Namun, setelah itu; entah karena masalah kesehatan, keuangan, atau keluarga; kondisi T tidak menjadi membaik. Istri dan anak-anaknya juga meninggalkannya dan pindah ke kota lain, Balikpapan, dan T sebatang kara di Samarinda, menempati kamar indekos yang sempit dan hidup dari belas kasihan beberapa kenalan yang prihatin akan nasibnya yang malang.
Saya tidak tahu persis masalah apa yang menjadi pemicu keretakan rumah tangga T dan istrinya, R, namun sejak perpisahan dengan istri dan anak-anak, kondisi kesehatan T semakin menurun drastis. Bolak-balik ke rumah sakit, itulah yang terjadi pada T. Anak bungsu T, Y, seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Samarinda, terkadang menemani sang ayah di rumah sakit.Â
Di akhir hidupnya, T meninggal di rumah sakit. Istri dan anak-anaknya masih di Balikpapan saat itu.Â
T meninggal dalam kesendirian. Tanpa rumah, tanpa penghasilan, dan tanpa keluarga yang mengasihinya.
Ironis?
Ini adalah sebuah potret tragis yang mungkin dialami juga oleh beberapa insan lain yang tak terdata dalam statistik resmi.
Di saat kuat, sibuk bekerja. Rumah sudah ada, tapi entah apa sebab rumah dijual. Apakah untuk memenuhi kebutuhan atau memuaskan keinginan? Tidak ada yang tahu. Akibatnya fatal.
Rumah.
Tempat dimana kita merasa aman, nyaman, dan melepaskan penat setelah melakukan berbagai aktivitas seharian.
Apabila itu bukan rumah kita (entah itu rumah orang tua, kontrak, sewa, atau bahkan indekos), apakah akan ada rasa aman dan nyaman? Mungkin iya bagi sebagian besar orang, tapi sampai kapan perasaan itu akan ada dalam diri?
Saya salut dengan dua mantan murid saya. Saya mengajar dua bersaudari ini bertahun-tahun yang lalu, sewaktu mereka masih berstatus peserta didik Sekolah Dasar.