Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Guru Mengajari Murid untuk "Berdusta"

9 April 2021   18:53 Diperbarui: 9 April 2021   19:04 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkap layar hal 8 - Bag.G - no.2b | Dokumentasi Pribadi

Keprihatinan selama pandemi ini berlanjut sewaktu saya melihat "keanehan" yang seharusnya tidak terjadi. 

"Keanehan" tersebut bermula pada hari pertama Ujian Sekolah (US) Tingkat SD/MI Sederajat Tahun Pelajaran 2020/2021 Kota Samarinda pada hari Senin, 5 April 2021. US ini khusus untuk peserta didik yang berada di kelas VI (enam) SD/MI.

Ada pertemuan lewat Zoom sebelum ujian mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (PAdBP). Sekitar 15 menit, Bu Linda (bukan nama sebenarnya), guru kelas enam di sebuah SD swasta di Samarinda, memberikan sedikit pengarahan "klasik" kepada Reynold (nama samaran) dan teman-temannya, seperti membaca soal dengan teliti, jangan terburu-buru menjawab, periksa kembali sesudah selesai mengerjakan, dan lain sebagainya.

Saya adalah guru les privat dari Reynold. Bu Santi (bukan nama sebenarnya), ibunya Reynold, meminta saya untuk datang karena beliau tidak terlalu paham tentang penggunaan website Samarinda Smart Edu (SSE) di smartphone untuk mengerjakan ujian.

"Bukan memberi tahu jawaban soal ujian. Hanya membantu mengakses SSE saja, Pak," kata Bu Santi pada saya.

Jam 08.00 WITA. Ujian Mapel PAdBP dimulai. Satu jam 30 menit. Lebih dari cukup untuk mengerjakan ujian. Hasil yang didapat Reynold lumayan. Di antara 60 dan 80. Tidak terbilang bagus dan tidak bisa dikatakan buruk. Nilai cukup.

Jam 10.00 WITA. Ujian Mapel Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Durasi sama. Satu jam 30 menit.

Sayangnya, hasil yang diperoleh tidak sama dengan PAdBP. Bukan lebih baik, tapi lebih buruk. Di bawah nilai 60.

"Jawaban saya sama dengan teman saya, tapi kok jawaban saya disalahkan," begitu komentar Reynold.

Saya jadi penasaran. Saya pun juga memeriksa kunci jawaban dari Dinas Pendidikan yang tertera pada hasil ujian beberapa teman Reynold di SSE.

Dan memang sangat berbeda.

Misalnya, Firman (bukan nama sebenarnya) mempunyai kunci jawaban untuk lima nomor pertama yaitu A, C, B, D, A. 

Sedangkan Lusi (nama samaran) mempunyai kunci jawaban untuk lima nomor pertama yaitu B, A, D, A, C. 

Reynold mempunyai kunci jawaban untuk lima nomor pertama yaitu C, B, D, C, A.

Oleh karena itu, pada jam satu siang waktu Samarinda, sesudah selesai menganalisis, atas persetujuan Bu Santi, saya menelepon guru kelas Reynold, Bu Linda, untuk menanyakan tentang "kejanggalan" kunci jawaban antara kepunyaan Reynold dan beberapa temannya yang lain. Setiap anak mempunyai kunci jawaban yang berbeda.

Perkiraan saya tentang ini sebelum menelepon adalah:

  1. Nomor soal diacak

  2. Pilihan jawaban diacak

  3. Paket soal setiap peserta didik berbeda

Sayangnya, bukannya menenangkan, Bu Linda merasa kalau saya menyalahkan beliau. Dengan nada tinggi, beliau bersikeras kalau dia tidak tahu-menahu tentang US dan baru tahu di hari pertama pelaksanaan ujian kalau setiap siswa mempunyai soal-soal tersendiri alias tidak sama dengan siswa-siswa lainnya.

Karena capek berdebat dengan Bu Linda, saya mengakhiri pembicaraan (detail ihwal perkara debat tentang apa, akan saya bahas di tulisan terpisah).

Ternyata Bu Linda malah tambah mengeruhkan masalah, karena tidak lama setelah itu, sekitar lima menit kemudian, Bu Linda menelepon Reynold dan menanyakan tentang penyebab kenapa Reynold mendapat nilai yang buruk pada US PPKn. Pengeras suara smartphone sengaja diaktifkan tanpa sepengetahuan Bu Linda.

Yang membuat saya terperangah adalah kalimat penutup beliau sebelum panggilan telepon diakhiri yaitu "Kalau ada kakak, minta tolong kakak bantu kerjakan ujian sama-sama."

Karena rasa jengkel dan juga ditambah masih ada rasa penasaran, saya menelepon guru lain yang satu sekolah dengan Bu Linda dan saya anggap "lebih waras dan mengerti" daripada Bu Linda, yaitu Bu Rosa (bukan nama sebenarnya).

Bu Rosa dengan sabar menjelaskan permasalahannya. Saya bisa memahami penjelasannya dan di akhir pembicaraan, saya memberikan saran, terutama yang terkait dengan US dan perilaku Bu Linda.

Saya pikir permasalahan sudah selesai.

Ternyata tidak.

Pertemuan di Zoom pada pada jam 15.00 WITA semakin membuat saya heran. Laporan dari Bu Santi dan Reynold adalah Bu Linda bertanya pada beberapa peserta didik yang mendapat nilai yang sangat rendah tentang keberadaan orangtua atau kakak di rumah, dan kalimat "Minta tolong orangtua atau kakak untuk bantu kerjakan ulangan" mengemuka kembali.

Pertemuan di Zoom di hari kedua, Selasa, 6 April 2021 pada jam 14.00 WITA, perkataan Bu Linda malah lebih parah lagi, yaitu "Kalau tidak ada yang bantu di rumah, cari aja di Google."

Cari apa? Saya rasa Anda sudah bisa menebak apa maksudnya.

Menganalisis juknis

Melihat perkataan dan perbuatan Bu Linda, tentu saja sangat berlawanan dengan Petunjuk Teknis (Juknis) Ujian Sekolah Tingkat SD/MI Sederajat Tahun Pelajaran 2020/2021 Kota Samarinda, terutama pada poin-poin tertentu.

Tangkap layar tampilan depan juknis | Dokumentasi Pribadi
Tangkap layar tampilan depan juknis | Dokumentasi Pribadi

Tangkap layar halaman tiga - tujuan dan fungsi | Dokumentasi Pribadi
Tangkap layar halaman tiga - tujuan dan fungsi | Dokumentasi Pribadi
Ada 3 (tiga) hal yang menjadi sorotan:

1. Halaman 3; Bagian C; Tujuan dan Fungsi; No.1. Tujuan US/M; poin b. yang berbunyi Mengukur/menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua muatan/mata pelajaran dan muatan lokal sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan

2. Halaman 3; Bagian C; No.2. Fungsi US/M; poin a. yang berbunyi Pemetaan mutu satuan pendidikan    

3. Halaman 3; Bagian C; No.2. Fungsi US/M; poin c. yang berbunyi Penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan

Asumsi saya setelah mendengar tentang Bu Linda yang mengajari peserta didik untuk "berdusta" dengan cara bertanya (entah menanyakan kejelasan soal atau jawaban) kepada orangtua, kakak, Google, dan lain sebagainya adalah:

#Asumsi pertama - Ketakutan guru kelas dan pihak sekolah perihal nilai buruk yang akan mempengaruhi penentuan kelulusan peserta didik Hal 8; Bagian G. Penentuan Kelulusan; poin 2b tentang Nilai rata-rata minimal mata pelajaran US/M

Tangkap layar hal 8 - Bag.G - no.2b | Dokumentasi Pribadi
Tangkap layar hal 8 - Bag.G - no.2b | Dokumentasi Pribadi
#Asumsi kedua - Ketakutan guru kelas dan pihak sekolah mengenai tercorengnya nama baik sekolah jika peserta didik mendapat nilai di bawah standar pemetaan mutu satuan pendidikan (Hal 2; bagian C. Tujuan dan Fungsi; no.2a)

Tangkap layar hal 2 - Bag.C - no.2a | Dokumentasi Pribadi
Tangkap layar hal 2 - Bag.C - no.2a | Dokumentasi Pribadi
Saran untuk tiga pihak

Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan ujian Reynold di hari Kamis kemarin, 8 April 2021, dan hari Jumat ini, 9 April 2021, karena saya mempunyai jadwal mengajar les privat di tempat lain.

