Lalu Mahdi Idris mengakhiri puisi tersebut dengan larik berikut:
Aceh, adalah rindu yang menggebu
Tempat memulang diri pada cinta anak-cucu
Agar kesetiaan takkan pudar
Sampai segala cinta melekang diri di dada
(Mahdi Idris, hal 42-43)
Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan penyair nasional Cecep Samsul Hari bahwa Mahdi Idris menulis sajak-sajaknya tanpa pretensi menaklukkan bahasa. Sangat terlihat bahwa baginya, puisi adalah interiorisasi atas kumpulan pengalaman pribadinya sebagai hamba Tuhan, sebagai penyair, dan sebagai putra Aceh yang sangat mencintai tanah kelahirannya.
"Mahdi Idris tidak saja mengenalkan kita pada kenangan negeri, pun kita diajak pula dalam percakapannya dengan dengan Tuhan," ungkap Asrizal Nur penyair asal Depok, Jawa Barat di sampul belakang buku berwarna putih berlukisan pemandangan alam.
Hal tersebut dapat dipahami dan ditangkap dari pesan moral yang disampaikan Mahdi Idris dalam puisi berjudul "Doa" pada bait berikut:
Ya Allah, akulah jiwa dina antara para abdi
biar sorga takkan lekat harumnya