Banyak hal yang menarik di dalam sendi-sendi kehidupan. Apa pun profesinya, ada berbagai segi yang bisa menjadi pelajaran hidup bagi siapa pun juga
Salah satu peristiwa yang mengusik saya sehingga mendorong saya menuangkannya di mari adalah ketika salah seorang murid les saya, sebut saja Michael, mengatakan bahwa dia dan beberapa teman sekolahnya dipilih untuk mengikuti tes pemanduan bakat di bidang olahraga. "Pihak Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Kalimantan Timur yang mengadakan tes. Begitu kata Pak Adi," ujar Michael.
Sebenarnya perkataan Pak Adi (bukan nama sebenarnya) tidak ada yang istimewa. Ada instansi pemerintah yang bergerak di bidang pemuda dan olahraga yang ingin mencari bibit-bibit generasi muda yang mempunyai bakat olahraga.
Namun sayangnya, ucapan Pak Adi berikutnya yang menimbulkan pertanyaan di benak saya.Â
"Kata Pak Adi, "Meskipun tidak bisa di akademik, mungkin kebisaannya menjadi atlet"," ujar Michael menambahkan.
"Pak Adi bilang seperti itu?" Saya seperti tidak mempercayai pendengaran saya.
"Iya, Pak. Pak Adi ngomong seperti itu," Michael menegaskan.
Saya tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ada guru yang beranggapan seperti itu!
Saran untuk rekan guru PJOKÂ
Meskipun berbeda mata pelajaran, pada dasarnya kami mempunyai tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) yang sama, yaitu mengajar dan mendidik peserta didik.
Oleh karena itu, izinkan saya sekadar memberikan saran untuk para rekan guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) berkaitan dengan pernyataan Pak Adi dan dari pengamatan melihat kinerja kebanyakan rekan guru PJOK di berbagai sekolah.
Ada 3 (tiga) saran untuk Anda:
1. Jangan salah menanamkan persepsi kepada peserta didik
Sebagai guru, kita sudah seharusnya menanamkan persepsi yang benar kepada peserta didik. Salah dalam menanamkan akan membuat peserta didik salah jalan dan keliru dalam bertindak di masa kini dan masa yang akan datang.
Saya tidak tahu apakah Pak Adi tahu atau tidak tahu akan dampak perkataannya. Yang jelas, dalih "tidak bisa di akademik" dikaitkan dengan profesi atlet, tentu saja tidak bisa dibenarkan.
Kenapa tidak bisa dibenarkan?Â
Karena kemungkinan besar kebanyakan peserta didik akan mengamini kalau para atlet itu memilih profesi sebagai atlet karena tidak bisa di akademik, atau istilah kasarnya "bodoh"!
Kesalahan fatal dalam menanamkan persepsi seperti itu seharusnya tidak terjadi. Apa pun profesinya tidak bisa digeneralisasikan, tidak bisa disimpulkan sama. Menyamaratakan kemampuan atlet yang "tidak bisa di akademik " tentu saja tak bisa dibenarkan, karena tidak dilengkapi dengan data-data akurat dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Saya ragu apakah Pak Adi pernah membaca biografi beberapa atlet ternama atau tidak. Saya pernah membaca biografi beberapa atlet yang sukses dalam karier profesional olahraga dan juga dalam pendidikan akademik mereka.
Memang, ada beberapa atlet yang tidak begitu menonjol dalam bidang akademik, tetapi bukan karena "tidak bisa di akademik", tetapi karena faktor kelelahan fisik setelah latihan spartan di pelatda atau pelatnas. Tentu saja, akibatnya konsentrasi, fokus tidak terpusat dengan maksimal pada pendidikan.
Jadi, mau tidak mau, harus ada yang dikorbankan dan itu adalah prestasi akademik, sehingga menyimpulkan atlet "tidak bisa di akademik" adalah salah besar.
2. Tidak sekadar praktik
Mungkin karena doktrin "tidak bisa di akademik", kebanyakan guru PJOK yang saya lihat lebih "berkutat" dalam memberikan porsi praktik sangat berlebih dibanding teori.
Padahal mata pelajaran PJOK tidak sebatas 'jasmani' dan 'olahraga' saja, tapi juga menyangkut 'kesehatan', bagaimana peserta didik tidak sekadar harus menjaga kebugaran tubuh dengan berolahraga, namun juga mengerti dan mengaplikasikan gaya hidup yang menunjang kesehatan, seperti disiplin makan makanan yang bergizi secara rutin dan teratur, memisahkan tempat membuang sampah organik dan anorganik, dan lain sebagainya.
Penting bagi guru PJOK tidak hanya fokus pada "jasmani" dan "olahraga", tapi juga dari segi pengetahuan "kesehatan" dan praktik penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Teori dan praktik berjalan beriringan.
Dan, yang perlu diingat juga adalah perihal Penilaian, baik itu Ulangan Harian (UH), Penilaian Tengah Semester (PTS), dan Penilaian Akhir Semester (PAS).
Bisa Anda bayangkan seandainya Anda lebih banyak menyediakan waktu praktik daripada teori kepada peserta didik dalam proses belajar mengajar?
Yang ada, peserta didik mungkin senang, tapi akan pusing ketika menghadapi ulangan. Kenapa? Karena bahan materi ujian begitu banyak di buku paket pelajaran. Anda hanya menyebutkan bab-bab yang peserta didik harus pelajari, tapi Anda tidak pernah mengajarkan, menjelaskan, dan menerangkan materi-materi tersebut kepada para murid.Â
Hasil ujian mereka?
Yah, saya rasa kita semua sudah bisa menebaknya.
3. Rencanakan program pengajaran dengan saksama
Dengan sangat menyesal, saya mengatakan bahwa kebanyakan guru PJOK yang saya lihat hanya mengandalkan buku daftar hadir peserta didik, peluit, dan stopwatch saat mengajar.
Mungkin merasa diri sudah mengajar bertahun tahun, sudah banyak pengalaman dan asam garam, sehingga yakin segala sesuatu tidak perlu dipersiapkan jika menyangkut proses belajar mengajar.
Saya tidak tahu darimana kalimat-kalimat berikut ini saya baca, namun mereka layak menjadi perenungan kita bersama. Kalimat-kalimat tersebut adalah:
Gagal dalam perencanaan berarti merencanakan kegagalan itu sendiri.
Bagaimana bisa mendapatkan keberhasilan kalau tidak ada perencanaan yang matang? Tidak ada perencanaan sama sekali, kemungkinan terbesar yang terjadi adalah tidak akan menghasilkan prestasi apa-apa. Kegagalan total yang akan diperoleh.
Real Madrid, Liverpool, Bayern Munchen, dan beberapa klub sepakbola lainnya tidak mungkin menjadi juara Liga Champions, kalau para pelatih atau manager mereka tidak mempunyai perencanaan yang terstruktur, sistematis, efektif, dan efisien.Â
Begitu juga dengan para atlet profesional, seperti Roger Federer dan Serena Williams, dua petenis legendaris yang baru sekitar beberapa minggu yang lalu memutuskan gantung raket, setelah bertahan selama bertahun-tahun menjadi raja dan ratu tenis dunia. Tidak mungkin secara kebetulan mereka berjaya. Pasti ada perencanaan program untuk mencapai tangga juara.
Lagipula, semua guru, tanpa terkecuali, harus mempersiapkan diri sebelum mengajar. Bukan hanya mental, tetapi persiapan "strategi mengajar" perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya.Â
Jangan hanya terlihat "siap" saat supervisi dengan kelengkapan administrasi yang menggunung, ibarat menumpuk delapan sampai sembilan rim kertas kuarto, namun di keseharian, perilaku memble.
Datang sering terlambat; kalau mengulas teori, sekadarnya, lalu menginstruksikan peserta didik untuk mengerjakan soal-soal di LKS atau buku paket; memberikan contoh kebiasaan negatif dengan merokok di lingkungan sekolah; dan lain sebagainya.
Hati-hati!
Sekali lagi, saya mohon maaf jika ada kata-kata saya di sini menyinggung perasaan Anda selaku guru PJOK. Tentu saja, ada guru-guru PJOK yang berdedikasi tinggi dan saya kenal beberapa diantaranya. Hanya sedikit dibanding kebanyakan yang tidak jelas visi dan misi mengajarnya.
Kiranya kita, baik itu guru di sekolah maupun guru di rumah bagi anak-anak kita, hendaknya berhati-hati, baik dari segi perkataan maupun perbuatan.
Jangan sampai di kemudian hari kita menyesal karena telah "menyesatkan" peserta didik ke arah yang salah. Pada saat itu, jarum jam tidak bisa kita balik kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H