Dengan sangat terpaksa, saya menjual sepeda kesayangan dan beralih ke sepeda dengan tambahan motor. Demi mobilitas yang lebih cepat dan mudah.Â
Pengalaman ban bocor di tengah perjalanan saat bersepeda juga menjadi pertimbangan bahwa betapa susahnya mencari bengkel sepeda tanpa motor di kota saya, Samarinda. Malah bisa dikatakan tidak ada.
"Maaf, Mas. Nggak berani. Takut nanti bingung masangnya kembali."
Begitu alasan kebanyakan montir di beberapa bengkel sepeda motor yang saya temui dulu sewaktu membawa sepeda dengan ban bocor dengan harapan untuk ditambal.
Ada satu bengkel yang tidak akan pernah saya lupakan dan berbaik hati menerima, dan memang ban telah ditambal, tapi sang montir mengalami kesulitan sewaktu mau memasang kembali ke kondisi awal.
Makanya, sejak saat itu, saya memutuskan untuk pensiun bersepeda.
Makna bersepeda dan etika yang menyertainya
Tentu saja, maksud dari pensiun bersepeda di atas adalah hanya dalam artian sebagai alat transportasi. Untuk kesehatan, tentu saja, saya masih berminat memiliki dan menggowes, meskipun tidak dalam waktu dekat ini.
Makna bersepeda bagi saya pribadi sangatlah luas. Bukan hanya sebagai instrumen, alat untuk berolahraga, tapi juga tentu saja sebagai alat transportasi di masa remaja dulu, dan maunya saya, kelak nanti di kemudian hari, di saat Samarinda, kota tempat saya berdomisili, juga menyediakan trek khusus untuk pesepeda. Kalau pun ada, jangan hanya sekadar ada, tapi juga tetap terpelihara dan pengendara kendaraan bermotor tidak melanggar aturan dengan menyerobot jalur yang bukan menjadi areanya.
Bagaimana dengan etika bersepeda?
Saya tidak bisa terlalu banyak berbicara tentang hal itu, karena selain dulu bisa dibilang saya tidak menggunakan peralatan tambahan dalam bersepeda, sejauh ini, di masa sekarang, khususnya di kota Samarinda di mana saya tinggal, etika bersepeda dari para penggemar olahraga ini terlihat baik.
Ada 3 hal yang saya pikir penting berkaitan dengan etika bersepeda, antara lain: