Luapan perasaan, emosi setelah melihat seseorang yang merupakan ketakutan terbesar saya kelak yang mendorong saya begitu rupa untuk segera menuliskannya.Â
Mencari orang yang tepat sebagai pendengar yang mau mendengarkan resah gelisah saya sungguh tidak mudah dan kemungkinan tidak akan ketemu, karena lingkungan pergaulan yang setipe dengan kondisi saya. Mereka juga punya masalah yang mungkin malah lebih besar daripada masalah saya.
Inilah jalan yang saya tempuh: menulis. Menuliskan segala masalah, problem yang menghadang di hadapan. Karena tidak ada atau belum ada yang mau mendengarkan, bahkan memberikan solusi atas masalah yang saya hadapi. Kalau pun ada, kebanyakan solusi baik menurut versi mereka, bukan menurut saya.Â
Ketika tak ada seorang pun yang mau mendengarkan, maka menulis adalah langkah terbaik yang bisa kita lakukan untuk menjaga kewarasan dan mengelakkan keputusasaan.
Tulislah di media yang Anda suka. Buku, laptop, atau smartphone. Bebas. Terserah Anda. Tidak ada yang membatasi.
Saya sendiri dulu menulis di buku. Sampai sekarang pun tetap menulis di buku.Â
Namun, menulis di smartphone adalah keleluasaan yang bebas dan tak terikat pada kondisi menulis dalam keadaan berada di belakang meja dan duduk di kursi.Â
Seperti kebiasaan dalam beberapa hari terakhir, saya suka menulis di smartphone ketika sedang berbaring di kasur saat malam sambil menanti kantuk tiba.Â
Tulisan ini lahir kebanyakan dalam kondisi siap terbang ke dunia mimpi. Karena terkadang keresahan selalu mengganggu tidur. Menuangkan keresahan dalam tulisan melegakan dan membuat tidur saya pulas tanpa gangguan.Â
Setelah tulisan tuntas, meskipun masalah masih ada, namun ada secercah sinar di situ. Harapan selalu ada walaupun dalam kondisi terjepit.Â
Karena dengan menulis, saya memetakan masalah dalam alur yang sistematis, sehingga saya bisa melihat bahwa dengan membagi masalah ke dalam potongan-potongan yang kecil, saya tinggal melangkah membereskan satu per satu potongan, dan pada akhirnya, masalah tersebut terpecahkan.Â