Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Sentilan Literasi dalam "The Equalizer"

30 Agustus 2024   16:42 Diperbarui: 7 September 2024   18:41 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- The Equalizer (Columbia Pictures/IMDb via Kompas.com)

Tidak ada paksaan dalam membaca. Orangtua tidak memaksakan anak-anak untuk membaca, karena Ayah dan Ibu memberikan contoh langsung, melakukan kebiasaan membaca dalam keseharian. Mereka suka membaca. Ayah khususnya suka membaca surat kabar dan majalah. Ibu juga begitu. Maka otomatis anak-anak pun jadi suka membaca. 

Setelah membaca buku-buku yang disukai, keingintahuan akan buku dari genre lain pun akan menyeruak dalam benak. 

3. "Menceritakan" kembali inti sari buku yang telah dibaca

Ini yang mungkin jarang dilakukan oleh kita. Kita cuma sebatas hanya membaca, tapi tidak menceritakan kembali apa yang sudah dibaca dari buku, majalah, koran, atau media tulis lainnya.

Percakapan sederhana antara McCall dengan seorang gadis di malam hari saat dalam perjalanan pulang mengingatkan saya akan pentingnya menceritakan kembali isi buku, entah itu resensi atau sekadar sekilas saja. 

Mengapa penting menceritakan kembali isi buku yang sudah dibaca? Selain untuk lebih meninggalkan "bekas" dalam memori ingatan, menceritakan kembali inti sari buku yang telah dibaca akan membuat budaya baca lebih menyebar ke khalayak ramai. Ibaratnya mempromosikan buku sebagai "makanan otak" yang paling bergizi dibandingkan dengan berita-berita di media sosial yang belum tentu benar informasinya.

Menceritakan secara lisan. Begitulah McCall memilih jalan untuk menyebarkan benih cinta membaca buku. Mungkin juga untuk menyesuaikan dengan alur cerita di film, maka cara lisan menyuarakan budaya baca yang dipilih. 

Alangkah baiknya jika juga menceritakan inti sari buku secara tertulis. Lewat tulisan, selain bisa menjangkau lebih banyak warganet, juga bisa lebih abadi. Tidak terbatas oleh waktu. Apalagi kalau menulisnya di Kompasiana atau blog-blog gratisan lainnya, bisa dibilang tetap akan ada dalam waktu yang cukup lama, selama blog-blog tersebut masih beredar di dunia maya.

Intinya, kalau bukan penggila buku yang mempromosikan budaya baca lewat penceritaan buku yang sudah dibaca, siapa lagi yang mempunyai motivasi untuk itu?

Baca dan ceritakan kembali

Pada akhirnya, baca. Satu kata untuk mengubah nasib kehidupan ke arah yang lebih baik. Dengan membaca, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dari membaca, semakin mengerti bahwa diri tidak sepintar yang dikira. Dengan membaca, pola pikir bisa lebih tertata dan terorganisasi dengan rapi. 

Lalu, jangan hanya puas dengan membaca untuk diri sendiri. Sebarkan "virus" membaca ke berbagai khalayak ramai, baik itu secara lisan maupun tulisan. Dengan begitu, generasi emas yang unggul kemungkinan bisa terwujud di 2045.

Sayangnya, tidak banyak film yang sukses di pasaran yang mengedukasi pemirsa untuk mencintai proses membaca buku. Ini menurut pengamatan saya. Mungkin saya keliru karena tidak didukung oleh fakta dan data. Tapi beberapa film box office nyata memperlihatkan kecenderungan seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun