Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ulangan Mengarang, Kenapa Menghilang?

8 November 2023   16:50 Diperbarui: 9 November 2023   01:51 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (GETTY IMAGES via BBC INDONESIA via KOMPAS.COM)

Mengarang.

Satu hal yang saya benci waktu saya masih berstatus pelajar Sekolah Dasar (SD), apalagi sewaktu mendapat ulangan mengarang saat ujian semester.

Tentu saja, ulangan mengarang ini terdapat pada ulangan pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Kalau tidak salah, siswa kelas empat, lima, dan enam SD yang mendapat ulangan mengarang tersebut di seputaran tahun 1980-an.

Memasuki era yang semakin kekinian, ulangan mengarang "menghilang" dari ujian akhir semester di Sekolah Dasar (SD). Ujian akhir semester mata pelajaran bahasa Indonesia hanya terdiri dari Pilihan Ganda (PG), Isian, dan Uraian.

Mengapa ulangan mengarang menghilang?

Tentu saja, sudah sejak lama saya bertanya-tanya dalam hati perihal menghilangnya ulangan mengarang.

Mengapa ulangan mengarang menghilang?

Menurut pandangan saya, ada 2 (dua) hal yang menjadi faktor penyebabnya, yaitu:

a. Subjektif dari segi penilaian

Menjadi persoalan besar dalam menilai karangan para peserta didik adalah standar penilaian karangan tersebut.

Saya mencermati kalau kebanyakan guru bahasa Indonesia yang saya kenal tidak mempunyai standar penilaian karangan saat menilai karangan para peserta didik.

"Pakai 'perasaan' saja, Pak," jawab S, salah seorang rekan guru bahasa Indonesia, sewaktu saya menanyakan bagaimana dia menilai karangan para peserta didiknya.

Bukan cuma S. Ada beberapa guru bahasa Indonesia lainnya yang melakukan hal yang sama. Segelintir guru bahasa Inggris yang saya tanya juga sebelas-dua belas parahnya dalam menilai karangan berbahasa Inggris dari peserta didik. 

Saya tidak perlu berpanjang kali lebar kali tinggi untuk menjabarkan standar penilaian suatu karangan, karena saya yakin, mereka pernah mendapatkannya sewaktu berkuliah atau ketika mengikuti berbagai seminar yang berhubungan dengan menulis.

Apakah itu hanya menjadi teori di perguruan tinggi dan tidak relevan dalam praktik di dunia nyata? Entahlah. 

Yang jelas, memberikan nilai berdasarkan sesuatu yang abstrak seperti "perasaan" tidak dapat dijadikan acuan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Dan mungkin karena subjektivitas tersebut, ulangan mengarang ditiadakan.

b. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memeriksa (dibaca: membaca) setiap karangan peserta didik

Waktu adalah sesuatu yang tidak dipunyai oleh para guru saat berhadapan dengan ujian akhir semester peserta didik

Bertumpuknya lembar jawaban dan harus dinilai segera, selambat-lambatnya tiga atau empat hari menyebabkan waktu tidur berkurang, mata berkunang-kunang, kepala pusing, maag kambuh karena terlambat makan (atau malah lupa makan), dan indikasi-indikasi selanjutnya bisa muncul gejala hipertensi dan kroni-kroninya.

Tentu saja tidak ada seorang pun yang menginginkan timbulnya berbagai penyakit karena begadang dan "kejar tayang" berkepanjangan menilai ujian semester peserta didik, bukan?

Memeriksa (dibaca: membaca) setiap karangan peserta didik akan menambah durasi pemeriksaan menjadi lebih molor lagi. Untuk mengoreksi jawaban Pilihan Ganda (PG), Isian, dan Uraian saja butuh waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau ditambah ulangan mengarang!

Bagaimana menggiatkan minat mengarang?

Memang setelah menjadi guru dan mengalami sendiri suka duka mengajar, serta kemelut selama ujian semester peserta didik, saya jadi memahami susahnya menjadi guru, terutama saat ujian akhir semester peserta didik.

Ujian mengarang tidak ada dalam ujian akhir semester tidak menjadi persoalan namun mengarang sudah seharusnya menjadi perhatian penting dalam pendidikan karena (lagi-lagi) perihal rendahnya budaya baca dan tulis di Indonesia.

Lalu, bagaimana menggiatkan minat mengarang di kalangan peserta didik dan (juga) pendidik? 

Menurut saya, ada 3 (tiga) cara yang bisa dilakukan. 

1. Menggiatkan Kegiatan Mengarang dalam Proses Belajar Mengajar (PBM)

Tidak salah kalau guru menitikberatkan pada teori-teori kebahasaan dikarenakan pada ujian semester, hal-hal seperti itu yang mendominasi soal-soal.

Namun kemampuan menulis, khususnya menulis kreatif, adalah kemampuan yang mutlak harus dikuasai oleh para peserta didik, karena peserta didik menghadapi tuntutan kemampuan yang tidak ringan di masa kiwari dan yang akan datang.

Bukan hanya mereka harus mahir berkomunikasi secara lisan, tapi mereka juga dituntut bisa menyampaikan opini, pendapat, atau buah pikiran mereka lewat tulisan yang runtut dan jelas.

Kita bisa melihat kebanyakan atau sebagian besar dari generasi zaman now mempunyai keterampilan berkomunikasi yang sangat buruk. Impulsif dalam berbicara dan 'sembarangan' dalam menulis, baik itu menulis esai maupun menulis di media sosial.

Oleh karena itu, menggiatkan kegiatan mengarang dalam proses belajar mengajar (PBM) adalah hal yang sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan kecintaan peserta didik pada menulis.

Apalagi di kurikulum dan buku pelajaran jelas-jelas tersaji praktik menulis tapi hanya sekadar teori. Sekadar menghapal teknik menulis tanpa melakukan secara nyata.

2. Menghidupkan dan Menggiatkan Kembali Majalah Dinding (Mading) di Sekolah-sekolah 

Bicara tentang mading bukanlah hal yang enak untuk dibahas. Mengapa? Karena, menurut pemandangan awam kebanyakan para insan di sekolah, sepengamatan saya, mereka lebih mengagungkan, lebih memprioritaskan ekstrakurikuler yang bernuansa "fisik", seperti ekskul basket, bulutangkis, tenis meja, dan lain sebagainya.

Selain itu, ekskul "seni" semisal teater, band, marching band, dan lain-lain, juga menjadi primadona.

Mading? Teronggok di sudut sekolah, berdebu, penuh sarang laba-laba, dan tulisan-tulisannya tetap sama, tidak berganti, entah sudah berapa lama tidak diperbaharui.

Seharusnya Majalah Dinding (Mading) turut mendapat perhatian. Yah, minat baca dan menulis bukanlah hal-hal yang 'seksi' di mata kebanyakan pendidik dan peserta didik.

Peranan membaca dan menulis sangatlah besar dalam menentukan kemajuan suatu negara. Jepang, Singapura, Amerika Serikat, Finlandia adalah beberapa negara yang sangat maju karena tingginya minat baca dan tulis para warganya.

Mading bisa menjadi salah satu upaya untuk menumbuhkan minat baca dan tulis dalam lingkup sekolah. Tentu saja, harus rutin dalam "memperbarui" tulisan-tulisan di Mading, supaya tetap berjalan secara teratur, entah itu seminggu sekali, dua minggu sekali, atau sebulan sekali.

3. Mengadakan Kompetisi Menulis Cerpen dan Puisi

Sebenarnya tidak terbatas pada cerpen dan puisi. Artikel yang menceritakan pengalaman nyata, seperti berlibur di kampung halaman atau menemani ibu memasak di dapur, bisa menjadi alasan untuk mengadakan kompetisi menulis.

Meskipun begitu, bagi saya pribadi, mengingat masa kecil dulu, kecintaan membaca buku dan media cetak lainnya akan berimbas ke kegemaran selanjutnya, yaitu menulis berbagai tulisan. Kesukaan membaca cerpen dan puisi akan menimbulkan hasrat kuat untuk menuangkan buah pikiran yang meluap di atas kertas atau gawai yang pada akhirnya menjadi puisi atau cerpen yang ciamik.

Dengan adanya kompetisi menulis cerpen dan puisi, selain menimbulkan semangat untuk menunjukkan kemampuan dalam menulis juga untuk menumbuhkan kecintaan untuk menulis di kalangan peserta didik pada khususnya dan para guru pada umumnya.

***

Sekali lagi, tulisan ini murni pendapat saya pribadi, melihat pengalaman di masa lampau, dan mengamati keadaan perihal budaya literasi khususnya kecintaan membaca dan menulis yang masih minim di bumi pertiwi ini.

Kiranya mengarang bukan hanya "menghias" di buku-buku pelajaran, namun juga mengejawantah dalam proses belajar mengajar di sekolah dan terwujud nyata dalam kehidupan sehari hari.

Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun