Ada 3 (tiga) saran untuk tiga pihak yang berwenang.
1. Pemerintah daerah
Pemerintah daerah, dalam hal ini diwakili oleh Dinas Pendidikan di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota harus mengomunikasikan isi juknis dengan baik kepada berbagai sekolah dan guru-guru terkait.Â
Selain itu, dinas pendidikan juga harus memahami problem-problem pendidikan yang dihadapi sekolah, guru, peserta didik, dan orangtua murid.
Dengarkan berbagai masukan dari para pelaksana pendidikan di jenjang sekolah karena merekalah yang terjun langsung dalam proses belajar mengajar.
Jangan sampai sekadar memberikan juknis tanpa pengarahan, sehingga masih menimbulkan pertanyaan di benak kepala sekolah dan guru.
2. Sekolah
Kepala sekolah adalah pemimpin tertinggi di dalam lembaga pendidikan yang bernama sekolah. Otomatis, kepala sekolah sangat menentukan nilai-nilai yang tertanam dalam visi dan misi sekolah, serta pengaplikasian nilai-nilai tersebut dalam segala kegiatan sekolah.
Kepala sekolah harus menanamkan nilai kejujuran kepada para guru. Kasus Bu Linda adalah bukti bahwa kejujuran adalah nilai yang masih "kabur" dalam dunia pendidikan apalagi di era pandemi saat ini.
Untuk apa reputasi nilai ujian peserta didik di atas rata-rata dan sekolah mendapat predikat akreditasi A, tapi mendapatkannya dengan cara "berdusta"?
3. Guru
Guru adalah petugas di garda terdepan dalam menanamkan nilai yang langka di negara Indonesia yaitu nilai kejujuran kepada peserta didik.
Memang, perkara jujur atau tidak di rumah, itu juga bergantung pada peserta didik dan orangtua murid.Â
Tapi, yang terpenting, jangan sampai malah guru yang mengajari murid untuk "berdusta", menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang memuaskan di atas rata-rata dengan menanyakan jawaban soal ujian ke orangtua, kakak, paman, tante, guru les, bahkan sampai ke Google!