Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Pentingnya Anak Mencermati antara Keinginan dan Kebutuhan

30 Desember 2023   19:30 Diperbarui: 31 Desember 2023   07:45 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah seorang murid les, S, mungkin bagi pemandangan orang lain, S adalah anak yang beruntung.

Meskipun bukan berada dalam keluarga yang kaya raya, namun S bisa memperoleh benda-benda yang diinginkannya.

Kebetulan saya sudah mengajar les privat kepada S sejak S duduk di bangku kelas dua SD. Sekarang S berstatus sebagai siswa SMP kelas sembilan.

Dalam tujuh tahun les ini, saya melihat berbagai pembelian yang terkesan impulsif di mata saya. Ayah dan ibu S mengabulkan permintaan putra semata wayang, S, untuk membelikan barang-barang keinginannya.

Yang saya pantau, dimulai dari pembelian sepeda gunung (mountain bike). S melihat orang lain punya sepeda gunung, dia pun ingin mempunyai sebuah sepeda gunung.

Senang mengendarai di awal memiliki, sekarang, sudah bertahun-tahun, sang sepeda teronggok merana sendirian di pojok parkiran mobil.

Ban kempis depan dan belakang, berdebu dengan ketebalan menggunung, karat menyemak di rangka. Nasibnya kelak mungkin hanya laku terjual sebagai besi tua.

Melihat keyboard dengan simbol tiga garpu tala yang keren, S bernafsu untuk memiliki keyboard kepunyaan tantenya tersebut.

Merengek kepada sang ibu untuk mengusahakan keyboard berpindah tangan (ke S tentunya). Namun ibunya tidak menanggapi. Tantenya juga tidak merespon, meskipun sang keyboard hanya menghias sudut kamar tidur.

Membeli keyboard baru. Cuma itu satu-satunya cara untuk memenuhi hasrat memiliki. Mendesak orangtua untuk secepat mungkin membeli di toko terdekat. Merek sembarang. Harga beli sekitar satu juta rupiah.

Nasibnya kurang lebih sama dengan sepeda. S hanya rajin berlatih memainkan keyboard di satu-dua minggu pertama. Setelah itu S bosan. Keyboard tergeletak begitu saja. Tidak diperhatikan. Debu pun menyapa keyboard.

Yang terbaru di tahun 2023, tepatnya di penghujung tahun 2023, di bulan November, gitar hadir di rumah.

Dua ratus ribu rupiah lebih keluar dari dompet untuk menebus sebuah gitar Yamaha KW. Tidak puas dengan status KW, S mendesak ibunya untuk membelikan gitar Yamaha yang asli. Nyatanya setelah menentukan pilihan, tetap saja gitar aspal yang diperoleh.

Asli tapi palsu.

Ilustrasi (Kompas.com/SILMI NURUL UTAMI)
Ilustrasi (Kompas.com/SILMI NURUL UTAMI)

Sampai kapan S mengulik senar-senar kedua gitar tersebut? Entahlah. Waktu yang akan berbicara.

Keingintahuan. Topeng alasan dibalik keinginan, bukan kebutuhan. Barang berikut yang menjadi incaran adalah kalimba. Sebab membeli terkesan serampangan, "Hanya ingin tahu."

Waktu saya bertanya lagi pada sang ibu, dia menjawab, "Mau bagaimana lagi? S kepengin...."

Jawaban menggantung yang menyedihkan. Menggambarkan kepasrahan diri. Mengikuti kemauan sang anak semata wayang.

Orangtua tidak mau ribut dengan anak. Mungkin seperti itu gambaran ayah dan ibu S dalam menghadapi berbagai "keinginan" S.

Bagaimana mendidik anak untuk berbelanja dengan bijak?

Berbelanja dengan bijak. Memang sudah seharusnya jalan itu yang ditempuh menimbang paparan-paparan menggoda dari lokapasar-lokapasar yang menawarkan harga super miring dari berbagai produk, mulai dari produk skincare sampai mainan anak, merambah ke gawai-gawai terkini, berlanjut ke produk-produk lain yang mungkin sebetulnya tidak atau belum dibutuhkan.

Seperti yang terlihat pada judul, dua kata yang harus menjadi acuan yang berkaitan dengan pengeluaran, yaitu keinginan dan kebutuhan.

Dalam hal ini, menurut saya, ada tiga hal yang orangtua perlu lakukan untuk mendidik anak supaya berbelanja dengan bijak:

1. Ajar anak untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan

Mudahnya berbelanja saat ini hanya dengan sentuhan ujung jari tangan di smartphone, menelusuri berbagai produk yang menarik hati, order, dan sebagai pemungkas, pembayaran dituntaskan lewat mobile banking.

Sederhana, tidak perlu keluar rumah, tinggal menunggu barang tiba di tangan.

Kalau orang dewasa mungkin bisa mengerem godaan membeli, tapi bagaimana dengan anak-anak?

S tergoda membeli kalimba setelah melihat harga promo alat musik tersebut di salah satu lokapasar terkemuka di Indonesia. Dengan mudahnya S membujuk sang ibu untuk menggelontorkan uang yang dibilangnya "tak seberapa" demi memuaskan keinginannya.

Entah ada berapa banyak orangtua yang seperti dalam kasus S. Mengabulkan permintaan supaya anak tidak rewel lagi, meskipun tidak setuju dalam hati terhadap pembelian konsumtif yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Ayah dan ibu harus memberikan pemahaman pada anak tentang keinginan dan kebutuhan.

Memenuhi hasrat keinginan tidak salah, tapi harus melihat faktor kebutuhan yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

Menunda membeli. Biasanya setelah lewat satu hari, dua hari, berhari-hari, sampai seminggu berlalu, misalnya, apakah sang anak memang sekadar "ingin" atau "butuh"?

Opsi bisa berubah. Bisa terlihat apakah benda atau produk itu memang sekadar keinginan untuk mendapatkan kepemilikan atau memang benar-benar membutuhkan barang itu untuk menunjang pendidikan atau hobi yang bermanfaat.

Keinginan seperti dua gitar yang dibeli S. Terlihat jelas, S sudah mempunyai satu gitar KW tanpa berpikir panjang waktu membeli, lalu membeli gitar lain yang tiga kali lipat lebih mahal. Percaya kepada penjual kalau gitar itu asli. Kenyataan, gitar kedua sama palsunya dengan yang pertama.

Orangtua harus menanamkan pengertian yang benar kepada anak tentang keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan harus lebih utama dibanding keinginan. Ibarat kata, mendidik anak untuk tidak bersikap egois dan tidak konsumtif berlebihan karena tergoda kemilau iklan.

Mendidik anak untuk memahami perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, serta menunda kesenangan, juga bersabar dalam memperoleh sesuatu memang tidak mudah. Perlu waktu untuk menanamkan pada anak.

Jangan patah semangat kalau anak masih bersikap egois dengan hanya memikirkan keinginan yang harus dipenuhi. Cepat atau lambat, dengan kesabaran dan kasih sayang, anak akan berubah cara pandang dan menerapkan nilai-nilai kebijakan dalam kehidupan.

2. Orangtua harus mendidik anak untuk memahami bahwa setiap rupiah adalah hasil jerih payah orangtua dalam bekerja

Terkadang memang susah untuk meletakkan dasar bahwa apa yang orangtua raih, seperti mobil, sepeda motor, rumah, jalan-jalan ke luar negeri, bukan jatuh dari langit begitu saja.

Orangtua harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tahun berganti, inflasi melambung tinggi, nilai rupiah semakin minim arti. Biaya hidup semakin meningkat.

Anak-anak adalah anak-anak. Mereka belum cukup dewasa untuk mengerti kesusahan orangtua dalam bekerja, mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga.

Apalagi kalau orangtua memanjakan anak. Mau sesuatu tinggal minta. Hal seperti ini menyebabkan anak tidak mandiri dan merasa uang selalu tersedia, tidak pernah habis.

Ayah dan ibu harus memberi pengertian pada anak bahwa setiap rupiah yang mereka dapatkan adalah hasil jerih payah dalam bekerja. Oleh karena memperoleh dengan kerja keras, maka mempergunakan setiap rupiah juga harus dengan bijak.

Ayah dan ibu bisa mengenalkan dunia kerja dimana mereka bekerja sehari-hari pada sang anak, supaya sang anak bisa melihat secara langsung tempat orangtuanya bekerja dan bagaimana orangtua bekerja untuk memperoleh pendapatan demi kelangsungan hidup keluarga.

Mengamati lingkungan sekitar dengan mencermati profesi-profesi lain seperti penyapu jalan, pemulung, ojek online, asisten rumah tangga, dan lain-lain adalah salah satu cara yang cukup ampuh dalam memberi pengertian pada anak bahwa ada pihak-pihak lain yang tidak seberuntung orangtuanya secara finansial. 

Bagaimana cara mereka mempergunakan gaji dengan cermat karena ada anggota keluarga di kampung yang juga butuh pendanaan untuk hidup sehari-hari, sebagai contoh.

Mengajak anak ke panti asuhan untuk berbagi, memberikan sedikit berkat Tuhan bagi insan-insan yang membutuhkan juga bisa menimbulkan rasa empati pada anak. Apalagi dalam bentuk anak tinggal beberapa hari di panti asuhan supaya anak bisa mengalami langsung kehidupan anak-anak yatim piatu di panti asuhan tersebut, dan melihat sendiri kesederhanaan dengan menu makan yang seadanya, tidak adanya penyejuk ruangan (AC) di dalam kamar tidur, dan disiplin menjaga kebersihan (tidak seperti di rumah sendiri yang ada asisten rumah tangga).

Dan alangkah lebih baik lagi kalau anak ingin mendapatkan sesuatu dari orangtuanya, dia harus menunjukkan prestasi terlebih dahulu, entah itu dari segi akademik atau non akademik. Dengan begitu, anak belajar untuk bekerja keras di awal sampai akhirnya mendapat upah/reward di akhir jika target prestasi tercapai.

Kalaupun tidak tercapai dan nir reward, ayah dan ibu tetap memberi dukungan dan semangat. Berikan pengertian pada anak bahwa kegagalan adalah awal dari keberhasilan. Kalau anak gigih, ulet, dan konsisten, niscaya keberhasilan akan diraih kelak.

3. Didik anak untuk fokus pada keterampilan yang menunjang cita-cita di masa depan

Ketimbang membeli barang-barang konsumtif, lebih baik uang dipakai untuk pengembangan diri demi mencapai penguasaan keterampilan untuk profesi impian di masa depan.

Ini memang menjadi pekerjaan rumah yang sukar bagi orangtua, karena paparan iklan bejibun di media sosial dan pengaruh teman yang membeli produk tertentu.

Tentu di usia anak dan remaja, pola pikir belum sepenuhnya matang. Apa yang menarik di mata seakan ingin mereka raih semua.

Oleh karena itu, ayah dan ibu perlu mendidik anak untuk berpikir ulang sebelum membelanjakan uang. Alangkah baiknya melihat potensi anak demi mewujudkan cita-cita.

Misalnya, W, murid les privat di masa lampau, bercita-cita menjadi seorang dokter. Di saat remaja putri yang lain menggandrungi K-pop dan kongko-kongko di mal, W malah menyibukkan diri dengan berbagai les privat, seperti les Matematika dan Bahasa Inggris.

Tentu saja, dia suka mendengarkan musik dan jalan-jalan di mal sesekali, namun fokus pada cita-cita menjadi prioritas utama dalam keseharian.

Investasi leher ke atas. Itu istilah di zaman now saat ini. Uang bisa dicuri; tapi keterampilan, keahlian, tidak akan bisa dirampas oleh siapa pun.

Atau anak bisa juga menyalurkan hobi di luar pendidikan sekolah, seperti les piano, les gitar, les menggambar, kursus memasak, dan lain-lain. Selain menyalurkan bakat, siapa tahu keterampilan tersebut bermanfaat untuk memperoleh pendapatan di masa yang akan datang.

Pilih mana?

Keinginan atau kebutuhan?

Ini yang harus dipikirkan sebelum membeli sesuatu, khususnya apabila produk tersebut diinginkan oleh sang anak.

Kiranya ayah dan ibu dapat bijak dalam membimbing anak supaya anak mampu memilah antara keinginan dan kebutuhan, agar anak menjadi insan yang tidak konsumtif dan berpikir panjang demi menggapai masa depan yang gilang gemilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun