Kehidupan semakin sukar saat ini. Ekonomi semakin tidak menentu. Banyak warga yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan bingung mau berbuat apa untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Ada juga warga yang menghadapi bahaya maut. Kesehatan terganggu. Kanker menggerogoti tubuh. Apa yang harus dilakukan? Hidup seakan berakhir saat mendengar vonis dokter.
Setiap insan mempunyai masalahnya sendiri-sendiri. Pertanyaan besar muncul dalam diri: Kepada siapa kita bisa mengadu? Kepada siapa kita bisa mengungkapkan permasalahan kita?
Lewat doa kepada Tuhan bisa menjadi solusi. Dia akan mendengar dan menjawab setiap doa orang-orang yang percaya kepada-Nya.
Namun demikian, sebagai makhluk sosial, kita juga membutuhkan orang lain. Kehadiran insan lain secara fisik sangat manusia butuhkan. Manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Didengar. Siapa yang tidak menginginkannya?
Sayangnya, sangat sulit menemukan orang yang bersedia menjadi pendengar segala keluh kesah. Jangankan orang luar, anggota keluarga sendiri belum tentu bisa menjadi pendengar yang baik.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Saya teringat kepada sebuah film yang menurut saya sangat menginspirasi dan menunjukkan kekuatan dari literasi pada pendidikan secara khusus dan mental secara umum.
Film "Freedom Writers" dibuat berdasarkan kisah nyata, true story yang menggambarkan seorang guru perempuan yang menjadi guru kelas yang berisi peserta didik yang "bermasalah".
Peserta didik dengan latar belakang keluarga yang "broken home", KDRT dalam keluarga, alkoholik, anggota gang, dan lain sebagainya.
Guru tersebut mendapatkan diri tidak mudah menghadapi para peserta didik dengan berbagai masalah yang sangat kompleks.Â
Sampai sang guru itu menemukan ide meminta para peserta didik menuliskan apa saja, bebas, di buku tulis yang dia berikan pada mereka.
Dia tidak berharap banyak kalau para peserta didik akan menulis di dalam buku-buku tulis tersebut.Â
Ternyata, melebihi ekspektasi, para peserta didik menulis latar belakang, permasalahan, keluhan, keresahan mereka di dalam hidup mereka.
Guru tersebut jadi mengetahui persoalan para muridnya.
Lambat laun buku-buku tersebut menjadi penuh terisi tulisan dan guru itu berinisiatif membukukan tulisan-tulisan para peserta didik dalam sebuah buku.
Penasaran? Tontonlah film "Freedom Writers" untuk mengetahui jalan cerita selengkapnya.Â
Saya mengambil poin yang sangat vital dalam film ini berkaitan dengan "berbicara", berbagi duka dengan orang lain. Bukan lewat lisan, tetapi melalui tulisan.Â
Perkataan secara lisan tidak akan cukup menjabarkan kepedihan hati. Curahan perasaan lewat mulut tidak akan cukup dalam sekali hitungan waktu. Belum lagi, belum tentu ada yang bersedia mendengarkan permasalahan kita.Â
"Aku aja udah pusing mikirin masalahku, eeeh, kamu malah nambahin..."
Atau...
"Udah. Pasti kamu bisa pecahkan. Kecil itu. Tidak sebesar masalahku yang ...."
Bukannya mendengarkan, malah menganggap keluhan orang lain sebagai beban atau malah menganggap remeh dan kecil masalah sang teman.Â
Ketika tak ada seorang pun yang mau mendengarkan, maka menulislah. Kebebasan untuk mengutarakan tanpa ada potongan atau selaan orang lain. Utarakan apa adanya, sebebasnya.
Kalau untuk konsumsi pribadi dalam artian tidak dipublikasikan, tuliskan seliar yang Anda mau. Karena toh untaian atau sumpah serapah dalam bentuk rentetan kata-kata hanya akan berlabuh secara pribadi di harddisk laptop, komputasi awan pribadi, atau buku jurnal harian.Â
Tapi kalau pun mau disebarkan di media daring, memang harus hati-hati. Perlu bijak dalam menggunakan kata-kata.Â
Tapi proses penuangan isi kepala plus isi hati sudah membuat lega, meskipun masalah masih tetap ada. Namun akan ada secercah cara tebersit setelah menuliskan. Itu pengalaman saya pribadi setelah menuangkan dalam bentuk tulisan.Â
Salah satu keresahan saya saat ini adalah mengenai keuangan. Saya tidak tahu harus membagikan keresahan ini pada siapa. Punya saudara, tapi mereka bukan pendengar yang baik.Â
Ada beberapa kenalan yang saya kira bijak, tapi saya masih ragu untuk mengungkapkan kegelisahan saya. Saya takut kecewa lagi.Â
Menuliskan segala unek-unek. Hanya itu yang bisa saya lakukan. Dalam kesunyian, setiap kata terjalin menjadi kalimat, lalu kalimat terkumpul menjadi paragraf, kemudian paragraf bergerombol menjadi tulisan pelampiasan segala perasaan.Â
Tulisan saya yang berjudul "Bermenung dalam Perjalanan" adalah kontemplasi yang mengejawantah menjadi kumpulan huruf yang bermakna.
Baca juga: Bermenung dalam Perjalanan
Luapan perasaan, emosi setelah melihat seseorang yang merupakan ketakutan terbesar saya kelak yang mendorong saya begitu rupa untuk segera menuliskannya.Â
Mencari orang yang tepat sebagai pendengar yang mau mendengarkan resah gelisah saya sungguh tidak mudah dan kemungkinan tidak akan ketemu, karena lingkungan pergaulan yang setipe dengan kondisi saya. Mereka juga punya masalah yang mungkin malah lebih besar daripada masalah saya.
Inilah jalan yang saya tempuh: menulis. Menuliskan segala masalah, problem yang menghadang di hadapan. Karena tidak ada atau belum ada yang mau mendengarkan, bahkan memberikan solusi atas masalah yang saya hadapi. Kalau pun ada, kebanyakan solusi baik menurut versi mereka, bukan menurut saya.Â
Ketika tak ada seorang pun yang mau mendengarkan, maka menulis adalah langkah terbaik yang bisa kita lakukan untuk menjaga kewarasan dan mengelakkan keputusasaan.
Tulislah di media yang Anda suka. Buku, laptop, atau smartphone. Bebas. Terserah Anda. Tidak ada yang membatasi.
Saya sendiri dulu menulis di buku. Sampai sekarang pun tetap menulis di buku.Â
Namun, menulis di smartphone adalah keleluasaan yang bebas dan tak terikat pada kondisi menulis dalam keadaan berada di belakang meja dan duduk di kursi.Â
Seperti kebiasaan dalam beberapa hari terakhir, saya suka menulis di smartphone ketika sedang berbaring di kasur saat malam sambil menanti kantuk tiba.Â
Tulisan ini lahir kebanyakan dalam kondisi siap terbang ke dunia mimpi. Karena terkadang keresahan selalu mengganggu tidur. Menuangkan keresahan dalam tulisan melegakan dan membuat tidur saya pulas tanpa gangguan.Â
Setelah tulisan tuntas, meskipun masalah masih ada, namun ada secercah sinar di situ. Harapan selalu ada walaupun dalam kondisi terjepit.Â
Karena dengan menulis, saya memetakan masalah dalam alur yang sistematis, sehingga saya bisa melihat bahwa dengan membagi masalah ke dalam potongan-potongan yang kecil, saya tinggal melangkah membereskan satu per satu potongan, dan pada akhirnya, masalah tersebut terpecahkan.Â
Mungkin setelah Anda membaca sampai sejauh ini, Anda masih tetap tidak percaya akan keampuhan menulis sebagai sarana pemecahan masalah.Â
Yah, tidak mengapa. Satu cara memang tidak mungkin cocok untuk semua permasalahan di muka bumi ini. Namun menulis ini bekerja dalam hidup saya. Ketika tidak ada yang bersedia mendengarkan saya; buku, laptop, dan smartphone mau menjadi "teman" yang setia "mendengarkan" di segala waktu dan tempat. Dan itu semua bisa dikatakan gratis, tanpa biaya. Berbeda jika Anda berkonsultasi kepada seorang psikolog, Anda harus mengeluarkan sejumlah uang untuk jasa konsultasi.Â
Apakah salah berkonsultasi kepada seorang psikolog? Itu hak setiap orang. Sah-sah saja. Demi kesehatan mental, tidak apa mengeluarkan sejumlah uang untuk berobat.
Tapi apa salahnya menggunakan metode menulis sebagai terapi? Karena hidup harus memilih. Ketika tidak ada yang mau mendengar, menulis bisa menjadi sahabat yang selalu setia "mendengarkan", bahkan bisa memberikan solusi, justru dari pikiran sendiri saat menuliskannya. Saya mengalami berulang kali dalam proses pengalaman menulis ini.Â
Jadi, ketika tidak ada yang mau mendengar, maka...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H