan.
Reformasi Sistem Peradilan untuk Mewujudkan Keadilan
Ketidakadilan yang dialami Alex Denni menjadi cerminan dari kebutuhan mendesak untuk mereformasi sistem peradilan di Indonesia. PBHI menyerukan adanya standar prosedur yang lebih tegas untuk mencegah disparitas putusan yang menjadi pintu masuk bagi rekayasa perkara. Reformasi ini harus mencakup:
- Transparansi yang Lebih Baik dalam Pengunggahan Putusan: Seluruh putusan, baik di tingkat Pengadilan Negeri, Banding, maupun Kasasi, harus tersedia secara online di SIPP agar publik dapat mengawasi keadilan dalam setiap keputusan.
- Penerapan Standar yang Sama untuk Kasus Sejenis: Mahkamah Agung perlu menetapkan kebijakan yang memastikan bahwa kasus serupa harus diperiksa oleh majelis hakim yang sama dan dalam tempo waktu yang berdekatan untuk menghindari kesenjangan putusan.
- Pengawasan yang Ketat Terhadap Praktik Mafia Peradilan: Mengingat banyaknya dugaan praktik mafia peradilan, dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum. Hal ini akan membantu menekan praktik korupsi di lembaga peradilan yang merusak kepercayaan masyarakat.
Penutup: Menatap Harapan untuk Peradilan yang Lebih Adil
Kasus Alex Denni memberikan pelajaran berharga bahwa ketidakadilan dalam sistem hukum tidak hanya merugikan individu, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap peradilan. Disparitas putusan yang terlihat pada kasus ini harus menjadi pendorong untuk mereformasi sistem peradilan di Indonesia agar lebih transparan, adil, dan bertanggung jawab. Melalui kajian ini, diharapkan setiap pihak yang terlibat dalam penegakan hukum dapat lebih berkomitmen untuk mengutamakan keadilan yang sejati tanpa adanya rekayasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H