Terkadang bayangan sempurna itu hanya ada dalam angan-angan belaka. Realita menggambarkan yang sebaliknya.
Secara pribadi, saya bersyukur kalau Tuhan masih memberikan napas hidup dan kesempatan bagi saya untuk berkarya di bumi.
Berkomunikasi dengan Tuhan lewat doa mudah dilakukan dimana saja dan kapan saja. Berbicara dengan manusia? Meskipun sang insan di hadapan, tetap sukar dilakukan.
Kenapa bisa begitu? Karena ada beberapa penyebab.
Saya berasal dari keluarga besar. Tujuh bersaudara dalam satu keluarga. Dimana posisi saya? Saya adalah si bungsu, anak terakhir dalam keluarga, anak laki-laki yang mengemban misi keluarga setelah dua kakak laki-laki yang lain tidak memperlihatkan hasil seperti yang orangtua harapkan.
Tapi, di balik tumpuan itu, ada kondisi yang menyakitkan hati bahkan sampai saat ini. Rasa sakit itu berupa diri merasa tidak berharga, disepelekan oleh para saudara.
Memang mereka tidak pernah mengatakan kalau mereka "menyepelekan" atau menyebut saya anak manja, dan sebagainya.
Namun dalam perlakuan, mereka memperlakukan saya tidak sebagai orang yang "setara". Setara dalam persepsi saya adalah layak didengarkan pendapatnya.
Apakah semua saudara saya seperti itu? Saya tidak pasti. Yang jelas, lagak laku dan tutur kata mengarah ke satu titik: meremehkan.
Seperti contoh saat berbicara, mengutarakan pendapat. Saya jarang menuntaskan pengutaraan pendapat. Bukan karena ada urusan lain sehingga pembicaraan berhenti. Bukan juga karena ada panggilan telepon yang masuk.
Saya tidak bisa menyelesaikan penyampaian pendapat karena saudara-saudara saya "memotong" pembicaraan saya.