Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Menjadikan Hari Kartini Sebatas Hafalan dan Tradisi

29 April 2021   19:55 Diperbarui: 29 April 2021   19:59 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengira peringatan hari Kartini akan berbeda di tahun ini. Ternyata, anggapan saya keliru. Hari Kartini tetap menjadi tradisi yang identik dengan tahun-tahun sebelumnya.

Gunawan (bukan nama sebenarnya), salah seorang murid les yang berstatus siswa kelas enam SD yang sebentar lagi menyandang predikat baru sebagai peserta didik di kelas VII SMP, mendapat pesan singkat WA dari guru kelasnya (tentu saja guru kelas VI di SD) pada hari Senin malam, 19 April 2021.

Ada lomba dalam rangka memperingati hari Kartini. Dan seperti yang sudah saya sangka, salah satunya adalah lomba dimana peserta didik berpakaian daerah kemudian memfoto diri, lalu foto dikirim ke guru untuk dinilai.

Lebih lengkapnya, berikut adalah informasi tentang berbagai lomba dalam rangka memperingati hari Kartini di salah satu SD swasta di Samarinda dimana Gunawan bersekolah.

Informasi tentang berbagai lomba untuk memperingati hari Kartini di salah satu SD swasta di Samarinda | Dokumentasi Pribadi
Informasi tentang berbagai lomba untuk memperingati hari Kartini di salah satu SD swasta di Samarinda | Dokumentasi Pribadi
Secara pribadi, saya menganggap lomba-lomba tersebut sah-sah saja untuk dilakukan, namun terasa seperti tradisi dimana hari Kartini pasti selalu identik dengan pakaian daerah.

Untuk puisi, menurut saya, itu sudah bagus. Lomba menulis biografi Kartini, ada catatan tersendiri di benak saya. Lomba berpakaian daerah? Seperti kebiasaan rutin yang seakan-akan tidak bisa lepas dari peringatan hari Kartini.

Saran untuk Sekolah

Tidak ada maksud untuk menyerang kebijakan adanya lomba berpakaian daerah dalam rangka peringatan hari Kartini. 

Dalam hal ini, izinkan saya memberikan saran untuk sekolah-sekolah dimana pun berada, bukan hanya SD dimana murid les saya, Gunawan, bersekolah.

Ada 3 (tiga) saran dari saya untuk sekolah berkenaan dengan peringatan hari Kartini di masa yang akan datang.

1. Jangan selalu mengaitkan hari Kartini dengan pakaian daerah

Saya jadi ingat dengan pengalaman dua puluh tahun mengabdi sebagai guru di berbagai sekolah. Peserta didik berpakaian daerah di hari Kartini.

Apa hubungannya hari Kartini dengan berpakaian daerah?

Saya pikir, berpakaian daerah di hari Sumpah Pemuda lebih berkaitan erat karena sesuai dengan bunyi Sumpah Pemuda itu sendiri yang terdiri dari beragam suku yang ada di Indonesia dan bersatu padu demi mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Sudah saatnya mengevaluasi ulang tradisi berpakaian daerah di peringatan hari Kartini, karena perjuangan R.A.Kartini bukan mengarah kepada budaya berpakaian daerah.

2. Ajarkan sumbangsih R.A.Kartini kepada peserta didik

Hal yang sangat memprihatinkan kalau mendengar beberapa murid les yang berada dalam rentang SD sampai SMA adalah mereka tidak mengetahui jasa atau sumbangsih para pahlawan, meskipun perjuangan para pahlawan tersebut sudah sering mereka dengar dan pelajari dari guru di sekolah.

Saya bertanya kepada sejumlah murid les, dan kebanyakan dari mereka tidak tahu jasa-jasa dari R.A.Kartini, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, dan lain sebagainya.

Jawaban mereka singkat, "Mereka adalah pahlawan, Pak."

Hanya itu jawaban mereka, tapi sewaktu saya bertanya soal jasa-jasa para pahlawan tersebut, mereka tidak bisa menyebutkan.

Secara pribadi, saya merasa beruntung karena di masa kecil, ada banyak buku di rumah, sehingga kisah hidup para pahlawan, mulai dari sabang sampai merauke, hampir sebagian besar sudah saya baca di buku-buku tersebut.

Orangtua dan guru harus bekerja sama, bahu membahu mengajarkan sumbangsih, jasa-jasa para pahlawan kepada putra-putri penerus kepemimpinan negara ini di kemudian hari.

Jangan sampai mereka malah lebih tahu tentang kehidupan mayoritas artis idola daripada perjuangan para pahlawan. Jangan sampai mereka melupakan sejarah, khususnya orang-orang yang sudah berjasa bagi negara Indonesia ini.

3. Mendidik peserta didik dengan nilai-nilai moral perjuangan para pahlawan, bukan sekadar menghafal saja

Menulis biografi, lalu merekam dalam bentuk video ketika peserta didik membacakan teks biografi R.A.Kartini?

Lumayan menarik, karena dengan begitu peserta didik belajar untuk mengetahui jasa-jasa R.A.Kartini.

Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka memang menghayati apa yang mereka tulis dan baca atau hanya sekadar menjiplak dari Google, lalu kemudian terpaksa memenuhi lomba karena takut ditegur guru karena tidak ikut berpartisipasi?

Budaya menghafal masih menjadi primadona. Sudah seharusnya pendidikan tidak hanya mencekoki peserta didik dengan berbagai informasi.

Ubah cara mendidik dengan metode yang menarik supaya peserta didik bisa mendapat pencerahan dan menjadi lebih baik lagi, dalam pengertian, peserta didik bisa menjadi pelaku, bukan hanya pendengar saja.

Mendidik tidak sebatas memberitahu peserta didik tentang riwayat hidup para pahlawan, tapi juga nilai-nilai moral perjuangan para pahlawan tersebut. 

Selain mendidik peserta didik  dengan nilai-nilai moral, guru atau pendidik juga harus memberikan contoh konkret dalam proses belajar mengajar dengan cara yang menyenangkan. Bukan sekadar memberikan informasi, menyuapi peserta didik dengan segebung kewajiban hafalan yang pada akhirnya malah membuat peserta didik menjadi tidak suka akan pelajaran sejarah.

* * *

Sekali lagi, saya bukan bermaksud untuk menggurui para rekan guru, tapi berusaha menyadarkan kalau hari Kartini tidak berarti harus berpakaian daerah setiap tanggal 21 April.

Karena esensi perjuangan Kartini bukan mendukung pemakaian pakaian daerah karena kurangnya kecintaan warga pada kebinekaan, tetapi karena memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan dengan laki-laki.

Itu yang seharusnya peserta didik dapatkan di dalam hati mereka. 

Jangan sampai peninggalan di benak murid selepas sekolah usai 12 tahun kemudian sesudah lulus SMA adalah hari Kartini diperingati dengan berpakaian daerah untuk memperingati kelahiran R.A.Kartini, tapi mereka tidak tahu apa sebenarnya jasa beliau.

Tragis? Yah, mudah-mudahan ketidaktahuan seperti itu tidak terjadi di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun