film di bioskop berbeda dibanding menonton film di platform streaming video on demand (VOD) seperti Netflix, Disney+ Hotstar, Amazon Prime Video, atau aplikasi sejenis.
Sudah lama saya tidak ke bioskop. Memang sensasi menontonMakanya, saya tidak berpikir dua kali sewaktu kakak perempuan saya, L, mengajak saya untuk mengikuti nonton bareng (nobar) film "Home Sweet Loan" di bioskop XXI Studio bersama BCA.
"Temani ya, Ton. Acara nonton nasabah BCA di Mercure," ajak L.
Tentu saja, saya langsung bilang iya.
Dalam pikiran saya, kalau sudah bicara tentang BCA, pasti film ini istimewa. Pasti ada yang spesial pada film ini.
Kesepakatan untuk berangkat pada pukul 17.45 WITA di hari Jumat, 18 Oktober 2024, menuju bioskop XXI Studio di Mall City Centrum Samarinda.
Tujuan diadakannya nobar, menurut kalimat yang tertulis di undangan, adalah PT.Bank Central Asia, Tbk, KCU Samarinda ingin lebih meningkatkan hubungan yang lebih baik selama ini dengan nasabah BCA.
Menurut saya, ini adalah cara yang brilian dalam menjaga hubungan yang sudah baik selama ini antara BCA dan nasabah, dan bisa lebih meningkatkan kepercayaan nasabah akan kepedulian BCA pada sisi keuangan nasabah.
Mall City Centrum tidak jauh dari tempat kami tinggal. 15 menit cukup untuk menempuh perjalanan sampai ke tujuan.
Kami tiba di Mall City Centrum Samarinda pada jam 18.00 WITA.
Setelah saya memarkir sepeda motor, kami langsung menuju lantai 7 dimana bioskop XXI Studio berada. Untungnya, meskipun tidak melalui lift, melewati eskalator tidak membuat kaki pegal.
Sudah banyak orang yang memadati bioskop XXI Studio. Tentu saja, mereka tidak semua menonton film "Home Sweet Loan", karena di saat yang bersamaan, ada beberapa film lain yang ditayangkan, apalagi hari tersebut adalah akhir pekan.Â
Di pintu masuk bioskop, ada beberapa penerima tamu dari BCA KCU Samarinda. Dan, sudah bisa ditebak, beberapa dari mereka mengenal L, karena L dulunya adalah rekan kerja mereka. Karena L sudah pensiun, terpaksa mereka "berpisah", namun keakraban, pertemanan, tetap terjalin dengan erat.
"Apa kabar, Ce L? Ayo, Ce. Registrasi dulu," kata seorang laki-laki yang lumayan tinggi dan "berisi" yang kata L adalah B, rekan kerja yang dulu sekantor dengan L.
Ada deretan gambar kotak-kotak di atas kertas yang menggambarkan beberapa tempat duduk di dalam studio. Saya sudah lama tidak ke bioskop, jadi saya tidak tahu persis tempat duduk mana yang cukup nyaman posisinya untuk menonton.Â
Pegawai BCA yang bertugas di meja registrasi menyarankan tempat duduk di deretan B. "B nomor 3 dan 4 ya, Ce? Gak terlalu ke atas. Posisinya pas, nyaman buat nonton," kata sang pegawai, seorang perempuan berpenampilan menarik.
L menyetujui. Tiket pun diberikan.
Kami dan beberapa nasabah BCA menunggu waktu tayang film di studio tertentu yang ternyata akan tayang pada pukul 19.00 WITA.
Penanganan yang baik dan ramah membuat penantian tersebut tidak terasa lama. Yang awalnya kami terpaksa berdiri, menimbang ramainya masyarakat yang ingin menonton. Namun pada akhirnya kami mendapat tempat duduk sebelum masuk ke studio, karena B, mantan rekan kerja L yang menerima kami di awal masuk bioskop, mengarahkan kami ke sofa panjang tanpa sandaran di dalam bioskop, tak jauh dari studio tempat kami akan menonton film "Home Sweet Loan".
Tentu saja, perhatian yang besar seperti ini sangat layak diapresiasi. Melayani nasabah dengan maksimal adalah koentji sukses BCA sehingga menjadi besar dalam dunia perbankan. Tercermin dalam tutur kata dan tingkah laku karyawan BCA yang tanggap, cepat, dan profesional.
Jam 19.00 WITA.Â
Waktu menonton pun tiba.
Beberapa nasabah BCA satu demi satu antre dengan teratur dan sabar.
Sebelum masuk ke studio dimana film "Home Sweet Loan" ditayangkan, setiap nasabah BCA yang sudah registrasi mendapatkan camilan ringan berupa satu hamburger, sekotak popcorn, dan segelas softdrink.
Suasana studio sangatlah nyaman dan sejuk karena air conditioner.
Setelah mendapatkan tempat duduk kami, saya menikmati camilan yang sudah diberikan tadi. Hamburger menjadi prioritas pertama, supaya saat menonton, hamburger sudah tuntas. Pengecualian pada popcorn dan softdrink yang masih saya rem komsumsinya, karena meskipun menonton, makan popcorn dan minum softdrink tidak akan mengganggu aktivitas menonton.
Akhirnya lampu studio dipadamkan.Â
Beberapa iklan berupa dua trailer film terbaru ditayangkan sebelum film yang sebenarnya mulai.
Tunggu punya tunggu.
Akhirnya, film "Home Sweet Loan" mulai ditayangkan.
Alur maju yang digunakan. Dikisahkan, Kaluna adalah anak bungsu dalam suatu keluarga di satu rumah. Ayah dan ibu masih ada, tapi sang ayah sudah pensiun. Ibunya adalah ibu rumah tangga biasa yang sederhana. Anak tertua, perempuan, M; dan anak kedua, laki-laki, N; sudah berkeluarga dan masih tetap tinggal di rumah orang tua. Kakak-kakaknya tersebut sudah mempunyai anak dari perkawinan masing-masing.Â
Meskipun Kaluna anak bungsu, dia seperti "anak sulung" yang harus membersihkan rumah, bahkan sampai membayar token listrik!
Kaluna juga tergusur ke kamar tidur pembantu, karena kakak perempuannya, M, "mengakuisisi" kamar tidur Kaluna dan menjadikannya sebagai kamar tidur anak-anaknya.
Kaluna merasa "menumpang" di rumahnya sendiri.
Impian membeli rumah sendiri. Untuk itulah Kaluna berhemat demi mengumpulkan uang buat DP membeli rumah idaman dan bisa mengajukan KPR dengan lebih mudah.
Selanjutnya?
Tonton selengkapnya di bioskop terdekat di kota Anda.
Nilai-nilai moral di dalam film "Home Sweet Loan"
Saya sebenarnya tidak mudah tersentuh emosinya ketika menonton film, khususnya film Indonesia, karena biasanya film-film Indonesia kebanyakan bisa ditebak "hasil akhirnya".
Namun, ketika menonton film "Home Sweet Loan", hati saya tersentuh. Film ini relate, kalau meminjam istilah sekarang, sangat berhubungan dengan kenyataan hidup manusia, apalagi yang tinggal di perkotaan.
Beberapa "gesekan" yang Kaluna hadapi merupakan gambaran pedih generasi dari zaman ke zaman, apalagi di masa kini yang semakin menurun dari segi finansial.
Setelah selesai menonton, dan mengendapkan gambaran-gambaran, potret-potret kehidupan manusia di film tersebut, yang, meskipun fiksi, tetapi sangat mewakili keadaan insan di era ini, saya menarik 3 (tiga) nilai moral dalam film "Home Sweet Loan".
1. Perlunya pendidikan literasi keuangan sejak usia dini
Supaya menjadi jelas, kita kupas terlebih dulu pengertian literasi dan literasi keuangan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi mempunyai 3 (tiga) pengertian.
Tiga pengertian tersebut adalah:
1. n kemampuan menulis dan membaca
2. n pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu
3. n kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup
Menurut saya, pengertian ketiga yang berhubungan erat dengan film "Home Sweet Loan", apalagi setelah saya melihat beberapa gabungan kata dengan kata awal literasi, selain yang umum kita temui, seperti literasi baca tulis, literasi digital, dan lainnya, terdapat dua gabungan kata dengan kata awal literasi yang menjadi pilihan.
Dua gabungan kata dengan kata awal literasi yang menjadi pilihan tersebut adalah literasi finansial dan literasi keuangan.
