Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka memang menghayati apa yang mereka tulis dan baca atau hanya sekadar menjiplak dari Google, lalu kemudian terpaksa memenuhi lomba karena takut ditegur guru karena tidak ikut berpartisipasi?
Budaya menghafal masih menjadi primadona. Sudah seharusnya pendidikan tidak hanya mencekoki peserta didik dengan berbagai informasi.
Ubah cara mendidik dengan metode yang menarik supaya peserta didik bisa mendapat pencerahan dan menjadi lebih baik lagi, dalam pengertian, peserta didik bisa menjadi pelaku, bukan hanya pendengar saja.
Mendidik tidak sebatas memberitahu peserta didik tentang riwayat hidup para pahlawan, tapi juga nilai-nilai moral perjuangan para pahlawan tersebut.Â
Selain mendidik peserta didik  dengan nilai-nilai moral, guru atau pendidik juga harus memberikan contoh konkret dalam proses belajar mengajar dengan cara yang menyenangkan. Bukan sekadar memberikan informasi, menyuapi peserta didik dengan segebung kewajiban hafalan yang pada akhirnya malah membuat peserta didik menjadi tidak suka akan pelajaran sejarah.
* * *
Sekali lagi, saya bukan bermaksud untuk menggurui para rekan guru, tapi berusaha menyadarkan kalau hari Kartini tidak berarti harus berpakaian daerah setiap tanggal 21 April.
Karena esensi perjuangan Kartini bukan mendukung pemakaian pakaian daerah karena kurangnya kecintaan warga pada kebinekaan, tetapi karena memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan dengan laki-laki.
Itu yang seharusnya peserta didik dapatkan di dalam hati mereka.Â
Jangan sampai peninggalan di benak murid selepas sekolah usai 12 tahun kemudian sesudah lulus SMA adalah hari Kartini diperingati dengan berpakaian daerah untuk memperingati kelahiran R.A.Kartini, tapi mereka tidak tahu apa sebenarnya jasa beliau.
Tragis? Yah, mudah-mudahan ketidaktahuan seperti itu tidak terjadi di kemudian hari.