Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Sentilan Literasi dalam "The Equalizer"

30 Agustus 2024   16:42 Diperbarui: 30 Agustus 2024   16:51 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar urutan Indonesia yang ke-66 dari 81 negara menurut hasil Program for International Student Assessment (PISA) di tahun 2022, tentu saja membuat hati prihatin. Matematika, Membaca, dan Sains tidak disukai oleh kebanyakan warga +62.

Beruntung, saya berlatar belakang keluarga yang gemar membaca, meskipun orangtua tidak pernah menempuh pendidikan tinggi. Ayah dan Ibu hanya lulusan SMP, namun mereka punya minat baca yang sangat besar. 

Majalah, surat kabar, dan buku. Semua peninggalan mereka dalam bentuk bacaan sampai sekarang masih ada di rumah kenangan di Balikpapan, meskipun mereka sudah tiada. Kakak laki-laki saya, A, tetap merawat dan menjaga buku dan majalah tersebut, meskipun usia bacaan sudah tidak muda lagi. Terkadang saya rindu untuk membaca kembali buku-buku dan majalah-majalah tersebut di sana. Mungkin kelak saya akan membawa semua buku dan majalah tadi ke rumah saya di Samarinda.

Film "The Equalizer" adalah salah satu film yang berkesan di hati saya. Sebenarnya sudah cukup lama saya ingin menonton film ini, namun selalu tidak pernah kesampaian. Baru di tahun 2022, saya mempunyai kesempatan untuk menontonnya.

Denzel Washington adalah salah satu pemain film favorit saya. Bagi saya, dia aktor yang berkarakter kuat dalam setiap film yang dia bintangi.

Salah satu film beliau yang sudah lama ingin saya tonton, "The Equalizer", bukan hanya sekadar film yang membahas tentang mantan agen pemerintah yang ternyata masih "bertaji" di usia senja, namun ada hal 'unik' di dalam film ini, khususnya yang berhubungan dengan literasi.

Justru hal yang "berbeda" tersebut yang menjadi daya tarik di mata saya.

Disebutkan Robert McCall (Denzel Washington) mempunyai komitmen membaca seratus buku semenjak istrinya meninggal. Dia mengikuti hobi istrinya dalam menetapkan target.

Dia mempunyai kebiasaan membaca sebelum tidur, dan sampai lewat tengah malam, McCall tetap tidak bisa tidur. 

Dia pada akhirnya membawa buku yang masih belum selesai dibacanya, sambil membekali diri dengan sekantung teh celup, dan lalu pergi ke coffee shop terdekat yang buka 24 jam.

Dia memilih tempat duduk yang biasa dia tempati di pojokan, mengatur sendok dan garpu dengan rapi. Sang pemilik seperti sudah biasa dengan kebiasaan McCall. Dia datang dengan seteko air panas dan menuangkan air panas ke mug McCall. Tentu saja, McCall secara langsung memasukkan kantung teh celup yang sudah dia bawa dari rumah tadi ke mug. 

Setelah itu, McCall membaca buku sambil menikmati secangkir teh hangat di malam itu. Tidak disebutkan sampai jam berapa dia melewati proses membaca di coffee shop tersebut.

Hobi tak lazim dari mantan agen yang biasanya tidak berhubungan dengan literasi. Pada umumnya, film-film yang menceritakan tentang mantan agen semisal Jason Bourne, tidak memperlihatkan hobi yang bernuansa 'keheningan'. Bourne sebagai contoh, menyukai jogging, dan beberapa film yang lain menunjukkan mantan-mantan agen yang rutin melakukan push up, sit up, dan kegiatan fisik yang menjaga kekuatan otot tubuh mereka setelah purnatugas.

Nilai moral dalam "The Equalizer"

Saya tidak perlu menceritakan tentang review film ini, karena selain sudah lawas, saya rasa sudah banyak orang yang menuliskan tentang isi film ini.

Saya tertarik dengan nilai-nilai moral yang ada dalam film "The Equalizer", nilai-nilai yang menginspirasi, bahkan mengubahkan hidup orang lain, meskipun ini fiksi.

Saya menarik 3 (tiga) nilai moral dalam "The Equalizer" yang berkaitan dengan membaca.

1. Budayakan gemar membaca

Ini yang menjadi persoalan. Membaca belum menjadi budaya di negeri +62 dari doeloe sampai now. 

Sebenarnya kalau bicara masalah harga buku mahal sehingga tidak terjangkau oleh isi dompet warga, bisa dikatakan ada benarnya, tapi kalau itu menjadi alasan tidak suka membaca, alangkah menyedihkannya.

Saya mengatakan demikian karena sekarang, dengan adanya teknologi informasi yang sudah mulai merata di antero Indonesia, serta kecepatan akses internet yang sudah semakin baik, membaca seharusnya tidak menjadi kendala lagi. Tidak terbatas membaca buku, majalah, surat kabar, atau produk-produk bacaan berbentuk fisik. 

Lewat digital, membaca bisa dilakukan dengan mudah. Kapan saja dan dimana saja. Dengan bantuan gawai di genggaman tangan, membaca menjadi mudah dan murah, bahkan bisa gratis.

Secara pribadi, saya sangat terbantu dengan keberadaan gawai, khususnya smartphone. Dengan smartphone, saya bisa membaca berita di media online, khususnya media massa yang sudah merambah ke digital, seperti Kompas dan Tempo. Ini memudahkan saya dalam mengakses koran Kompas dan majalah Tempo yang sebelumnya (menurut saya), harga versi cetaknya lumayan menguras isi dompet. Dengan harga versi digital, lumayan bersahabat di kantung saya.