Literasi finansial, masih dari sumber yang sama, KBBI, adalah pengetahuan dan kemampuan untuk mengaplikasikan konsep risiko, keterampilan, dan motivasi dalam konteks finansial untuk meningkatkan kesejahteraan finansial.
Literasi keuangan adalah kemampuan untuk memahami pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola sumber daya keuangan.
Hampir serupa tapi tak sama.Â
Pada akhirnya, ini menurut opini saya, literasi keuangan yang berhubungan erat dengan film "Home Sweet Loan", menimbang finansial sendiri, menurut KBBI, memiliki pengertian a mengenai (urusan) keuangan. Jadi finansial berada dalam ruang lingkup keuangan.Â
Apalagi ada gabungan kata di dalam pengertian Literasi Keuangan yang sangat mengena dan berkaitan dengan film "Home Sweet Loan".
Gabungan kata tersebut adalah "sumber daya" yang setelah saya telusuri, makna gabungan dua kata ini menurut KBBI adalah:
1. faktor produksi terdiri atas tanah, tenaga kerja, dan modal yang dipakai dalam kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang jasa, serta mendistribusikannya.
2. bahan atau keadaan yang dapat digunakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya.
3. segala sesuatu, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang digunakan untuk mencapai hasil, misalnya peralatan, sediaan, waktu, dan tenaga.
Menimbang tiga pengertian dari "sumber daya", pengertian kedua yang mendekati persoalan yang diangkat dalam film "Home Sweet Loan".
Pendidikan di Indonesia, bisa dikatakan, terlalu terpaku dengan teori, khususnya yang berkaitan dengan Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia. Apakah salah? Tidak salah, namun alangkah baiknya kalau pendidikan literasi keuangan diajarkan juga sejak usia dini. Karena kita bisa melihat, maraknya penipuan lewat daring dan tergiurnya kebanyakan warga akan pinjaman online (pinjol) adalah salah dua dari beberapa blunder rakyat yang masih minim pengetahuan tentang literasi keuangan.
Orang tua sebagai "sekolah perdana", sekolah awal bagi anak, yang harus menanamkan terlebih dahulu pendidikan tentang literasi keuangan pada buah hati mereka.
Ibaratnya, uang tidak jatuh "gedebuk" langsung dari langit begitu saja. Ada proses panjang untuk mendapatkannya. Tapi sayangnya kebanyakan generasi zaman now seperti lupa atau tidak tahu akan proses sukar untuk mendapatkan uang. Ditambah lagi dengan adanya uang elektronik, seperti e-money atau penggunaan yang umum dari berbagai aplikasi mobile dari perbankan memudahkan belanja tanpa uang tunai atau istilahnya cashless.
Anak-anak jadi kecanduan dalam berbelanja, seperti yang dialami oleh beberapa kenalan yang mengeluh kalau anak-anak mereka membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan atau malah terus membeli makanan di luar daripada makan masakan orang tua mereka di rumah.
"Banyak barang yang dibeli yang akhirnya tergeletak begitu saja, entah karena dia bosan dengan itu, rusak, atau tidak seperti yang dia harapkan," kata L, seorang ibu rumah tangga yang bingung dengan anak laki-lakinya, murid SMA kelas X di salah satu SMA swasta di Samarinda, yang keranjingan membeli barang secara online.
Atau...
"Ini sudah yang kesekian kalinya C pesan makanan lewat kurir. COD. Aku heran. Ini kan boros. Sudah makanannya harganya mahal, plus ongkirnya juga tidak murah," keluh A, seorang teman yang berprofesi sebagai guru di salah satu SMP Negeri di Samarinda.
Kemampuan untuk memahami pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola sumber daya keuangan adalah vital dalam kehidupan, khususnya kalau sudah menyangkut dua kata yang mirip, tapi sebenarnya jauh bertentangan, Â Dua kata tersebut adalah "kebutuhan" dan "keinginan".Â
Sumber daya keuangan sangatlah terbatas, sehingga pengetahuan dalam mengelola sumber daya keuangan dan keterampilan dalam mengelola sumber daya keuangan adalah dua hal yang wajib dikuasai oleh setiap insan, sehingga bisa membedakan antara "kebutuhan" dan "keinginan" sebelum memutuskan membeli sesuatu.
Seperti misalnya, di dalam film, kakak kedua, seorang laki-laki, N, dengan santainya meminta adiknya yang bungsu, Kaluna, untuk membelikan token listrik, padahal dia punya uang untuk membeli playstation, karena terlihat di dalam film, N bermain playstation di rumah.Â
Terlihat N lebih mementingkan keinginan akan hiburan untuk dirinya sendiri, tapi kebutuhan keluarga besar akan listrik diabaikannya.
Orang tua wajib mengajarkan dan mendidik putra-putri tercinta akan literasi keuangan, karena seberapa pun kayanya orang tua, uang akan habis terkuras jika anak dan cucu menghabiskan karena tidak adanya pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola sumber daya keuangan.
Kecenderungan kebanyakan generasi zaman now seakan tak peduli dengan kesulitan orang tua mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Pembelian konsumtif yang ugal-ugalan mengemuka dan sewaktu dewasa, seperti N, berutang seakan cara yang termudah untuk mengatasi masalah kurangnya dana untuk mewujudkan impian keberadaan rumah, tapi pada akhirnya, tragedi yang terjadi. Pemilihan pinjaman online (pinjol) adalah kesalahan fatal yang terlihat mengatasi masalah, tapi sebenarnya malah menjerat peminjam ke jurang kemelaratan.
Kurikulum juga perlu mendapat perhatian. Bukan sekadar "mengisi" otak peserta didik, tapi juga memperlengkapi dengan pengetahuan tentang literasi keuangan, bagaimana sumber daya keuangan harus dikelola dengan baik, sehingga peribahasa "besar pasak daripada tiang" jangan hanya menjadi hafalan wajib di sekolah, tapi juga menjadi peringatan nyata setelah mereka pulang dari sekolah dan berhadapan dengan dunia yang keras di luar tembok sekolah.
Melatih keterampilan dalam mengelola sumber daya keuangan adalah keterampilan "mahal" yang justru tak terlihat dalam kurikulum di Indonesia dari masa ke masa. Kurikulum berganti, tapi terkesan hanya kulit luarnya saja yang berubah. Isinya tetap sama. Kalaupun isi beda dari kurikulum sebelumnya, penerapan tidak jelas, karena terlihat kurikulum belum "matang" dan kebanyakan guru mengajar dengan metode yang sama dan terus berulang selama bertahun-tahun.
"Mencekoki" peserta didik dengan teori tidak akan menjadikan mereka mahir dalam mengelola sumber daya keuangan. Praktik nyata perlu dalam proses belajar mengajar. Itulah yang masih menjadi PR besar dari menteri pendidikan yang baru dilantik, yaitu bagaimana menjadikan kurikulum yang tidak hanya menjadi blueprint, cetak biru, yang terlihat sakral dan indah dalam konsep, tapi juga harus jelas alur proses penerapannya.
2. Mempunyai rumah sendiri adalah suatu kebutuhan utama
Anda pasti sudah pernah mendengar tentang sandang, pangan, dan papan.
Mereka adalah tiga kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa dikesampingkan dalam kehidupan setiap insan.
Untuk sandang dan pangan, tidak menjadi persoalan besar, karena tanpa pakaian dan makanan, bagaimana manusia bisa hidup dan bersosialisasi?
Berbeda dengan papan. Alternatif menyewa, mengontrak rumah, bahkan indekos bagi para jomlo sudah bisa memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal.
Tapi ada satu hal yang kelak akan menjadi penyesalan yang terbesar.
Ketika sudah tidak kuat lagi bekerja, atau sudah pensiun, saat itulah timbul penyesalan yang terbesar.
Kenapa aku dulu tidak ambil rumah ya?
Sekarang aku sudah pensiun, sudah sakit-sakitan....
Saya dulu mempunyai seorang kenalan, T, yang akhir hidupnya sangat mengenaskan.
Dia mempunyai rumah sendiri pada awalnya. Entah bagaimana ceritanya, dia menjual rumah dan kemudian menyewa rumah di tempat lain.
Kehidupan terlihat berjalan seperti biasa, sampai suatu saat T menderita penyumbatan pembuluh darah di seputaran jantung. Pemasangan ring menjadi jawaban atas persoalan tersebut.
Namun, setelah itu; entah karena masalah kesehatan, keuangan, atau keluarga; kondisi T tidak menjadi membaik. Istri dan anak-anaknya juga meninggalkannya dan pindah ke kota lain, Balikpapan, dan T sebatang kara di Samarinda, menempati kamar indekos yang sempit dan hidup dari belas kasihan beberapa kenalan yang prihatin akan nasibnya yang malang.
Saya tidak tahu persis masalah apa yang menjadi pemicu keretakan rumah tangga T dan istrinya, R, namun sejak perpisahan dengan istri dan anak-anak, kondisi kesehatan T semakin menurun drastis. Bolak-balik ke rumah sakit, itulah yang terjadi pada T. Anak bungsu T, Y, seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Samarinda, terkadang menemani sang ayah di rumah sakit.Â
Di akhir hidupnya, T meninggal di rumah sakit. Istri dan anak-anaknya masih di Balikpapan saat itu.Â
T meninggal dalam kesendirian. Tanpa rumah, tanpa penghasilan, dan tanpa keluarga yang mengasihinya.
Ironis?
Ini adalah sebuah potret tragis yang mungkin dialami juga oleh beberapa insan lain yang tak terdata dalam statistik resmi.
Di saat kuat, sibuk bekerja. Rumah sudah ada, tapi entah apa sebab rumah dijual. Apakah untuk memenuhi kebutuhan atau memuaskan keinginan? Tidak ada yang tahu. Akibatnya fatal.
Rumah.
Tempat dimana kita merasa aman, nyaman, dan melepaskan penat setelah melakukan berbagai aktivitas seharian.
Apabila itu bukan rumah kita (entah itu rumah orang tua, kontrak, sewa, atau bahkan indekos), apakah akan ada rasa aman dan nyaman? Mungkin iya bagi sebagian besar orang, tapi sampai kapan perasaan itu akan ada dalam diri?
Saya salut dengan dua mantan murid saya. Saya mengajar dua bersaudari ini bertahun-tahun yang lalu, sewaktu mereka masih berstatus peserta didik Sekolah Dasar.
Sang kakak, G, mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR), meskipun pekerjaan dia bisa dikatakan "tidak kokoh" kalau melihat prospek di masa depan. Si adik, N, juga melakukan hal yang sama, mengambil KPR.
"Mereka ingin punya rumah sendiri, Pak. Tidak mau ngontrak terus kayak saya ini. Capek-capek usaha bimbel, tapi rumah bimbel masih punya si pemilik rumah. Prediksi, tahun depan sudah mau diambil yang punya. Mau direhab, katanya," kata A, ibu dari G dan N.
Entah kenapa, saya merasakan A menyesali langkah yang keliru yang sudah dia ambil selama ini. Berusaha, mempunyai bimbel, tapi tidak berjuang untuk memperoleh rumah sendiri. Sewaktu sudah mendekati akhir masa kontrak, dia curcol. Apakah masih ada artinya?
Saya juga menyesal. Terlambat menyadari. Tapi saya tidak mau terpuruk dalam penyesalan. Berusaha, itulah yang saya lakukan. Semoga Tuhan menjawab doa saya dan melapangkan jalan yang saya lalui.
3. Jangan hanya terfokus pada satu sumber pendapatan
Saya terkesan dengan Kaluna dalam film "Home Sweet Loan" yang mengalkulasi setiap saat mengenai potensi mengajukan KPR dengan 'mengutak-atik' aplikasi keuangan di komputernya.
Melihat saldo tabungan Kaluna dan mendengar sekian lama pengabdiannya, sungguh sukar menabung sedemikian banyak uang, apalagi dengan kewajiban (yang sebenarnya tidak seharusnya dia yang menanggung) mengelola keuangan rumah tangga, dalam hal ini keuangan rumah tangga keluarga besar.
Mungkin ini yang menjadi keheranan saya, tapi untungnya, film ini tidak lugas memberitahu berapa tahun Kaluna mengabdi di perusahaan tempat dia bekerja. Jadi sah-sah saja jika Kaluna mampu "menyisihkan" gajinya yang tak seberapa hingga mencapai ratusan juta rupiah.
Selama bertahun-tahun, dia mengetatkan pengeluaran yang tidak perlu.Â
Sayangnya, meskipun KPR-nya sudah di-ACC karena uang muka (down payment) sangat memenuhi syarat dan gaji juga sesuai aturan, namun impian membeli rumah runtuh seketika karena Kaluna harus menggunakan tabungannya yang sudah setengah mati diperjuangkan demi memenuhi emergency fund, dana darurat, supaya orang tua, ayah dan ibu, masih memiliki rumah.
Dari potongan, cuplikan film ini di bagian dana darurat, sewaktu Kaluna menambahkan kolom "emergency fund", muncul pergulatan batin di benak saya.
Saya menarik suatu kesimpulan yang menyakitkan, yang sebenarnya sudah saya ketahui sejak lama, namun saya tidak pernah melakukannya dengan maksimal.
Kesimpulan tersebut adalah jangan hanya terfokus pada satu sumber pendapatan.
Ini kesalahan fatal, gaji tetap tiap bulan, yang melenakan kebanyakan insan, bahwa mereka aman dengan keuangan mereka, padahal sebenarnya mereka meniti sebuah benang. Sewaktu-waktu benang itu akan putus, dan mereka hanya bisa gigit jari menyesali diri.
Yah, tapi mungkin ada di antara Anda yang menyanggah pendapat saya ini.
"Saya juga bekerja dari pagi sampai malam. Bagaimana saya bisa mempunyai lebih dari satu sumber pendapatan?"Â
Kaluna juga seperti itu dalam film "Home Sweet Loan". Tidak ada tenaga lagi. Dari sebelum matahari terbit sampai mendekati tengah malam, dia mendedikasikan hidupnya demi pekerjaan dan keluarga.
Impian membeli rumah hanya berlandaskan pada "benang tipis" yaitu gaji bulanan yang dia tabung sedemikian rupa, mengesampingkan kebutuhan akan relaksasi atau bepergian.
Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja terjadi musibah, entah itu kecelakaan lalu lintas, terkena penyakit mematikan seperti kanker, atau melakukan kesalahan bodoh dengan memercayai pinjol.Â
Saya ingat dengan suatu perkataan bijak, entah dari siapa saya tidak ingat, yang berkata, "Jangan taruh semua telur di satu keranjang."
Interpretasi atas perkataan bijak tersebut adalah berkaitan dengan keuangan. Kaluna sudah membuktikannya dengan hanya mengandalkan gaji bulanan di satu perusahaan yang pada akhirnya mengecewakan. Penghargaan tidak ada bagi yang lembur, jenjang karier ya segitu-segitu saja, dan sejumlah kekecewaan lainnya.
Dan yang paling fatal, saat bencana datang, tumpukan harapan dan impian buyar semuanya.
Sudah seharusnya memikirkan dan membuka berbagai usaha yang sekiranya menghasilkan uang. Tidak mesti harus terlibat langsung, tapi bisa berpartner, berkolaborasi dengan teman dalam menjalankan usaha. Misalnya bisnis rumah makan. Anda bisa menanamkan modal usaha awal pada teman Anda (tentu saja harus ada hitam di atas putih untuk itu) kalau kendala waktu yang Anda hadapi, dan teman Anda yang menjadi pelaksana bisnis rumah makan tersebut.
Sebenarnya, jalan cerita yang mendekati akhir tidak terlalu mengagetkan saya. Kaluna mengajukan resign dari perusahaan dan setelah itu; entah berapa hari, minggu, bulan, atau tahun; Kaluna terlihat sukses dalam bisnis kuliner dan berniat membeli atau mengajukan KPR (entah yang mana yang benar).
Tapi memang berbisnis melipatgandakan berbagai kemungkinan. Kemungkinan pendapatan rendah, tapi bisa juga pendapatan berlimpah, berlipat kali ganda. Berbeda dengan profesi pegawai atau karyawan, yang, kalaupun ada peningkatan gaji, bisa terjadi setahun sekali, dua tahun sekali, atau entah berapa tahun sekali.
Secara pribadi, saya kurang setuju dengan keputusan drastis Kaluna untuk resign karena hijaunya dunia bisnis terkadang tidak memperlihatkan proses jatuh bangun merintis usaha. Takutnya, penonton langsung mengajukan berhenti bekerja dan terjun langsung berbisnis setelah selesai menonton film "Home Sweet Loan", padahal berbisnis tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berdarah-darah di awal, tanpa omzet, tanpa profit mungkin akan dijumpai. Bagi yang sudah berkeluarga, resign dan kemudian berbisnis langsung adalah ibarat bunuh diri, apalagi kalau tidak tahu prospek bisnis tersebut cerah atau tidak.
Sebagai contoh, meskipun tidak sepenuhnya mirip dengan Kaluna, saya mempunyai seorang kenalan, perempuan bernama L, yang dulu bekerja di sebuah bank swasta terkemuka. Bekerja di Bank B cabang Samarinda, berpuluh tahun, sampai pensiun, kalau tidak salah, L pensiun di tahun 2021.Â
Sebelum pensiun, di tahun 2020, sebelum covid-19 melanda, dia dan beberapa karyawan bank B yang juga akan pensiun tahun 2021, satu tahun kemudian, mendapat perlakuan dari Bank B yang menghargai kerja keras mereka dengan sekitar satu minggu acara "pembekalan" sekaligus refreshing di salah satu kota di Pulau Jawa.Â
"Pembekalan" seperti apa yang dimaksud?
L menceritakan "pembekalan" yang dia dan kolega-koleganya dapatkan adalah pengetahuan dan keterampilan akan wirausaha selepas tidak bekerja di bank tempat mereka menghabiskan hampir setengah hidup mereka untuk kemajuan bank.
Tidak ada yang menghendaki perpisahan, tapi memang roda kehidupan tetap harus bergulir. Perpisahan tetap akan ada. Ada yang datang dan ada yang pergi. Tidak ada yang abadi di duniaÂ
ini.
Suami L, S, seperti tersadarkan. Memang sebagai seorang pengacara, dia memperoleh pemasukan yang terbilang lumayan, tapi tetap saja, tidak bisa disandingkan dengan pendapatan L yang memang sangat mapan.
Saya heran dengan kebiasaan S yang aneh. Sewaktu covid-19 melanda, L memercayakan saya untuk mengajar putra mereka satu-satunya, M, karena perubahan proses belajar mengajar dari luring menjadi daring. L takut M mengalami penurunan minat belajar. Apalagi dia seorang diri di rumah. Tidak ada anggota keluarga yang membimbing M untuk belajar.
Sementara saya mengajari M, saya melihat kebiasaan S yang bangun secara rutin pada pukul 10 pagi, mandi, berpakaian, pergi dua atau tiga jam, dan kembali lagi pada pukul satu atau dua siang, dan setelah itu tidak keluar rumah lagi sampai sore. Sore S keluar karena harus menjemput sang istri, L, dari bank tempat L bekerja.
Saya bingung. Bagaimana S bisa dengan santainya menjalani hidup, sedangkan L bekerja dari pagi sampai sore, bahkan terkadang sampai malam di awal atau akhir bulan, demi memenuhi kebutuhan keluarga.
"Saya dulu sering mengisi dompet abang karena saat itu, dia belum mendapatkan penghasilan yang teratur," kata L pada adik perempuannya, E.
Bagi saya pribadi, S adalah seorang suami yang keterlaluan. Sementara dia santai di rumah, istrinya bekerja dengan sekuat tenaga demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Hidup berubah setelah L pensiun. Meskipun masih mendapat gaji bulanan untuk satu tahun ke depan sampai 2022 (mungkin sebagai bentuk penghargaan akan pengabdian selama bertahun-tahun), L terlihat galau.Â
Entah apa yang memberati pikirannya. S pun sudah tidak bangun siang lagi. Jam tujuh pagi dia sudah pergi dari rumah. Mungkin dia malu kalau ketahuan malas sampai tidur bablas mendekati tengah hari.
Pada suatu ketika, S mengajukan "proposal" pada sang istri untuk membuka bengkel ganti oli mobil seperti yang temannya punyai. "Rame. Banyak orang yang ganti oli mobil di bengkelnya," kata S, seperti yang dituturkan L pada saya.
Sebagai orang luar, saya tidak berkomentar banyak. Saya hanya mengatakan bahwa harus berhati-hati sebelum memutuskan berbisnis, apalagi bisnis yang harus mengeluarkan modal besar, seperti membangun gedung, membuat bengkel, dan selanjutnya membeli peralatan yang diperlukan.
"Lokasi, lokasi, dan lokasi. Diulang sampai tiga kali, berarti ini sangat penting dalam bisnis luar jaringan. Hijau di temannya, tidak bisa menjadi standar yang sama untuk semua orang," kata saya pada L, "apalagi lokasi bengkelnya nanti bukan di jalan yang ramai dilalui kendaraan dan bengkelnya juga jauh dari perumahan penduduk."
Entah L menyampaikan kepada S atau tidak, tapi S membangun bengkel tersebut. Entah berapa uang yang dikeluarkan L. Yang jelas, keluhan L akan pendapatan bengkel yang tidak sesuai dengan pengeluaran modal untuk membangunnya, dan ujung-ujungnya, S malah membuat bengkel tersebut menjadi kantor pengacaranya, karena bengkel, bukannya untung, tapi malah buntung! Belum kembali modal sama sekali. L jengkel tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Makanya, langsung berbisnis memang berisiko apalagi setelah resign yang memang disengaja oleh pekerja. Kalau saya dalam posisi Kaluna, saya akan berkolaborasi dengan beberapa teman untuk membangun usaha, sembari tetap bekerja di perusahaan, jadi ada dua sumber pendapatan dalam hidup.
Sebenarnya saya tidak ingin memperpanjang poin tiga ini, karena tulisan ini sudah terlalu panjang, tapi saya tidak bisa mengekang diri untuk menceritakan waktu saya masih kuliah dulu.
Waktu itu, saya ingin mandiri, sehingga saya memutuskan untuk indekos. Orang tua, khususnya ibu, sangat menentang keputusan saya. Beliau ingin saya menjaga saudara perempuan saya, kakak perempuan saya, E.
Namun saya sudah bosan diperlakukan sebagai orang yang "numpang". Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa menghidupi diri saya tanpa bantuan dari keluarga.
Meskipun susah pada awalnya, saya berhasil membuktikan pada keluarga besar saya, bahwa segala kebutuhan hidup saya, mulai dari bayar indekos, untuk makan-minum-kebutuhan sehari-hari, bahkan sampai membayar uang kuliah bisa saya penuhi.
Bagaimana saya memenuhi semua itu? Tentu saja saya tidak bisa memenuhi semua itu dengan mengandalkan gaji saya sebagai seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar negeri di Samarinda. Saya punya "keranjang" yang lain. Saya mengajar juga di sebuah kursus bahasa Inggris. Kebetulan saya diterima sebagai instruktur bahasa Inggris di kursus tersebut. Yah, sangat membantu sekali. Apalagi ada juga beberapa les privat setelah itu. Jadi sangat padat jadwal saya.Â
Pagi sampai jam dua siang, saya mengajar di sekolah. Jam 14.30 WITA sampai jam 18.00 WITA, saya kuliah. Pulang sebentar, mandi, makan, dan mengajar di kursus atau les privat dari jam 19.00 WITA sampai jam 21.00 WITA. Esok hari, siklus yang sama berulang.
Bendahara sekolah, P, terkadang mengeluh karena saya tidak mencarinya saat gajian tiba. Berbeda dengan pegawai honorer lainnya, saya malah harus dicarinya.
"Susah betul nyari kamu, Ton. Emangnya kamu gak perlu duit lagi?" keluh P.
"Bukan begitu, Bu. Saya membiarkan yang lain ambil duluan. Saya gak enak kalau menyela. Lagian saya juga ada pemasukan dari les dan kursus. Jadi ada back-up. Bukan bermaksud sombong ya, Bu," kata saya.Â
Dari pengalaman tersebut semakin menguatkan saya kalau seandainya ada banyak "keranjang", maka semakin banyak "telur" yang dihasilkan. Semakin banyak sumber pendapatan, semakin cepat kita bisa mewujudkan impian.
Harapan
Semoga BCA tidak berhenti pada film ini, tapi juga mensponsori pembuatan film-film berikutnya tentang literasi keuangan di kemudian hari. Bank-bank lainnya hendaknya juga memproduksi film-film dengan topik literasi keuangan, karena film adalah salah satu media yang efektif dalam mengedukasi warga akan pentingnya literasi keuangan demi kesejahteraan keluarga pada khususnya dan demi tercapainya Indonesia Emas 2045 pada umumnya.
Akhir kata, saya menantikan film-film berkualitas dari para sineas film yang menyangkut literasi keuangan supaya rakyat menjadi lebih melek literasi keuangan, sehingga kasus penipuan, judi online, sampai pinjaman online tidak marak terjadi di kemudian hari.
Semoga Indonesia bisa terus maju menggalakkan literasi keuangan, bukan saja dari film, tapi juga dari media-media lain, demi tercapainya Indonesia Emas 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H