Padahal mereka sudah banyak mengikuti seminar, pelatihan tentang berbagai metode mengajar dan trik, serta tips menciptakan suasana belajar yang menyenangkan di dalam kelas.
Sungguh tragis.
Tidak ada perencanaan secara tertulis. Tidak ada evaluasi atas kinerja selama satu tahun ajaran (yang ada, supervisi satu hari dengan melihat pengajaran yang sudah "disetting" dan perangkat pengajaran (program tahunan, program semester, silabus, rpp, dan lain-lain) yang salin-tempel atau amati-tiru-plek dari internet dan tersusun menjulang tinggi, menghabiskan kertas HVS folio sekitar empat sampai lima rim atau lebih).
Tidak ada supervisi, mengajar "biasa" dilanjutkan kembali. Sejauh mata memandang, dalam setahun, cuma ada dua kali supervisi. Satu semester, satu kali supervisi (mudah-mudahan sekarang sudah berubah).
Terlepas dari "langkanya" supervisi dalam setahun, setiap kita, sebagai pendidik, bertanggungjawab kepada orangtua peserta didik. Mereka sudah mempercayakan putra-putri mereka kepada guru-guru di sekolah untuk dididik. Bukan hanya menjadi pribadi yang berpengetahuan luas, tetapi juga berakhlak mulia, tangguh dalam menghadapi masalah, dan cerdas dalam melihat kehidupan ini.
Bagaimana bisa mewujudkan harapan-harapan tersebut jika minim persiapan (bahasa halus dari nirpersiapan) sebelum mengajar?
Dengan persiapan yang matang sebelum mengajar, guru bisa mengkaji apakah dia bisa full english selama proses belajar mengajar atau tidak.
Back to basic
Language is a tool of communication....
Dasar dari bahasa, apa pun bahasanya, adalah sebagai alat komunikasi, bagaimana menyampaikan pesan kepada pihak lain, pihak tersebut mengerti arti pesan, dan menanggapinya sesuai makna pesan, baik itu lewat jawaban lisan maupun melalui tindakan langsung.
Untuk apa belajar bahasa Inggris kalau peserta didik tidak memahami pesan yang terkandung dalam ujaran-ujaran guru?
Full English perlu, namun harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, karena pembelajaran yang bermakna lebih penting daripada sekadar full english di kulit luar, apalagi guru bahasa Inggrisnya yang mengambil porsi waktu "full english" lebih banyak dibanding peserta didik yang hanya bisa termangu dan membisu.