Pemilihan umum (Pilpres, Pileg dan Pilkada) adalah hajatan demokrasi yang melibatkan warga negara wajib pilih. Pesta demokrasi 5 tahunan ini tentunya juga menjadi ajang bagi masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya kepada kontestan yang bertarung.
Di dalamnya tentu masyarakat memiliki suatu harapan besar bagaimana melahirkan seorang pemimpin yang amanah, anti korupsi, berpihak pada kaum marginal, dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan dapat meningkatkan pelayanan publik.
Tahun 2020 yang bertepatan dengan tahun politik sayangnya harus dihadapkan dengan keadaan di mana pandemi Covid-19 masih belum berakhir. Dalam konteks pemilihan kepala daerah Tahun 2020, seluruh aktor pilkada meliputi penyelenggara, bakal calon hingga partai partai politik sepenuhnya menunggu respon dan sikap tanggap pemerintah terkait keadaan bawah pandemi covid-19.Â
Dengan penentuan status kedaruratan kesehatan, pembatasan interaksi mempersulit pergerakan dan menghambat kinerja penyelenggara pemilu, aksi bakal calon dan pergerakan partai politik meraih masa untuk persiapan agenda penyelenggaran pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di 270 daerah yang akan Pilkada di 2020 juga terhambat (Richard Kennedy, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2020:189).
Secara teknis sebagai antisipasi penyebaran covid-19, Komisi Pemilihan Umum telah mengeluarkan kebijakan yang tertuang di dalam Keputusan KPU Nomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.Â
Keputusan tersebut secara garis besar terdapat 4 tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang ditunda meliputi pelantikan panitia pemungutan suara, verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Panitia Pemuktahiran Data Pemilih, serta pemuktahiran dan penyusunan daftar pemilih (Pusat Penelitian Politik, Polemik Penyelenggaraan Pilkada Serentak di Tengah Covid-19, 2020:1).Â
Lantas bagaimana dengan pelaksanaan kampanye?Â
Jika melihat dengan realitas yang terjadi saat ini, di mana pandemi Covid-19 belum juga usai, maka pelaksanaan kampanye pun akan berpotensi untuk dirombak baik dari segi metode pelaksanaan, maupun waktu pelaksanaannya.
Padahal, seperti yang kita ketahui bahwa kampanye merupakan salah satu tahapan yang sangat penting sebagai sarana informasi agar masyarakat mengenal dan mengetahui siapa calon pemimpin yang tepat untuk mereka pilih.Â
Sehingga dalam konteks hari ini, jika kita ingin pemimpin yang berkualitas dan mampu mengabdi pada rakyat maka kita semua harus cerdas dalam memilih. Menjadi pemilih cerdas itu harus agar terpilihnya pemimpin yang berkualitas.
Kita harus mampu membedakan mana calon pemimpin yang sengaja memoles dirinya dengan citra yang baik dan mana calon pemimpin sejati yang siap mengabdikan diri untuk negeri. Ingatlah, bahwa masa depan negeri ini tergantung pada seorang pemimpin dan pada kecerdasan kita dalam memilih.
PEMBAHASAN
Maju atau tidaknya suatu daerah dan bangsa sangat tergantung pada pemimpinnya, oleh karena itu jadilah pemilih yang cerdas untuk bisa menghasilkan pemimpin yang berkualitas agar bisa mengelola daerah dan bangsa dengan profesional dan berintegritas.Â
Pertanyaannya bagaimana menjadi pemilih yang cerdas?
Pertama, jadilah pemilih yang mampu menggali rekam jejak calon pemimpin. Telusuri riwayat calon pemimpin tersebut didalamnya terkait latar belakang keluarga, pendidikan dan bagaimana aktifitasnya di masyarakat, karena tidak semua yang disampaikan atau dijanjikan oleh seorang kontestan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, sehingga masyarakat bisa mengetahui sebelum menentukan pilihannya.
Kedua, jadilah pemilih yang rajin mencari informasi dan mempelajari program dan visi misi yang ditawarkan kepada masyarakat. Visinya relevan dengan kebutuhan masyarakat, terukur atau realistis dan mudah dipahami. Misi yang diusung harus mampu menterjemahkan visi yang disampaikan. Jangan sampai berbanding terbalik dengan visi yang ada.
Begitu juga dengan program yang ditawarkan oleh para kontestan, program yang baik seharusnya adalah penterjemahan secara teknis dari visi dan misi. Pemilih yang cerdas harus mampu menjadi "penterjemah" yang bisa menilai program yang disampaikan realistis atau hanya ingin menyenangkan "sesaat" hati masyarakat serta apakah benar-benar sesuai dengan kebutuhan publik atau "tiba saat tiba akal".
Ketiga, jadilah pemilih yang mengedepankan rasionalitas dalam memilih. Memilih pemimpin berdasarkan penilaian yang objektif dan komprehensif tanpa dipengaruhi oleh tekanan pihak lain, tidak memilih berdasarkan suku, daerah, agama dan tidak dipengaruh oleh faktor hadiah/uang tetapi memilih karena kontestan tersebut berintegritas, rekam jejaknya baik dan memiliki sikap kenegarawanan.
Keempat, tidak mudah termakan hoax dan terpecah belah oleh isu sara.
Seperti yang kita ketahui bahwa sosial media saat ini marak menyebarkan berita hoax yang disebarkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab untuk membuat kerusuhan dan suasana politik semakin panas.
Dari kubu mana pun berusaha menangkal hoax dan melawan fitnah yang menimpa mereka. Dan biasanya para pendukung yang anarkis yang menyebarkan hoax untuk memenangkan pemimpin pilihannya.Â
Bahkan permasalahan agama dan golongan saat ini pun kian menjadi, entah dimana rasa persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia saat ini. Maka bijaklah dalam menanggapi suatu berita, jangan sampai termakan hoax dan terpecah belah oleh isu sara. Kita adalah Rakyat Indonesia yang penuh dengan kebergaman, nikmatilah perbedaan dan kuatkan persatuan.
Kelima, katakan tidak pada money politics.Â
Bagaimana bisa disebut Pemilih Cerdas jika suara kita dapat dibeli hanya dengan 100 ribu saja? Bagaimana seorang calon pemimpin berani membeli suara rakyat hanya dengan nilai rupiah ? padahal belum terpilih jadi pemimpin apalagi jika sudah memimpin, mungkin hukum pun akan dipermainkan!Â
Memperhatikan kondisi politik saat ini ternyata sangat sarat dengan permainan politik uang. Â Money politics adalah semua tindakan yang disengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah atau dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang menurut kententuan Undang-Undang.
Apabila kelima hal tersebut bisa dilakukan oleh masyarakat, maka kita akan mampu untuk melihat dan mendapatkan pemimpin yang benar-benar berkualitas dan bekerja untuk masyarakat, dan demi kesejahteraan masyarakat.
KESIMPULAN
Pandemi covid-19 menyebabkan Pilkada 2020 mengalami penjadwalan ulang. Pemerintah bersama KPU dan DPR sepakat menunda Pilkada 2020 hingga bulan Desember 2020, melalui Perppu No. 2 Tahun 2020.
Pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir tentu akan berpengaruh terhadap tingkat efektivitas masyarakat dalam menentukan siapa pemimpin yang benar-benar memiliki kualitas dan integritas yang bagus.Â
Namuan sebagai masyarakat, kita tentu tidak ingin bahwa kondisi hari ini akan mempertaruhkan masa depan daerah hingga 5 (lima) tahun kedepan, sehingga masyarakat harus berupaya untuk proaktif dalam mencari tahu pemimpin yang benar-benar memiliki kualitas, dalam hal ini misalnya berkaitan dengan kompetensi, integritas, kapabilitas, serta kepribadian/karakter yang mempuni sebagai seorang pemimpin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H