Surga untuk Siapa ?
Karya Hamdani Mulya
 "Brengsek ..., brengsek..., brengsek ..., bangsat lelaki itu ... tiap hari kerjanya sih mabuk, hisap sabu-sabu. Jika pikirannya lagi tak senang, terus kerjanya menyiksa ibuku," itu jawab Iwan kepada petugas polisi yang menginterogasinya karena diduga membunuh seorang lelaki separuh abad.Â
"Aku puas dan tidak pernah menyesal telah memancung lelaki yang sering memukul Ibuku," sambung pemuda tanggung berusia 17 tahun itu.Â
Iwan terpaksa harus mengikuti Ujian Nasional (UN) di meja ruang jeruji besi tahanan kantor polisi.
Iwan di kampungnya dikenal termasuk remaja yang alim dalam agama. Ia begitu menghormati kedua orang tuannya. Itu sebab sepulang sekolah, ia mencari uang sendiri dengan menjadi buruh di sebuah kilang padi dan kadang-kadang menjadi kernet (kondektur) angkot. Itu ia lakukan demi mengurangi beban orangtuanya, dan usai kerja malam ia mengaji ke satu Dayah (Pesantren) terdekat di kampungnya.
"Jangan katakan ah, ah..., ah... kepada Ibumu, karena perkataan semacam itu menyebabkanmu durhaka kepada ibumu. Jangan pula kamu durhaka kepada Bapakmu. Kamu hari kiamat tidak masuk surga", begitu kata Tgk. Haji Ismail dua malam yang lalu di pesantren, sebelum Iwan menghabisi lelaki berkulit hitam legam yang mirip Iwan itu.
Malam naas itu sebuah mobil ambulance meraung-raung seperti menangisi kepergian lelaki pecandu narkoba itu. Melaju kencang membawa korban pembunuhan yang dilakukan oleh anak kandunnya sendiri. Korban bernama Saiful, berusia 50 tahun preman kampung dan seorang bandar narkoba.
Namun, para masyarakat desa sekitar yang sosialnya masih tinggi. Seperti biasanya melawat berkunjung kerumah korban untuk melakukan fardhu kifayah. Selanjutnya mendoakan mudah-mudahan almarhum masuk surga dan Iwan juga diampuni dosanya. Kemudian keduanya masuk surga untuk saling bermaaf-maafan seperti di hari raya.
Hari itu langit mendung, gerimis menangis ada cinta berbalut duka di ujung belati. Sayat-sayat suara bisik setan menggemuruh di bumi berdarah. Di zaman yang penuh tipu daya ini ada-ada saja adegan yang menusuk hati. Tanda-tanda kiamat sudah dekat ?Â
Dari balik penjara Iwan masih menunggu hari persidangan. Tiba-tiba seorang pria datang. Dia abang kandung Iwan yang ketika sempat mengantar ayah mereka ke rumah sakit sebelum menghembuskan nafas terakhir.
"Ayah sebelum menghembuskan nafas terakhir berpesan. Aku telah memaafkan Iwan agar masuk surga," ujarnya kepada sang adik. "Ayah telah memaafkan Iwan, karena Iwan sangat mencintai dan menyayangi Ibunya ..." sambung pria itu.
Air bening mulai tampak mengalir dari kelopak mata remaja tanggung itu. Pembicaraan terputus setelah petugas mengatakan waktu membesuk sudah habis.
"Sebenarnya, aku tak bermaksud membunuh Ayahku sampai mati. Aku hanya menggertak agar ia mengubah wataknya, dan lebih mencintai Ibuku. Namun akhirnya belati itu memancung leher ayahku ...," ungkap Iwan di persidangan.
Beberapa bulan kemudian Iwan menulis sepucuk surat yang dikirim kepada guru mengajinya Tgk Haji Ismail. Isinya begitu singkat, "Tgk. Haji Ismail yang saya muliakan. Surga itu untuk Aku, untuk Ayahku atau untuk Ibuku ???."
Aceh Utara, 15 Oktober 2023
Profil Penulis
Hamdani Mulya adalah Guru SMAN 1 Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Menulis cerpen, puisi dan esai di beberapa media surat kabar cetak dan online.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H