guru).Â
Kalau di tulisan sebelumnya (tautan tulisan akan saya sertakan setelah paragraf ini), saya mengulas sedikit tentang Bu Linda (nama samaran) dan saran untuk tiga pihak (pemerintah daerah, sekolah, danPada tulisan kali ini, saya menitikberatkan fokus pada Bu Linda dan beberapa guru kelas enam lainnya yang mungkin mengaku tidak tahu-menahu dengan soal di SSE.
Baca juga:Â Ketika Guru Mengajari Murid untuk "Berdusta"
Saya tidak bermaksud untuk menyalahkan, namun sekadar memberikan saran supaya kejadian dengan dalih "tidak tahu" tidak terlontar kembali di kemudian hari, apalagi dari guru kelas VI yang merupakan tingkat terakhir bagi peserta didik di sekolah dasar dimana mereka menimba ilmu.
Jangan sampai gara-gara perkataan yang tidak bijak, kesan di benak peserta didik dan orangtua murid terhadap sekolah jadi rusak.
Berkaitan dengan dalih "tidak tahu" dari Bu Linda selaku guru kelas VI yang sudah saya singgung di tulisan sebelumnya, di tulisan ini khusus saya peruntukkan untuk Bu Linda (kalau beliau merasa) dan para guru pada umumnya.
Ada 3 (tiga) saran buat Bu Linda dan para guru.
1. Mempelajari isi juknis dengan saksama
"Bapak tidak membaca juknisnya ya?"
Pertanyaan itu terlontar dari Bu Linda sewaktu saya bertanya tentang soal ujian kepada beliau seperti yang sudah saya singgung di tulisan sebelumnya.
Dengan tenang, saya membuka file juknis di smartphone, kemudian saya bertanya balik kepada beliau, "Baik, Bu. Memang saya belum membaca keseluruhan isi juknis. Itu memang keteledoran saya. Sejauh mata memandang, saya tidak menemukan perihal soal-soal yang diacak atau paket soal yang berbeda untuk setiap murid.Â
"Sekarang di hadapan saya, sudah terbuka juknisnya di smartphone saya. Bisa saya minta tolong Anda sebutkan di halaman berapa dan bagian yang mana yang menyebutkan tentang soal yang diacak atau paket soal yang berbeda untuk setiap murid tersebut?"
Hening. Bu Linda tidak bersuara selama beberapa detik. Setelah itu, mungkin karena menemukan "ide", dia berkelit kembali. Berdalih "tidak tahu".
Miris mendengarnya. Mengetahui kenyataan bahwa Bu Linda sebenarnya menuduh saya belum membaca juknis sehingga tidak mengetahui perihal pengacakan soal atau paket soal, tapi yang sesungguhnya, waktu saya bertanya balik tentang halaman dan bagian yang mana yang menyebutkan tentang itu, beliau tidak bisa menyebutkannya.
Intinya, malahan beliau juga belum membaca dan belum mempelajari juknis dengan sepenuhnya.
Guru harus mempelajari isi juknis dengan saksama. Jadi bukan sekadar membaca sepintas lalu saja. Petunjuk teknis akan tetap menjadi petunjuk teknis yang penuh dengan istilah-istilah teknis yang sulit diterjemahkan dengan bahasa yang sederhana dan diejawantahkan dalam praktik. Bagi orang awam yang tidak berhubungan langsung dengan dunia pendidikan, tentu saja sangat sukar memahami juknis tersebut.
Mungkin Bu Linda terbiasa dengan pembekalan, santiaji, atau pengarahan secara tatap muka sebelum corona di tahun-tahun silam, sehingga waktu menghadapi saat ini, dengan berbagai juknis secara tertulis dan minim penjelasan secara lisan dari Dinas Pendidikan dikarenakan pandemi covid-19, dia gagap dalam menyikapi.
Mandiri dalam mencari tahu. Jangan tergantung pada pihak lain dan menyalahkan pihak tersebut karena tidak memberitahu (atau dianya yang diam saja?).
2. Secara proaktif menanyakan kepada Dinas Pendidikan tentang beberapa poin yang masih menimbulkan pertanyaan
Waktu saya bertanya, dan Bu Linda menjawab "tidak tahu", saya cuma bisa geleng-geleng kepala.
Sudah seharusnya hal sekecil apa pun yang berkaitan dengan juknis tentang ujian sekolah harus diketahui oleh guru kelas enam, meskipun yang membuat soal ujian adalah tim pembuat soal dari Dinas Pendidikan Kota Samarinda.
Jangan menunggu diberitahu. Sudah menjadi tanggung jawab guru untuk memastikan peserta didik dan orangtua murid mendapat kejelasan tentang proses mengerjakan ujian beserta pernak-perniknya.Â
Bertanya langsung kepada pihak Dinas Pendidikan adalah jalan yang harus guru tempuh untuk mendapat jawaban, karena tidak mungkin orangtua yang bertanya langsung ke Dinas Pendidikan.
Jangan menjadi pribadi yang pasif. Jadilah aktif, seperti nasihat yang selalu diberikan oleh guru sendiri kepada peserta didik sewaktu proses belajar mengajar sedang berlangsung.
3. Menjelaskan secara langsung, minimal lewat Zoom, kepada para orangtua dan wali murid perihal juknis tersebut
Heran dengan pemberian juknis tanpa pengarahan dari pihak sekolah. Guru juga tidak menjelaskan perihal isi juknis. Pesan singkat WA yang berbunyi, "Tolong bapak dan ibu baca juknis berikut dalam rangka persiapan US."
Singkat, padat, dan tidak jelas.
Jangan hanya memberikan juknis lewat WA tapi tidak memberikan penjelasan dan berharap orangtua sudah mengerti sepenuhnya melalui membaca juknis.
Pengarahan kepada para orangtua dan wali murid perihal juknis perlu diberikan supaya mereka bisa mengerti prosedur ujian secara menyeluruh. Dan bukan hanya sekadar menjelaskan, tapi juga memberikan kesempatan tanya jawab agar kepastian "jelas" itu terwujud.
Pemakaian Zoom bisa diberlakukan, tidak terbatas pada proses belajar mengajar. Malahan, pertemuan via Zoom dan aplikasi sejenis lebih fleksibel, menimbang "waktu temu" bisa kapan saja.
* * *
Memang ujian kelas enam sudah berakhir, namun saran-saran ini diberikan supaya kejadian berdalih "tidak tahu" tidak terulang kembali di kemudian hari.Â
Guru adalah tempat dimana orangtua dan wali murid bertanya perihal pendidikan putra-putri, apalagi di masa pandemi. Tidak mungkin mereka bertanya langsung ke Dinas Pendidikan untuk mengetahui lebih detail tentang ujian.
Semoga saja tidak ada lagi guru yang suka berdalih "tidak tahu" sewaktu ditanya oleh orangtua dan wali murid mengenai ujian sekolah dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Kiranya guru selalu mewawas diri dan juga meningkatkan kompetensi hari demi hari, sehingga dalih "tidak tahu" punah dari muka bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H