Kesan politisasi untuk meninggalkan legacy sangat kental dalam setiap periode pemerintahan. Jangan sampai mengorbankan kebutuhan warga demi kepentingan salah satu pihak yang berkuasa. Kebutuhan masyarakat dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas, adil, dan merata yang harus mengemuka.
2. Melibatkan guru dalam tata rencana dan tata kelola kurikulum
Guru adalah pelaku utama di garda terdepan dalam dunia pendidikan. Guru sangat tahu luar-dalam dan muka-belakang tentang proses belajar mengajar di sekolah.
Sayangnya, acap kali (atau malah sering kali) beberapa pihak memandang profesi guru dengan sebelah mata. Bukan sekadar meremehkan pendapatan guru, kebanyakan warga yang saya pernah tanya meragukan kompetensi guru.
Saya juga pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan saat berkuliah dulu.
Waktu itu saya, mahasiswa reguler di suatu perguruan tinggi swasta di Samarinda, berkuliah bersama-sama dengan beberapa guru SD di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
Guru-guru SD tersebut mendapat beasiswa untuk kuliah demi meraih gelar sarjana, Ada yang lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), setingkat SMA. Ada yang lulusan Diploma Satu (D1), Diploma Dua (D2), dan Diploma Tiga (D3).
"Sebenarnya kami tidak mengajar bahasa Inggris di sekolah. Kami mengajar Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan lainnya. Karena beasiswa S1 ke universitas ini yang mendorong kami kuliah di mari. Daripada tidak ada, lebih baik kami pilih ini, Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris."
Pemaparan A, ibu guru yang masih terlihat cantik di usianya yang hampir berkepala lima itu memang mengundang rasa prihatin. Guru-guru SD yang lain pun yang saya tanya kebanyakan menyatakan hal serupa.
Karena syarat untuk lulus sertifikasi adalah harus menyandang gelar Strata Satu (S1) sebagai syarat awalnya, mereka harus kuliah lagi, untuk meraih gelar sarjana.
"Sudah lama tidak belajar bahasa Inggris," kata H, salah seorang ibu guru yang, meskipun rumahnya sangat jauh dari kampus, namun selalu bersemangat dalam berkuliah.
Namun, memang, semangat saja tidak cukup. Kerja keras harus mengemuka, Tapi saya memaklumi. Saya mengerti, karena tidak mudah untuk berkuliah di saat harus bekerja di pagi hari; kuliah di siang sampai sore, bahkan terkadang sampai malam hari.