Kabupaten Bombana adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia, dengan ibukota Rumbia, dibentuk berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2003 tanggal 18 Desember2003 yang merupakan hasil pemekaran Kabupaten Buton. Bombana dikenal sebagai wilayah yang dihuni oleh Suku 'Moronene' sebagai penduduk asli, salah satu etnis terbesar di Sulawesi Tenggara, dimitoskan sebagai Negeri Dewi Padi (Dewi Sri).
Konon, sang dewi pernah turun di sebuah tempat yang belakangan disebut Tau Bonto (saat ini lebih dikenal dengan penulisan Taubonto, ibukota Kecamatan Rarowatu). Dalam Bahasa Moronene, 'tau bonto' berarti tahun pembusukan, karena ketika Dewi Padi itu turun di tempat tersebut, produksi padi ladang melimpah ruah sehingga penduduk kewalahan memanennya.
Akibatnya, banyak padi tertinggal dan membusuk di ladang. Padahal, luasan ladang yang dibuka tak seberapa, hanya beberapa hektare saja untuk setiap keluarga (Referensi: https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bombana).
Pada masa Kolonial Belanda dan masa Perang Pasifik, Kabupaten Bombana pernah menjadi wilayah yang di kuasai oleh Belanda yang kemudian diambil alih oleh Jepang pada saat Jepang berhasil menguasai Kendari pada tanggal 24 Januari 1942 (Hayunira, 2013: 33; Hamado, 2018: 6).Â
Sebagai sebuah wilayah yang pernah dikuasai oleh Jepang pada masa Perang Pasifik, wilayah ini menyimpan sejumlah peninggalan-peninggalan yang menjadi salah satu bukti fisik terkait keberadaan Jepang di wilayah tersebut.
Salah satu bukti fisik peninggalan Jepang yang sampai saat ini masih ditemukan di wilayah ini adalah adanya bekas lapangan udara militer Jepang yang dibangun pada masa Perang Dunia II atau yang lebih spesifik adalah Perang Pasifik. Keberadaan bekas lapangan udara tersebut, saat ini secara administratif masuk dalam wilayah Desa Laea, Kecamatan Poleang, Kabupaten Bombana.
Berdasarkan arsip laporan intelejen Sekutu yang diperoleh dari Allied Geographical Section Southwest Pacific Area, 1945Â diketahui bahwa lapangan udara ini memiliki ukuran landasan pacu (Run Way)Â sepanjang 5.250x350 ft atau setara dengan 1.600x107 m, dibangun di atas lahan datar yang luas dan jarang ditumbuhi pohon. Laporan intelejen sekutu juga menyebutkan bahwa lapangan udara militer Jepang ini bernama Lapangan Udara Baroe (Baroe Airfield).Â
Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi (BALAR) Makassar pada tahun 2012, menyebutan bahwa lokasi bekas lapangan udara ini berjarak sekitar 2,8 km dari garis pantai.
Lokasi ini berbatasan dengan barisan perbukitan di sisi utara dan pantai di sisi selatan, sedangkan pada sisi timur dan barat lokasi bekas lapangan udara ini berbatasan dengan pemukiman penduduk yang cukup padat. Dalam kawasan bekas lapangan udara ini ditemukan sejumlah peninggalan berupa sebuah bunker Jepang, sebuah meriam dan benteng tanah yang berjumlah 21 buah.
Bunker adalah bangunan ruang bawah tanah yang dibuat dengan cara dicor menggunakan campuran semen, pasir dan batu serta diperkuat dengan rangka besi pada bagian dalamnya. Bangunan bunker yang berada di dalam kawasan bekas lapangan udara tersebut memiliki denah dasar berbentuk seperti huruf 'Z' dengan 1 pintu masuk.Â
Dalam dunia militer, bunker merupakan bangunan perlindungan bawah tanah yang yang berfungsi sebagai tempat perlindungan, persembunyian, maupun tempat penyimpanan peralatan perang militer seperti senjata, amunisi, logistik, dll. Selain itu bangunan bunker juga dapat berfungsi sebagai ruang perkantoran tentara militer atau juga sebagai rumah sakit militer.