Namun menurut perkiraan saya, kelakuan Bu Linda pasti tetap sama saja. Mengajari murid-muridnya untuk "berdusta" dengan tujuan mendapatkan nilai yang memuaskan.

Di satu sisi, dia keliru dalam menafsirkan kebebasan "Belajar dari rumah" dan isi juknis. Di sisi yang lain, ada pihak-pihak yang juga bertanggung jawab sehingga "berdusta" terjadi saat ujian.

Saya bukan siapa-siapa. Hanya seorang guru biasa yang berusaha menganalisis, menarik kesimpulan, dan memberanikan diri untuk memberikan saran demi kebaikan bersama, supaya kejadian serupa tidak terulang kembali di kemudian hari.

Memang tidak mungkin menjamin punah kejadian, tapi minimal, memberi kesadaran untuk tidak melakukan.

Ada 3 (tiga) saran untuk tiga pihak yang berwenang.

1. Pemerintah daerah

Pemerintah daerah, dalam hal ini diwakili oleh Dinas Pendidikan di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota harus mengomunikasikan isi juknis dengan baik kepada berbagai sekolah dan guru-guru terkait. 

Selain itu, dinas pendidikan juga harus memahami problem-problem pendidikan yang dihadapi sekolah, guru, peserta didik, dan orangtua murid.

Dengarkan berbagai masukan dari para pelaksana pendidikan di jenjang sekolah karena merekalah yang terjun langsung dalam proses belajar mengajar.

Jangan sampai sekadar memberikan juknis tanpa pengarahan, sehingga masih menimbulkan pertanyaan di benak kepala sekolah dan guru.

2. Sekolah

Kepala sekolah adalah pemimpin tertinggi di dalam lembaga pendidikan yang bernama sekolah. Otomatis, kepala sekolah sangat menentukan nilai-nilai yang tertanam dalam visi dan misi sekolah, serta pengaplikasian nilai-nilai tersebut dalam segala kegiatan sekolah.

Kepala sekolah harus menanamkan nilai kejujuran kepada para guru. Kasus Bu Linda adalah bukti bahwa kejujuran adalah nilai yang masih "kabur" dalam dunia pendidikan apalagi di era pandemi saat ini.

Untuk apa reputasi nilai ujian peserta didik di atas rata-rata dan sekolah mendapat predikat akreditasi A, tapi mendapatkannya dengan cara "berdusta"?

3. Guru

Guru adalah petugas di garda terdepan dalam menanamkan nilai yang langka di negara Indonesia yaitu nilai kejujuran kepada peserta didik.

Memang, perkara jujur atau tidak di rumah, itu juga bergantung pada peserta didik dan orangtua murid. 

Tapi, yang terpenting, jangan sampai malah guru yang mengajari murid untuk "berdusta", menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang memuaskan di atas rata-rata dengan menanyakan jawaban soal ujian ke orangtua, kakak, paman, tante, guru les, bahkan sampai ke Google!

Kejujuran, nilai moral yang sangat mahal

Kejujuran adalah nilai moral yang sangat mahal, khususnya di Indonesia. Sudah seharusnya guru mendidik peserta didik untuk berlaku jujur, terutama saat menghadapi ujian.

Dalih ketiadaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) sehingga materi ajar tidak tersampaikan secara tuntas dan belum dipahami secara penuh oleh peserta didik seharusnya tidak menjadi alasan pembenaran untuk berbuat curang.

Apa pun kondisinya, seburuk apa pun keadaannya, kejujuran tetap harga mati. Harus dijunjung tinggi.

Jangan sampai kita malah membentuk generasi penerus ini menjadi generasi yang "lembek", tidak tahan banting, mudah menyerah dengan segala persoalan, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai-nilai bagus yang sebenarnya tidak mencerminkan kompetensi peserta didik yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun