"Ya, anak bapak mengidap rematik jantung. Tidak boleh beraktivitas terlalu berat dan harus rajin suntik obat satu kali dalam sebulan secara rutin."
Pengalaman ini tidak akan pernah saya lupakan. Waktu itu saya masih berstatus siswa SMP, dokter spesialis penyakit dalam (internis), sebut saja dokter Hendra, memvonis saya menderita rematik jantung.
Diagnosis diambilnya dari pernyataan saya perihal suara "krek krek" dan nyeri di dada kiri sewaktu berolahraga, serta bukti analisis foto rontgen paru-paru saya.
Tak bisa bisa dibayangkan bagaimana rasanya perasaan waktu itu. Masih berusia sekitar 14 tahun, namun merasa hidup seperti di ujung tanduk.
Gara-gara suara "krek-krek" dan nyeri di dada kiri saat berlari mengelilingi lapangan merdeka di Balikpapan dalam beberapa putaran (mungkin dua atau tiga putaran. Lupa persisnya) dalam rangka pengambilan nilai praktik pelajaran olahraga, saya harus menjadi penderita penyakit rematik jantung.
"Beritahu guru olahraganya kalau anak bapak tidak bisa mengikuti pelajaran praktik seperti anak-anak biasa lainnya,"pesan sang dokter pada ayah saya.
Anak-anak biasa lainnya? Apakah saya termasuk anak luar biasa atau dalam biasa?
Saya cuma bisa berkata dalam hati.
Tidak ada surat dari dokter untuk pihak sekolah.
Sewaktu tiba di rumah, ayah berkata pada saya, "Nanti kamu bilang sama guru olahragamu supaya tidak membebanimu dengan olahraga yang terlalu berat."