Dan bukan hanya itu. Dengan adanya aplikasi Perpustakaan Nasional (iPusnas) atau aplikasi perpustakaan sejenis, setiap warga negara Indonesia dapat meminjam buku digital tanpa dipungut biaya alias gratis dan membacanya dengan mudah di gawai. Saya sangat senang dengan gebrakan inovatif dari pemerintah berkaitan dengan memudahkan setiap warga untuk mendapatkan akses informasi demi memperoleh pengetahuan. 

Dengan demikian, gawai seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kompetensi diri, bukan sekadar menjadi sumber hiburan semata.

Budaya gemar membaca seharusnya bisa dipupuk dari gawai yang kita punya saat ini.

2. Baca buku-buku yang disukai terlebih dahulu

Mulailah dari yang kita sukai.

Saya selalu menjadikan kalimat sebelumnya sebagai koentji untuk memulai pelajaran di SD waktu saya masih aktif sebagai guru bahasa Inggris.

Dengan mulai dari yang peserta didik sukai, seperti lewat lagu atau permainan, pelajaran akan mudah diserap oleh siswa-siswi.

Begitu juga dengan membaca. Ada beragam jenis buku dan kalau mau menjadikan membaca sebagai hobi, mulailah dari membaca buku-buku yang disukai, entah itu fiksi atau nonfiksi.

Saya beruntung lahir dan besar di keluarga yang menyukai kegiatan membaca, baik itu membaca buku, maupun media-media cetak lainnya, seperti koran (Ayah saya dulu pernah berlangganan tiga sampai empat surat kabar, seperti Kompas, Jawa Pos, Kaltim Post, dan lain sebagainya), tabloid, dan majalah.

Padahal Ayah dan Ibu cuma lulusan SMP. Untungnya, mereka sangat mendukung akan kegiatan membaca. Kalau singgah ke toko buku, Ayah dan Ibu tidak mempersoalkan buku apa yang kami ingin beli. Novel dan komik pun tidak menjadi masalah bagi mereka berdua.

Tak heran, ada banyak rak buku di rumah kami. Tentu saja, rak-rak tersebut berisi berbagai jenis buku, mulai dari novel, komik, majalah, sampai buku-buku dari berbagai disiplin ilmu (kesehatan, bahasa, agama, dan lain-lain). Sampai saat ini, rak-rak dengan beragam buku tersebut masih tersaji dengan apik di rumah kenangan di Balikpapan.

Tidak ada paksaan dalam membaca. Orangtua tidak memaksakan anak-anak untuk membaca, karena Ayah dan Ibu memberikan contoh langsung, melakukan kebiasaan membaca dalam keseharian. Mereka suka membaca. Ayah khususnya suka membaca surat kabar dan majalah. Ibu juga begitu. Maka otomatis anak-anak pun jadi suka membaca. 

Setelah membaca buku-buku yang disukai, keingintahuan akan buku dari genre lain pun akan menyeruak dalam benak. 

3. "Menceritakan" kembali inti sari buku yang telah dibaca

Ini yang mungkin jarang dilakukan oleh kita. Kita cuma sebatas hanya membaca, tapi tidak menceritakan kembali apa yang sudah dibaca dari buku, majalah, koran, atau media tulis lainnya.

Percakapan sederhana antara McCall dengan seorang gadis di malam hari saat dalam perjalanan pulang mengingatkan saya akan pentingnya menceritakan kembali isi buku, entah itu resensi atau sekadar sekilas saja. 

Mengapa penting menceritakan kembali isi buku yang sudah dibaca? Selain untuk lebih meninggalkan "bekas" dalam memori ingatan, menceritakan kembali inti sari buku yang telah dibaca akan membuat budaya baca lebih menyebar ke khalayak ramai. Ibaratnya mempromosikan buku sebagai "makanan otak" yang paling bergizi dibandingkan dengan berita-berita di media sosial yang belum tentu benar informasinya.

Menceritakan secara lisan. Begitulah McCall memilih jalan untuk menyebarkan benih cinta membaca buku. Mungkin juga untuk menyesuaikan dengan alur cerita di film, maka cara lisan menyuarakan budaya baca yang dipilih. 

Alangkah baiknya jika juga menceritakan inti sari buku secara tertulis. Lewat tulisan, selain bisa menjangkau lebih banyak warganet, juga bisa lebih abadi. Tidak terbatas oleh waktu. Apalagi kalau menulisnya di Kompasiana atau blog-blog gratisan lainnya, bisa dibilang tetap akan ada dalam waktu yang cukup lama, selama blog-blog tersebut masih beredar di dunia maya.

Intinya, kalau bukan penggila buku yang mempromosikan budaya baca lewat penceritaan buku yang sudah dibaca, siapa lagi yang mempunyai motivasi untuk itu?

Baca dan ceritakan kembali

Pada akhirnya, baca. Satu kata untuk mengubah nasib kehidupan ke arah yang lebih baik. Dengan membaca, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dari membaca, semakin mengerti bahwa diri tidak sepintar yang dikira. Dengan membaca, pola pikir bisa lebih tertata dan terorganisasi dengan rapi. 

Lalu, jangan hanya puas dengan membaca untuk diri sendiri. Sebarkan "virus" membaca ke berbagai khalayak ramai, baik itu secara lisan maupun tulisan. Dengan begitu, generasi emas yang unggul kemungkinan bisa terwujud di 2045.

Sayangnya, tidak banyak film yang sukses di pasaran yang mengedukasi pemirsa untuk mencintai proses membaca buku. Ini menurut pengamatan saya. Mungkin saya keliru karena tidak didukung oleh fakta dan data. Tapi beberapa film box office nyata memperlihatkan kecenderungan seperti itu.

Semoga saja, akan ada banyak film di kemudian hari yang membahas tentang pentingnya membaca buku di tengah derasnya arus informasi di media sosial. Itu harapan saya.

Bagaimana dengan Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun