Sejak negara turut campur mendefinisikan agama dan kepercayaan dalam peraturan perundang-undangan, yakni pada tahun 1961 Departemen Agama (Kementerian Agama) merumuskan kriteria yang bisa disebut sebagai agama.Â
Unsur-unsur agama menurut Depag, diantaranya Kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, nabi, kitab suci, umat dan suatu sistem hukum bagi penganutnya. Kriteria ini yang membuat pengenut kepercayaan terlempar dari makna agama.Â
Data dari Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, total ada 187 kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia yang terdata oleh pemerintah. Terbanyak, kelompok penghayat kepercayaan berada di Jawa Tengah dengan 53 kelompok.
Keberadaan Pancasila sebagai philosophical groundslag bangsa Indonesia yang kemudian menempatkan konsep ketuhanan pada tataran tertinggi dan dengan melihat rumusan di dalam UUD NRI Tahun 1945 tentang hak-hak asasi manusia sebagaimana Pasal 28 E Ayat 1 dan 2  menyatakan adanya kebebasan untuk memeluk agama dan kebebasan untuk meyakini kepercayaan.Â
Lebih jauh dalam pasal 28 I Ayat 1 dan 2 juga menyatakan keberadaan dan pengakuan akan hak kemerdekaan pikiran, hati nurani dan bebas dari perlakuan yang diskriminatif yang sejatinya harus dilindungi oleh negara. Sehingga secara terang dan jelas telah diatur dalam konstitusi akan pengakuan terhadap agama dan kepercayaan. Lantas mengapa agama dan kepercayaan perlu disetarakan?
Mengikuti General Comment Nomor 22 (diterima dalam Sidang Umum ke-48 PBB, 1993) yang memberi petunjuk resmi penafsiran ICCPR, maka hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama itu harus dipahami secara luas dan komprehensif.Â
Sebagaimana rumusan pasal 18 (1) ICCPR yakni untuk melindungi semua sistem  keyakinan. Istilah agama maupun kepercayan tidak saja mencakup agama-agama tradisional, agama-agama yang memiliki institusi, tetapi juga agama-agama baru, atau non-institusional. Agama atau kepercayaan dalam pasal 18 mencakup perlindungan terhadap apa yang disebut kepercayaan-kepercayaan teistik (theistic).
Walaupun secara normatif telah diatur sedemikian rupa pengakuan akan hak-hak terhadap aliran kepercayaan, namun sekali lagi antara das sollen (apa yang seharusnya) dan das sein (fakta yang ada) masih belum sesuai.Â
Jika dilihat dalam UU No. 24 Th 2013 Tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 (1) berkaitan dengan KTP-el misalnya, dimuat elemen berkaitan dengan data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.Â
Adapun pada ayat (5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.Â
Namun di lapangan apakah sesuai kenyataan? Hak-hak untuk mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pekerjaan, dan hak-hak lain tanpa adanya perlakuan diskriminatif dalam urusan -- urusan administrasi.
Pada dasarnya penganut agama dan penganut kepercayaan sama-sama mempunyai sistem keyakinan (teologi) yang tak bisa dibedakan. Menganut agama atau menganut kepercayaan merupakan ekspresi dari sebuah keyakinan yang transenden (tersembunyi).Â
Setiap individu baik yang beragama maupun berkeyakinan sama-sama memiliki rasa kerinduan terhadap suatu kekuatan yang melebihi dirinya. Kekuatan yang melebihi individu itulah yang dimanifestasikan dalam wujud yang berbeda-beda.Â
Bentuk yang berbeda-beda itu, merupakan hasil imajiner dari sebuah individu atau kelompok yang bersifat subjektif. Tentu, hasil imajiner setiap orang berbeda-beda, meskipun bersumber dari hakikat yang sama. Namun memberikan penafsiran dan definisi secara subjektif atas suatu hal yang sifatnya universal dan final tanpa mampu melihat lebih dalam adalah sebuah kekeliruan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wilfred Cantwel Smith bahwa hakikat agama adalah keyakinan atau iman (faith). Pengertian Iman menurut Smith adalah: "standard man is man of faith", dan "faith as a global human characteristic is mans responsive involvement in the activity of Gods dealing with humankind". ("Standar manusia yang beriman" dan "iman sebagai karakteristik manusia universal, keterlibatan responsif manusia dalam berurusan dengan Tuhan). Mengacu pada pandangan Smith di atas tentang esensi "interaksi Tuhan dan manusia, maka dapat dikatakan dalam setiap agama dan kepercayaan relasi (manusia-Tuhan) tetap ada.
Hal ini pun sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Linda Woodhead seorang peneliti dari Lancaster University Inggris yang mengungkapkan bahwa antara agama dan kepercayaan keduanya mengacu pada komitmen orientasi yang membantu memberikan makna dan arah hidup (way of life).Â
Adapun Emile Durkheim menyatakan agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan praktik praktik yang menyatu dalam suatu komunitas moral dimana semua orang tunduk kepadanya atau sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiaanya. Oleh karena itu, secara konsep antara agama dengan kepercayaan pada dasarnya sama-sama memiliki keyakinan akan adanya Tuhan.
Sehingga jika kita melihat kembali ketentuan dalam pasal 64 ayat 1 dan ayat 5 maka ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip negara demokrasi dalam bingkai nomokrasi yang telah dijamin oleh konstitusi. Sebagaimana termuat didalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat 2 bahwa "kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD".Â
frasa "kedaulatan rakyat" menggambarkan demokrasi yang menjunjung tinggi keberadaan hak-hak asasi manusia dan frasa "dijalankan menurut UUD" menggambarkan bahwa demokrasi harus dijalankan dalam bingkai nomokrasi sebagaimana disebutkan lebih lanjut dalam ayat 3 bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum" oleh karena itu Jimmly Ashiddiqie memberikan pengertian akan makna nomokrasi yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 dan ayat 3 yakni adanya pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi, kemudian adanya jaminan akan hak-hak asasi manusia didalam UUD, dan menjamin keadilan bagi seluruh warga negara, salah satunya adalah hak-hak untuk memproleh pelayanan publik, memperoleh kesempatan dan kemudahan dalam hal pekerjaan  dan dipandang sama dihadapan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H